TANGGAPAN MENGENAI
HUKUM MEMBACA AL-QURAN
BAGI WANITA YANG HAID
POLEMIK
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaifiyat
Mujadalah
Dosen Pengampu : Yuyun Yuningsih, S.Sos.I.,M. Ag.
Disusun
oleh :
Ridha Syahida I
Z
1144010155
JURUSAN BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
...........................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
A.
Pengertian Polemik.............................................................................
B.
Contoh Artikel...................................................................................
C.
Tanggapan Penulis Mengenai
Artikel.................................................
BAB III PENUTUP ......................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Perbedaan
pendapat tentang wanita haid menyentuh dan membaca Al Quran dikarenakan
perbedaan penafsiran Al Quran dan hadits yang ada. Sehingga, jangan jadikan
perbedaan pendapat (khilafiyah) yang ada untuk saling bermusuhan dan saling
membenci di kalangan umat muslim satu dengan yang lainnya. Penulis paparkan perihal
tersebut, agar kita sama-sama dapat saling memaklumi sebuah pendapat yang mungkin
berbeda dengan pendapat yg kita pegang selama ini. Bisa saling menghormati satu
dengan yg lainnya. Karena fiqih itu sebuah pemahaman manusia sehingga tak apa
berbeda asal tetap satu akar kuat yakni sesuai perintah Allah, sebagaimana yang
disampaikan oleh dosen pengampu mata kuliah Kaifiyat Mujadalah dalam beberapa
pertemuan perkuliahan lalu.
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah wanita haid boleh menyentuh
dan atau membaca Al-Quran ataukah tidak. Untuk membahas masalah ini, tentu tidak
adil jika satu pendapat saja yang saya sampaikan. Oleh karena itu, terdapat
hanya satu pendapat yang dikemukakan oleh salah satu blog yang diakses pada
tanggal 28 Desember 2012, yang akan ditanggapi oleh penulis mengenai artikel
tersebut dengan polemik ini yang berjudul “Tanggapan Mengenai Hukum Membaca
Al-Quran Bagi Wanita Yang Haid”. Sehingga mana yang lebih mendekati kebenaran dan sesuai dengan dalil yang
ada. Serta pembaca berhak pula memilih mana yg akan dijadikan pegangan dalam
masalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Polemik
Dari segi
bahasa ditemukan bahwa polemik merupakan suatu bentuk lain dari mujadalah. Polemik
yang berasal dari bahasa Inggris “polemic”, berarti debat melalui
tulisan. Lebih khas lagi berarti perbantahan (debat) melalui tulisan dalam
surat kabar dan sebagainya (PJS. Poerwadaeminta, 1976:763).
Pada
prinsipnya, polemik “senyawa” dengan mujadalah, sedangkan yang
membedakannya polemik dengan diskusi dan debat, lebih pada aspek medianya,
yaitu tulisan, bukan lisan. Sehingga polemik pun memiliki ciri-ciri tersendiri
dan menjadi sedikit berbeda dengan mujadalah pada umumnya. Diantara
sumber ciri tersebut ialah ia merupakan sebuah tanggapan terhadap tulisan yang
telah dipublikasikan di surat kabar atau sejenisnya dan ia juga disalurkan
melalui tulisan, yang kemudian dipublikasikan di surat kabar atau sejenisnya
(Nanih Machendrawaty dan Aep Kusnawan, 2003:283).
B.
Contoh Artikel Hukum Membaca Al-Quran Bagi
Wanita Yang Haid
Dalam suatu artikel yakni blog yang di akses
oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. yakni pada tanggal 28
Desember 2012 dengan link websitenya https://rumaysho.com/3065-menyentuh-handphone-yang-terdapat-aplikasi-al-quran.html dalam artikelnya mengutarakan :
Dalil mengenai terlarangnya menyentuh mushaf Al
Qur’an ketika hadats yakni Allah
Ta’ala
berfirman,
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79).
Begitu pula sabda Nabi ‘alaihish sholaatu was salaam, yang
diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadroknya, “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau
dalam keadaan suci.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib
berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah
pendapat yang diketahui dari para sahabat, seperti Sa’ad, Salman dan Ibnu Umar”.
Dalam Syarh Al ‘Umdah, Ibnu Taimiyyah
berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin tanpa diketahui
adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa
pendapat ini telah dikenal di antara mereka”.
Hadits di atas dinyatakan shahih lighairihi. Mengapa..?! hadits
tersebut diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, jika hadits tersebut
berdiri sendiri-sendiri bisa disebut hadits dhaif, tetapi jika berdiri bersama-sama
dengan menghubungkan jalur-jalur sanad yang ada, maka hadits tersebut bisa
disebut hadits shahih, sehingga shahihnya dinamakan shahih lighairihi dan
sebuah hadits shahih bisa dijadikan acuan/dasar untuk sebuah pendapat dalam
fiqih.
Ada juga hadits lainnya, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Tidak boleh membaca sesuatu ayat Al-Quran bagi orang junub dan
tidak pula perempuan-perempuan haid. [Hadis daripada Ibnu Umar. Diriwayatkan
at-Tirmidzi;Ibn Majah dan al-Baihaqi. Dikeluarkan oleh Imam an-Nasa’I di dalam
Sunannya no.588 dan at-Tirmidzi didalam
sunanya no.121).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, maka diambillah sebuah
pendapat yang melarang wanita haid membaca Al Quran.
C.
Tanggapan Penulis Mengenai Artikel Hukum
Membaca Al-Quran Bagi Wanita Yang Haid
Bahwa dalam sebuah penyampaian ilmu apalagi mengenai Fiqih suatu
keyakinan haruslah disebutkan atau dikemukakan mengenai berbagai pendapat dari
setiap permasalahan. Salah satunya yakni dalam permasalahan hukum membaca Al
Quran bagi wanita sedang haid, namun disimpulkan dalam artikel tersebut bahwa
dilarang wanita yang sedang haid atau junud itu membaca Al-Quran karena semata-mata
hanya melihat dari redaksi ayat yang digunakan untuk memperkuat tanggapan dalam
artikel tersebut tanpa melihat bagaimana redaksi susungguhnya yang terkandung
dalam setiap kalimah dan wajan yang dipakai dalam memahami ayat tersebut yang
hanya dipahami secara kontekstualnya saja bukan esensi sesungguhnya dari ayat
tersebut.
Ternyata dalam sebuah hadits lain pun dapat kita lihat terdapat beberapa
hadits yang justru hadits yang lebih shohih yang mengemukakan bahwa hukum
membaca Al Quran bagi wanita sedang haid itu tidak apa-apa dan tidak dilarang.
Dan diselidiki secara detail esensi dalam QS Al-Waqi’ah ayat 79 tersebut
terdapat makna yang sesungguhnya, yakni dengan mendetailkan tafsiran yang
terkandung dalam ayat tersebut dengan melihat wajan dari kalimah ayat tersebut.
Yakni sebagai berikut,
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali
mereka yang telah disucikan” (QS. Al-Waqi’ah : 79)
Untuk memahami makna sebuah ayat Al Quran,
tentu kita harus belajar, bagaimana para pakar tafsir Al Quran menafsirkan ayat
tersebut. Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya menerangkan penjelasan/ tafsir
dari Ibnu Abbas dan lain-lain bahwa tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an
yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya.
Mari kita simak ayat-ayat sebelumnya dan bagaimana penafsiran para shahabat
terhadap ayat tersebut :
إِنَّهُ
لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ )77(
فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ )78(
لاَّ يَمَسَّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ)79(
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan
yang sangat mulia (77) pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh) (78), tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (79)”
Ibnu Katsir menafsirkan ayat “fii
Kitabim-maknun” (QS 56;77) berarti di langit, yakni di al-Lauh al-Mahfuz.
Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak,
Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrohman bin Zaid bin
Aslam, dan selain mereka sebagaimana diterangkan dalam kitab Ibnu Katsir.
Dalam kitab tafsir Tafsir Ath Thobari XI/659
bahwa Ibnu Zaid Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para
utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi
disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.”
Dalam kitab tersebut juga diterangkan Adh
Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah
yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka
Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu
melakukannya.”
Demikian juga keterangan beberapa sahabat dan
tabi’in sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam Jamii
al-Bayan [Dar al-Fikr, Beirut 1999, riwayat no: 25955 – 25970. Lihat juga
al-Mawardi – Al-Nukatu wa al-‘Uyun (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut), jld. 5,
ms. 463-464.]
Jika kita kaji dari jenis bentukan isimnya
dalam ayat tersebut pun, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa lafadz yang
digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang
yang disucikan), bukan dalam bentukisim fa’il (orang-orang yang bersuci).
Perhatikan kalimatnya : “Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali
mereka yang telah disucikan,” yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan
sebagai faa’il (subyek).”
Ulama yang membolehkan wanita haid membaca Al
Quran juga menggunakan dasar Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau
berkata, “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku sedang haidh. Aku tidak
melakukan thowaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shofa dan Marwah. Saya laporkan
keadaanku itu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau
bersabda, ‘Lakukanlah apa yang biasa dilakukan oleh haji selain thowaf di
Baitullah hingga engkau suci’.” (Hadits riwayat Imam Bukhori no. 1650).
Berdasarkan dalil tersebut di atas, yang tidak
diperbolehkan hanya thawaf saja, sedangakn amal orang yang beribadah haji
lainnhya tetap diperbolehkan termasuk berdzikir, membaca AL Quran dan
lain-lain. Thawaf tidak boleh, karena thawaf menurut hadits dari Ibnu Abbas itu
seperti shalat. “Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya
dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922) “Thawaf di Ka’bah
seperti shalat, namun Allah masih membolehkan berbicara saat itu. Barangsiapa
yang berbicara ketika thawaf, maka janganlah ia berkata selain berkata yang
benar.” (HR. Ad Darimi no. 1847 dan Ibnu Hibban no. 3836).
Hadits di atas memang digolongkan sebagai
hadits mauquf, yaitu hanya sampai pada sahabat dan tidak sampai pada Rasulullah
tetapi, hadits mauquf adalah ucapan para shahabat yg telah belajar langsung
kepada Rasulullah, tidak mungkin beliau berkata bohong atau mengarang cerita
sendiri, maka bisa dijadikan dasar sebuah pendapat dalam agama, karena bisa
digolongkan termasuk atsar para shahabat.
Menilik hal tersebut, maka thawaf tidak
diperbolehkan untuk dilakukan oleh wanita haidh seperti larangan untuk shalat.
Selain itu, berdzikir, membaca Al Quran dan sebagainya yang biasa dilakukan
orang yg beribadah haji, tidak dilarang.
Sekarang, mari perhatikan hadits tentang tidak
boleh membaca Al Quran kecuali orang yg suci. Hadits tersebut berbunyi : hadits
Ibn Umar: “Tidak boleh membaca sesuatu apa juga daripada al-Qur’an seorang
yang dalam keadaan junub atau haid” , maka ia diriwayatkan oleh
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi I/236; Al Baihaqi I/89 dari Isma’il bin
‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar).
Ia adalah hadis yang dha’if, didha’ifkan oleh
al-Bukhari, al-Baihaqi dan selainnya. Kedha’ifan yang terdapat padanya adalah
jelas. [Majmu’ Syarh al-Muhazzab (Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, Beirut 2001),
jld. 2, ms. 123-125 (Kitab Taharah, Bab Apa yang mewajibkan mandi, Bab Hukum
terhadap 3 perkara).]
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al Baihaqi (si periwayat hadits tersebut) berkata, “Pada hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail al Bukhari menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata, ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Isma’il bin Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Isma’il adalah munkar haditsnya (apabila) gurunya berasal dari Hijaz dan ‘Iraq’.”
Al ‘Uqaili berkata, “Abdullah bin Ahmad
berkata, ‘Ayahku (Imam Ahmad) berkata, ‘Ini hadits bathil. Aku mengingkari
hadits ini karena adanya Ismail bin ‘Ayyasi’ yaitu kesalahannya disebabkan oleh
Isma’il bin ‘Ayyasi’.”
Ada juga hadits yg
membahas hal tersebut : “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang
suci.” (Hadits Al Atsram dari Daruqutni dan lain-lain). Sanad hadits ini
dho’if namun memiliki sanad-sanad lain yang menguatkannya sehingga menjadi
shahih li ghairihi .
Menurut ulama yang berpendapat boleh menyentuh Al
Quran dalam kondisi junub dan haid, kata thohir di dalam hadits tersebut adalah
bersih dari najis, sedangkan orang beriman itu tidak najis.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia
berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di
salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam
keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku
datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu
Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk
bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah!
Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau
bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Imam Asy Syaukani berkata dalam Nailul Author,
Kitab Thoharoh, Bab Wajibnya Berwudhu Ketika Hendak Melaksanakan Sholat,
Thowaf, dan Menyentuh Mushhaf: Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang
tidak najis, sedangkan seorang mu’min selamanya bukan orang yang najis
berdasarkan hadits di atas.
Maka tidak sah membawakan arti (hamba) yang
disucikan bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa
barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak
musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang
musyrik itu najis.” (QS. At- Taubah: 28)
Jadi, yg najis adalah orang-orang musyrik,
sedangkan orang-orang beriman tidak najis (suci). Sehingga wanita dalam keadaan
haid jika disesuaikan dengan tafsiran sesungguhnya dari ayat-ayat tersebut
bahwa bukanlah orang yang tidak suci disitu dalam keadaan najis seperti haid,
melainkan najis dalam ayat tersebut yakni ditunjukkan atau pengganti bagi kaum
musyrik. Sehingga perlu dicermati kembali bukan hanya kontekstual potongan
ayatnya saja melainkan lihatlah ayat sebelum bahkan sesudahnya dalam menemukan
suatu kepastian dalam ayat tersebut apalagi dalam menentukan suatu hukum. Bukan
hanya itu, janganlah melihat melalui kontekstual arti dari potongan ayatnya
saja namun gali kembali esensi yang terkandung didalam ayat dan tafsiran wajan
dalam setiap kalimah yang tersusun dalam ayat tersebut agar tidak sampai
mempertahankan suatu keyakinan yang setengah-setengah dalam suatu penentuan
hukum.
BAB
III
PENUTUP
Permasalahan
hukum membaca Al Quran bagi wanita sedang haid, namun disimpulkan dalam artikel
tersebut bahwa dilarang wanita yang sedang haid atau junud itu membaca Al-Quran
karena semata-mata hanya melihat dari redaksi ayat yang digunakan untuk
memperkuat tanggapan dalam artikel tersebut tanpa melihat bagaimana redaksi
susungguhnya yang terkandung dalam setiap kalimah dan wajan yang dipakai dalam
memahami ayat tersebut yang hanya dipahami secara kontekstualnya saja bukan
esensi sesungguhnya dari ayat tersebut.
Bahwa
ditemukan penjelasan dari kontektual ayat tersebut dari sebelum QS Al WAqiah
ayat 79 bahwa suci disitu yakni terhindar dari najis dan dalam konteks ayat
tersebut adalah orang-orang musyrik yang dijelaskan dalam ayat At-Taubah ayat
28, sedangkan orang-orang beriman tidak najis (suci). Sehingga wanita dalam
keadaan haid jika disesuaikan dengan tafsiran sesungguhnya dari ayat-ayat
tersebut bahwa bukanlah orang yang tidak suci disitu dalam keadaan najis
seperti haid, melainkan najis dalam ayat tersebut yakni ditunjukkan atau
pengganti bagi kaum musyrik.
DAFTAR
PUSTAKA
Nanih Machendrawaty dan Aep Kusnawan. (2003) Teknik Debat Dalam
Islam.
Bandung: Pustaka setia.
WJS. Poerdaeminta. (1976) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar