Jumat, 24 Februari 2017

KAIFIYAT MUJADALAH (POLEMIK)



TANGGAPAN MENGENAI HUKUM MEMBACA AL-QURAN
BAGI WANITA YANG HAID
POLEMIK
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaifiyat Mujadalah
Dosen Pengampu : Yuyun Yuningsih, S.Sos.I.,M. Ag.





                                                                     Disusun oleh :                       
Ridha Syahida I Z
1144010155



JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................    
DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I   PENDAHULUAN ...........................................................................
BAB II  PEMBAHASAN............................................................................... 
A.    Pengertian Polemik............................................................................. 
B.     Contoh Artikel................................................................................... 
C.     Tanggapan Penulis Mengenai Artikel................................................. 
BAB III PENUTUP ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
 

BAB I
PENDAHULUAN

Perbedaan pendapat tentang wanita haid menyentuh dan membaca Al Quran dikarenakan perbedaan penafsiran Al Quran dan hadits yang ada. Sehingga, jangan jadikan perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada untuk saling bermusuhan dan saling membenci di kalangan umat muslim satu dengan yang lainnya. Penulis paparkan perihal tersebut, agar kita sama-sama dapat saling memaklumi sebuah pendapat yang mungkin berbeda dengan pendapat yg kita pegang selama ini. Bisa saling menghormati satu dengan yg lainnya. Karena fiqih itu sebuah pemahaman manusia sehingga tak apa berbeda asal tetap satu akar kuat yakni sesuai perintah Allah, sebagaimana yang disampaikan oleh dosen pengampu mata kuliah Kaifiyat Mujadalah dalam beberapa pertemuan perkuliahan lalu.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah wanita haid boleh menyentuh dan atau membaca Al-Quran ataukah tidak. Untuk membahas masalah ini, tentu tidak adil jika satu pendapat saja yang saya sampaikan. Oleh karena itu, terdapat hanya satu pendapat yang dikemukakan oleh salah satu blog yang diakses pada tanggal 28 Desember 2012, yang akan ditanggapi oleh penulis mengenai artikel tersebut dengan polemik ini yang berjudul “Tanggapan Mengenai Hukum Membaca Al-Quran Bagi Wanita Yang Haid”. Sehingga mana yang lebih mendekati kebenaran dan sesuai dengan dalil yang ada. Serta pembaca berhak pula memilih mana yg akan dijadikan pegangan dalam masalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Polemik
Dari segi bahasa ditemukan bahwa polemik merupakan suatu bentuk lain dari mujadalah. Polemik yang berasal dari bahasa Inggris “polemic”, berarti debat melalui tulisan. Lebih khas lagi berarti perbantahan (debat) melalui tulisan dalam surat kabar dan sebagainya (PJS. Poerwadaeminta, 1976:763).
Pada prinsipnya, polemik “senyawa” dengan mujadalah, sedangkan yang membedakannya polemik dengan diskusi dan debat, lebih pada aspek medianya, yaitu tulisan, bukan lisan. Sehingga polemik pun memiliki ciri-ciri tersendiri dan menjadi sedikit berbeda dengan mujadalah pada umumnya. Diantara sumber ciri tersebut ialah ia merupakan sebuah tanggapan terhadap tulisan yang telah dipublikasikan di surat kabar atau sejenisnya dan ia juga disalurkan melalui tulisan, yang kemudian dipublikasikan di surat kabar atau sejenisnya (Nanih Machendrawaty dan Aep Kusnawan, 2003:283).


B.       Contoh Artikel Hukum Membaca Al-Quran Bagi Wanita Yang Haid
Dalam suatu artikel yakni blog yang di akses oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. yakni pada tanggal 28 Desember 2012 dengan link websitenya  https://rumaysho.com/3065-menyentuh-handphone-yang-terdapat-aplikasi-al-quran.html dalam artikelnya mengutarakan :
Dalil mengenai terlarangnya menyentuh mushaf Al Qur’an ketika hadats yakni Allah Ta’ala berfirman,
ž
 Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79).
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam, yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadroknya,  Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman dan Ibnu Umar”.
Dalam Syarh Al ‘Umdah, Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin tanpa diketahui adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa pendapat ini telah dikenal di antara mereka”.
Hadits di atas dinyatakan shahih lighairihi. Mengapa..?! hadits tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, jika hadits tersebut berdiri sendiri-sendiri bisa disebut hadits dhaif, tetapi jika berdiri bersama-sama dengan menghubungkan jalur-jalur sanad yang ada, maka hadits tersebut bisa disebut hadits shahih, sehingga shahihnya dinamakan shahih lighairihi dan sebuah hadits shahih bisa dijadikan acuan/dasar untuk sebuah pendapat dalam fiqih.
Ada juga hadits lainnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan tidak pula perempuan-perempuan haid. [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam sunanya no.121).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, maka diambillah sebuah pendapat yang melarang wanita haid membaca Al Quran.

C.      Tanggapan Penulis Mengenai Artikel Hukum Membaca Al-Quran Bagi Wanita Yang Haid
Bahwa dalam sebuah penyampaian ilmu apalagi mengenai Fiqih suatu keyakinan haruslah disebutkan atau dikemukakan mengenai berbagai pendapat dari setiap permasalahan. Salah satunya yakni dalam permasalahan hukum membaca Al Quran bagi wanita sedang haid, namun disimpulkan dalam artikel tersebut bahwa dilarang wanita yang sedang haid atau junud itu membaca Al-Quran karena semata-mata hanya melihat dari redaksi ayat yang digunakan untuk memperkuat tanggapan dalam artikel tersebut tanpa melihat bagaimana redaksi susungguhnya yang terkandung dalam setiap kalimah dan wajan yang dipakai dalam memahami ayat tersebut yang hanya dipahami secara kontekstualnya saja bukan esensi sesungguhnya dari ayat tersebut.
Ternyata dalam sebuah hadits lain pun dapat kita lihat terdapat beberapa hadits yang justru hadits yang lebih shohih yang mengemukakan bahwa hukum membaca Al Quran bagi wanita sedang haid itu tidak apa-apa dan tidak dilarang. Dan diselidiki secara detail esensi dalam QS Al-Waqi’ah ayat 79 tersebut terdapat makna yang sesungguhnya, yakni dengan mendetailkan tafsiran yang terkandung dalam ayat tersebut dengan melihat wajan dari kalimah ayat tersebut. Yakni sebagai berikut,
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” (QS. Al-Waqi’ah : 79)
Untuk memahami makna sebuah ayat Al Quran, tentu kita harus belajar, bagaimana para pakar tafsir Al Quran menafsirkan ayat tersebut. Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya menerangkan penjelasan/ tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya. Mari kita simak ayat-ayat sebelumnya dan bagaimana penafsiran para shahabat terhadap ayat tersebut :

إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ )77( فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ )78( لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ)79(
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia (77) pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh) (78), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (79)”
Ibnu Katsir menafsirkan ayat “fii Kitabim-maknun” (QS 56;77) berarti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka sebagaimana diterangkan dalam kitab Ibnu Katsir.
Dalam kitab tafsir Tafsir Ath Thobari XI/659 bahwa Ibnu Zaid Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”
Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan tabi’in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii al-Bayan [Dar al-Fikr, Beirut 1999, riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga al-Mawardi – Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5, ms. 463-464.]
Jika kita kaji dari jenis bentukan isimnya dalam ayat tersebut pun, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentukisim fa’il (orang-orang yang bersuci). Perhatikan kalimatnya : “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan,” yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).”
Ulama yang membolehkan wanita haid membaca Al Quran juga menggunakan dasar Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650).
Berdasarkan dalil tersebut di atas, yang tidak diperbolehkan hanya thawaf saja, sedangakn amal orang yang beribadah haji lainnhya tetap diperbolehkan termasuk berdzikir, membaca AL Quran dan lain-lain. Thawaf tidak boleh, karena thawaf menurut hadits dari Ibnu Abbas itu seperti shalat. “Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922) “Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Hadits di atas memang digolongkan sebagai hadits mauquf, yaitu hanya sampai pada sahabat dan tidak sampai pada Rasulullah tetapi, hadits mauquf adalah ucapan para shahabat yg telah belajar langsung kepada Rasulullah, tidak mungkin beliau berkata bohong atau mengarang cerita sendiri, maka bisa dijadikan dasar sebuah pendapat dalam agama, karena bisa digolongkan termasuk atsar para shahabat.
Menilik hal tersebut, maka thawaf tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita haidh seperti larangan untuk shalat. Selain itu, berdzikir, membaca Al Quran dan sebagainya yang biasa dilakukan orang yg beribadah haji, tidak dilarang.
Sekarang, mari perhatikan hadits tentang tidak boleh membaca Al Quran kecuali orang yg suci. Hadits tersebut berbunyi : hadits Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa juga daripada al-Qur’an seorang yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Ia adalah hadis yang dha’if, didha’ifkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya. Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001), jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum terhadap 3 perkara).]
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Ada juga hadits yg membahas hal tersebut : “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Sanad hadits ini dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih li ghairihi .
Menurut ulama yang berpendapat boleh menyentuh Al Quran dalam kondisi junub dan haid, kata thohir di dalam hadits tersebut adalah bersih dari najis, sedangkan orang beriman itu tidak najis.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author, Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat, Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis berdasarkan hadits di atas.
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At- Taubah: 28)
Jadi, yg najis adalah orang-orang musyrik, sedangkan orang-orang beriman tidak najis (suci). Sehingga wanita dalam keadaan haid jika disesuaikan dengan tafsiran sesungguhnya dari ayat-ayat tersebut bahwa bukanlah orang yang tidak suci disitu dalam keadaan najis seperti haid, melainkan najis dalam ayat tersebut yakni ditunjukkan atau pengganti bagi kaum musyrik. Sehingga perlu dicermati kembali bukan hanya kontekstual potongan ayatnya saja melainkan lihatlah ayat sebelum bahkan sesudahnya dalam menemukan suatu kepastian dalam ayat tersebut apalagi dalam menentukan suatu hukum. Bukan hanya itu, janganlah melihat melalui kontekstual arti dari potongan ayatnya saja namun gali kembali esensi yang terkandung didalam ayat dan tafsiran wajan dalam setiap kalimah yang tersusun dalam ayat tersebut agar tidak sampai mempertahankan suatu keyakinan yang setengah-setengah dalam suatu penentuan hukum.

BAB III
PENUTUP

Permasalahan hukum membaca Al Quran bagi wanita sedang haid, namun disimpulkan dalam artikel tersebut bahwa dilarang wanita yang sedang haid atau junud itu membaca Al-Quran karena semata-mata hanya melihat dari redaksi ayat yang digunakan untuk memperkuat tanggapan dalam artikel tersebut tanpa melihat bagaimana redaksi susungguhnya yang terkandung dalam setiap kalimah dan wajan yang dipakai dalam memahami ayat tersebut yang hanya dipahami secara kontekstualnya saja bukan esensi sesungguhnya dari ayat tersebut.
Bahwa ditemukan penjelasan dari kontektual ayat tersebut dari sebelum QS Al WAqiah ayat 79 bahwa suci disitu yakni terhindar dari najis dan dalam konteks ayat tersebut adalah orang-orang musyrik yang dijelaskan dalam ayat At-Taubah ayat 28, sedangkan orang-orang beriman tidak najis (suci). Sehingga wanita dalam keadaan haid jika disesuaikan dengan tafsiran sesungguhnya dari ayat-ayat tersebut bahwa bukanlah orang yang tidak suci disitu dalam keadaan najis seperti haid, melainkan najis dalam ayat tersebut yakni ditunjukkan atau pengganti bagi kaum musyrik.
 

DAFTAR PUSTAKA

Nanih Machendrawaty dan Aep Kusnawan. (2003) Teknik Debat Dalam Islam.
Bandung: Pustaka setia.
WJS. Poerdaeminta. (1976) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar