Jumat, 24 Februari 2017

KORUPSI DALAM KESEHATAN MENTAL



KORUPSI DALAM KESEHATAN MENTAL
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Kesehatan Mental






                                                         Disusun oleh Kelompok I :             
                                                Asep Hermawan            1154010023
                                                Rani Anggraeni             1144010149
                                                Resya Ayu Pratiwi         1144010154
                                                Ridha Syahida I Z         1144010155
                                                Rini Meita Sari              1144010160
                                                Risma Muzdalifah         1144010161

                                                Sita Maria Ulfah           1144010170
                                                Siti Rahmah                  1144010173
                                                Succy Ayu Pertiwi        1144010178 
                                                Suhartinah                     1144010179
                                                Utami Nur Asyifa         1144010188
                                                Yanti Nur Fadillah        1144010192


                                     
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................         i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ....... ii
BAB I   PENDAHULUAN ........................................................................... ....... 1
A.      Latar Belakang Masalah .................................................................... ....... 1
B.       Perumusan Masalah ........................................................................... ....... 1
C.       Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
D.      Metode Penulisan .............................................................................. ....... 2
BAB II  PEMBAHASAN............................................................................... ....... 3
A.      Korupsi....................................................................................................... 3
B.       Kesehatan Mental............................................................................... ..... 10
C.       Korupsi Dalam Kesehatan Mental...................................................... ..... 14
D.      Penyebab Terjadinya Korupsi Dipandang Dari Perspektif Kesehatan Mental                     24
E.       Cara Menangani Korupsi Dipandang Dari Perspektif Kesehatan
Mental................................................................................................. ..... 27
BAB III PENUTUP ...................................................................................... ..... 36           
A.      Kesimpulan ........................................................................................ ..... 36
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Korupsi
1.        Sejarah Korupsi
Korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma, sampai abad pertengahan, dan sekarang. Para pendeta di zaman mesir memeras rakyatnya dengan alasan keharusan menyajikan kurban kepada para dewa. Jenderal-jenderal pada zaman kerajaan Romawi memeras daerah-daerah jajahannya guna memperkaya diri. Pada abad ertengahan banyak bangsawan korup di istana-istana para raja di Eropa. Bahkan sekrang pun, di Amerika Serikat yang begitu makmur dan modern masih banyak berjangkit praktik-praktik korupsi.
Dalam masyarakat primitif, korupsi jarang terjadi. Hal ini disebabkan oleh dominasi dari tradisi dalam penentuan tingkah laku manusia dan adanya kontrol langsung oleh segenap anggota masyarakat kecil itu. Maka korupsi berkembang dengan semakin majunya dunia ekonomi dan politik, berbarengan pula dengan kecepatan modernisasi ekonomi dan sosial. Oleh perkembangan demokrasi parlementer dan semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan sumber-sumber alam baru, semakin ikut berkembang pula praktik-praktik korupsi dan tindak-tindak manipulatif. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan negara, semakin kuat pula dorongan individu (terutama di kalangan pegawai negeri) untuk melakukan korupsi dan usaha-usaha penggelapan.
Pemberian hak-hak monopoli dan macam-macam privilege oleh para Penguasa (baik yang ada di pusat maupun di daerah-daerah), biasanya diperlicin dengan jalan penyuapan atau sogokan. Bertambahnya proyek-proyek pembangunan negara yang meliputi milyar dan rupiah, meimbulkan relasi-relasi yang akrab antara pemerintah dan kaum bisnis melalui kontrak-kontrak yang berekseskan tindak koruptif. Kontrak-kontrak ini hampir selalu diberikan kepada mereka yang sanggup memberikan uang komisi paling tinggi atau diberikan kepda kalangan sendiri. Hal ini menyuburkan sistem sogok dan penyuapan. Terutama sekali banyak terjadi pada kontrak-kontrak besar untuk suplai keperluan militer; khususnya di masa-masa perang (Kartono, Kartini, 2014: 90,92-94).

2.        Pengertian Korupsi
Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia, dimana  organisasi  kemasyarakatan  yang  rumit  mulai  muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada  abad  pertengahan para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata, korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno.
Korupsi  memang  merupakan  istilah  modern,  tetapi  wujud  dari tindakan korupsi itu sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, seorang Indian yang menjabat semacam perdana menteri, telah menulis buku berjudul “Arthashastra” yang membahas masalah korupsi di masa itu Dalam literatur Islam, pada abad ke-7 Nabi Muhammad SAW. juga telahmemperingatkan sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk tindakan yang merugikan orang lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari korupsi (Ahmad Fawa’id dan Sultonul Huda, 2006: 1).
Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi  kondisi  yang  sebaliknya. Corruptio  dari  kata   kerja   corrumpere,   yang  berarti  busuk,  rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Muhammad Azhar, 2003:28).
Korupsi adalah tingkah laku individu yang mrnggunakan wewenang dari jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang, dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Delict korupsi, menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP adalah: kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai tindak dan sanksi hukum.
Menurut Beberapa  Negara - negara di dunia mengartikan korupsi antara lain (Syed Hussein Alatas, 1975: 32) :
a)       Meksiko
Corruption is (acts of dishonesty such as bribery, graft, conflict of interst negligence and lock of effeciency that require the planing of specific strategies it is an illegal inter change of favors).
Korupsi diartikan : sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa pemberian sogokan, upeti, terjadinya pertentangan kepentingan kelalaian dan pemborosan yang memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan keuntungan kepada pelakunya).
b)       Nigeria
Corruption as being : an act done with an intent to give some adventage inconsis tent with official duty and the richts of other. The act of an official or judiciar person who an lawfully and wrong fully use his station or character to procure some benefit for him self or for other persons contraty to duty and the right of others.
Korupsi diartikan : sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak sesuai dengan tugas / jabatannya dan melanggar hak orang lain. Suatu perbuatan oleh seorang pegawai/pejabat atas petugas hukum (judiciart) yang tidak secara sah menyalahgunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan baginya atau orang lain, yang bertolak belakang dengan kewajibannya dan bertentangan dengan hak-hak orang lain).
Bribery as : The offering, giving receving or soliciting of anything of value to influence action as an official or in discharge of a leal or/public duty). Penyuapan adalah : Penawaran pemberian dan menerima atau menyediakan sesuatu yang berharga yang akan mempengaruhi tindakan sebagai pejabat/petugas atau yang menyelewengkan (merusakan) tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan.
c)       Russian
Corruption as : A system of certain relations based on unlawful deal of officials to detriment of the state and public interests ther motives maybe variegated. (sebagai suatu sistem hubungan tertentu yang melanggar hukum dari semua aparat negara yang melanggar kepentingan negara dan masyarakat, dengan motivasi beraneka ragam).
d)      Muangthai
Corruption as : behaviour of public servant that are condemned by law. Perilaku yang dilarang oleh undang-undang bagi pegawai negeri (pemerintahan).
e)      Philipina
Korupsi mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1)      Penyalahgunaan wewenang terhadap dana masyarakat (Malversation of public fund).
2)      Pemalsuan dokumen-dokumen (falsification of public documents)
3)      Suap menyuap (bribery)
f)        India 
Behaviour of uncrupulous elements to indulge in making quick monetby misuse of official position or authority or by resirting to intentional delay and dilatory tactics with a view to cause harrasment and thereby putting pessure on some members of the public to part with money in clandestine manner.
(Perbuatan dari oknum-oknum yang tidak terpuji ingin memperoleh keuntungan (uang) secepat mungkin dengan menyalahgunakan kedudukan kewenangan atau dengan taktik-taktik yang sengaja memperlambat suatu penyelesaian dengan tujuan agar menjadi gangguan-gangguan sehingga mau tidak mau orang yang berkepentingan harus berurusan dengan uang dengan cara jalan belakang).
Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut  masyarakat  dengan tujuan  untuk  mendapatkan keuntungan pribadi (serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed Husein Alatas yang lebih luas: ”Corruption is abuse of trust in the interest of private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (Syamsul Anwar, 2006: 10).
Berdasarkan berbagai definisi mengenai korupsi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa korupsi adalah berbagai bentuk penyelewengan terhapap kewenangan yang dimiliki seseorang dengan berbagai cara, sehingga karenanya orang lain tidak dapat memperoleh hak yang semestinya mereka dapat.

3.        Pandangan Islam Mengenai Korupsi
Mengenai korupsi ini, hukum Islam berkata sebagai berikut: Jika seseorang muslim mencuri uang pada baitul mall (kas negara), maka tidak dipotong tangan pencuri ini, karena harta itu hak milik yang berupa syubhat yang membebaskan pesakitan dari hukum potong tangan.
Sedang Khalifah Umar bin khatab berkata: (Hadis Imam Bukhari) tangan pencuri ini tidak boleh dipotong alasannya adalah bahwa: tiap-tiap orang berhak pada kas negara ini. Jika seorang kafir mencuri uang kas negara (negara Islam), maka dipotong tangan pencuri kafir itu, karena ia tidak berhak menguasai uang kas negara.

4.        Macam-Macam Korupsi
Alatas (1987), menjelaskan korupsi sebagai penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi. Menurutnya, ada beberapa macam korupsi, yaitu:
a.         Korupsi transasktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan dua belah pihak dalam bentuk suap, di mana yang memberi dan yang diberi sama-sama mendapatkan keuntungan.
b.        Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang dilakukan dengan pemaksaan oleh pejabat, sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar, si pemberi tidak ada alternatif lain.
c.         Korupsi investatif, yaitu korupsi yang dilakukan seorang pejabat karena adanya iming-iming tentang sesuatu yang akan menghasilkan di masa yang akan datang.
d.        Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena adanya perlakuan khusus bagi keluarga atau teman dekat atas seuatu kesempatan mendapatkan fasilitas.
e.         Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan, dengan jalan memberikan informasi kepada pihak luar yang sebenarnya harus dirahasiakan.
f.         Korupsi suportif, yaitu korupsi yang dilakukan secara berkelompok dalam satu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi tindak pidana korupsi yang dilakukan secara kolektif.
Di sisi lain, Lopa (2001) membagi perbuatan korupsi menjadi tiga jenis. Pertama, korupsi yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya material (uang). Korupsi jenis ini ia sebut sebagai material corruption. Kedua, korupsi berupa tindakan memanipulasi hasil pemungutan suara dengan cara mempengaruhi kebebasan memilih, komersialiasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau keputusan yang bersifat administratif, janji jabatan, dan sebagainya. Korupsi jenis ini disebut political corruption. Ketiga, korupsi berupa tindakan memanipulasi ilmu pengetahuan. Misalnya, seseorang memberikan informasi atau menerangkan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dengan cara yang tidak sebenarnya. Biasanya karena dilatar belakangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu seperti kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Korupsi jenis ketiga ini disebut intelectual corruption.
Dalam ilmu, akuntansi korupsi dianggap sebagai bagian kecurangan yaitu segala cara yang dapat dilakukan orang untuk berbohong, menjiplak, mencuri, memeras, memanipulasi, kolusi, dan menipu orang lain dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang/kelompok lain dengan cara melawan hukum. Yang termasuk tindak kecurangan diantaranya adalah ketidakjujuran, penipuan, pelanggaran kepercayaan, pencurian, maksud berbuat salah, dan rencana untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan merugikan pihak lain (Suradi, 2006).

5.        Unsur-unsur Dominan Yang Melekat Pada Tindakan Korupsi
Setelah mengetahui tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi maka dapat diuraikan unsur-unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi :
a.        Setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain. Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut urusan-urusan perusahaan atau negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah bahwa akibat-akibat buruk dari korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau Negara, bukan oleh si pelaku korupsi.
b.      Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang melakukannya. Ketika seorang pejabat disogok untuk mengeluarkan izin pendirian pasar swalayan oleh seorang pengusaha, misalnya, perbuatan mengeluarkan izin itu merupakan fungsi dari jabatannya sekaligus kepentingan pribadinya. Pengusaha yang mengajukan permohonan izin mungkin telah menggunakan jalur hokum yang berlaku, tetapi penyogokan yang dilakukannya jelas merupakan tindakan di luar hokum sebab ia telah mempengaruhi keputusan secara tidak adil dan mengurangi kesempatan pengusaha-pengusaha lain untuk memperoleh hak mereka.
c.       Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, klik atau kelompok. Oleh karena itu, korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan organisasi, kepentingan negara atau kepentingan umum.
d.      Orang-orang yang mempraktikan korupsi biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya. Mungkin saja korupsi sudah begitu menjarah sehingga banyak sekali orang yang terlibat korupsi. Akan tetapi pada keadaan seperti ini pun setidak-tidaknya motif korupsi tetap disembunyikan. Ini disebabkan karena setiap tindakan korupsi pada hakikatnya mengandung unsur penipuan dan bertentangan dengan hokum.
e.       Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Dalam hal ini tidak ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional pelakunya. Dengan demikian korupsi jelas dapat dibedakan dari maladministrasiatau salah urus (mis-management).

B.       Kesehatan Mental
1.       Pengertian Kesehatan Mental
Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata “mental” diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahas latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Kesehatan mental merupakan bagian dari psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. jadi dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Sedangkan yang dimaksud Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kartini Kartono (2003:8-11).
Pengertian kesehaan mental secara etimologi berasal dari kata kesehatan dan mental berarti keadaan hal (hal) 3 sedangkan mental berarti batin, rihani, berkenaan dan jiwa di lain pengerian sesungguhnya menyangkut masalah-masalah ingatan, pikiran ataupun kenakalan 4 jadi kesehatan mental adalah keadaan sehatyang bekenaan atau menyangkut masalah-masalah ingatan, pikiran atau akal dan dalam bidang psikologi orang memberikan istilah tentang penegrtian kesehatan mental yaitu dengan sebutan mantal hygne.
Kesehatan mental secara Terminology menurut Dr. Zakiyah Darajat adalah sebagai berikut : Zakiyah Daradjat (1983:11)
a)    Terhindarnya orang dari gejala - gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala - gejala penyakit jiwa (psychose).
b)   Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
c)    Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagian diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan - gangguan dan penyakit jiwa.
d)   Terwujudnya keharmonisan yang sungguh - sungguh antara fungsi - fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem - problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagian dan kemampuan dirinya.
e)    Jadi Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun secara sosial
f)    Kesehatan mental pada manusia itu dipengaruhi oleh faktor internal dan external. Keduanya saling mempengaruhi dan dapat menyebabkan mental yang sakit sehingga bisa menyebabkan gangguan jiwa dan penyakit jiwa.
Menurut Mustafa Fahmi sesungguhnnya kesehatan jiwa mempunyai pengetian dan batasan yang banyak. Disini dikemukakaan dua penegtian saja sekedar untuk mendapatkan batasan yang dapat digunakan dengan cara memungkinkan memanfaatkan batasan tersebut dalam menagrahkan orang kepada pemahamaan hidup mereka dan dapat mengatasi kesukaraanya sehingga mereka dapat hidup bahagia dan melaksanakan misi sebagai anggota masyarakat yang aktif dan serasi dalam masyarakat sekarang. Mustafa Fahmi (1984:96).
Kesehatan mental merupakan kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran dan fisikinya juga sehat. Karean akondisi fisik dan psikisnya terjaga dengan selaras , orang bermental sehat tidak akan mengalami goncangan,kekacauan jiwa (stress), frustasi, tidak bisa menyesuaikan diri atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. dengan kata lain orang yang memiliki kesehatan mental prima juga memiliki kecerdasaan seimbang baik secara intelektual ,emosional maupun spiritualnya untuk mencapai kebahagiaan hidup. Dalam litelaur psikologi ditemukan beberapa pengertian kesehatan mental , hal itu dapat dimenegrti , sebab pemaknaan bagian dari teori kesehatan mental. Konsep-konsep empirik disini meliputu dasar-dasar pemikiran mengenai wawasan ,landasan, fungsi-fungsi ,ruang lingkup dan metodologi yang dipakai peruumus.
Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-kehidupan sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun secara sosial sikap hidup individual yang sehat dan normal adalah yang sesuai dengan norma dan pola hidup individu yang sehat dan normal adalah sikap yang sesuai dengan norma dan pola hidup elompok masyarakat sehingga ada relasi interpersonal danintersosial yang memuaskan.
Menurut Dr. Jalaludin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa “kesehatan mental” merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang,tentram dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

2.        Faktor-faktor Kesehatan Mental
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor (Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki kesehatan mental adalah Memiliki kemampuan diri untuk bertahan dari tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga berbeda.
a.        Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang seperti sifat, bakat, keturunan dan sebagainya. Contoh sifat yaitu seperti sifat jahat, baik, pemarah, dengki, iri, pemalu, pemberani, dan lain sebagainya. Contoh bakat yakni misalnya bakat melukis, bermain musik, menciptakan lagu, akting, dan lain-lain. Sedangkan aspek keturunan seperti turunan emosi, intelektualitas, potensi diri, dan sebagainya.
b.       Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi mental seseorang. Lingkungan eksternal yang paling dekat dengan seorang manusia adalah keluarga seperti orang tua, anak, istri, kakak, adik, kakek-nenek, dan masih banyak lagi lainnya. Faktor luar lain yang berpengaruh yaitu seperti hukum, politik, sosial budaya, agama, pemerintah, pendidikan, pekerjaan, masyarakat, dan sebagainya. Faktor eksternal yang baik dapat menjaga mental seseorang, namun faktor external yang buruk / tidak baik dapat berpotensi menimbulkan mental tidak sehat.
Selanjutnya selain kedua factor tersebut yang dapat mempengaruhi kesehatan mental, juga dapat dipengaruhi oleh aspek psikis manusia. Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis, sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan untuk melihat jiwa manusia.

C.      Korupsi Dalam Kesehatan Mental
Indonesia merupakan negara yang masih berbenah membangun kembali negerinya di tengah keterpurukan dan dinamika globalisasi. Permasalahan yang mendera bangsa ini semenjak merdeka seakan negeri ini belum 100% merdeka, kemiskinan dan kesejahteraan yang masih belum merata masih menjadi momok, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar. Hal ini diperparah dengan bobroknya birokrasi dan pemerintahan dengan masih maraknya virus korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini.
Korupsi menjadi musuh utama yang dilawan di negeri ini jika mau berbenah menuju pemerintahan yang lebih baik dan transparan mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Seperti yang dikatakan tokoh Peter Drucker bahwa sesungguhnya tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah negara yang salah kelola, tepat bila merefleksikan apa yang terjadi di Indonesia. Salah kelola negeri ini dengan adanya korupsi, dimana pemimpin yang harusnya mengelola sumber daya negeri ini untuk memajukan kesejahteraan umum, malah mengkorup kekuasannya memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya akhirnya kepentingan masyarakat yang terlukai.
Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Sedangkan korupsi menurut Huntington adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Karena parahnya perilaku korupsi yang sering disebut sebagai kejahatan yang luar biasa karena sulit diberantas dan melibatkan komponen atas atau orang penting dalam sebuah negeri. Bahkan di Indonesia, negeri kita menempati peringkat ke 100 negara dari 183 negara dalam indeks persepsi korupsi (CPI), Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8, di kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4), dimana semakin rendah nilai semakin besar persepsi korupsinya.
Karena menjamurnya perilaku korupsi di Indonesia ini, sejak lama telah digaungkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk sebagai badan khusus yang menangani penyidikan dan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Begitu pula dengan adanya pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang melakukan upaya pengadilan hukum bagi pelaku tindakan korupsi.
Terlepas dari efektif tidaknya kinerja KPK maupun elemen penegak hukum lain dalam memberantas korupsi dan mengadili perilaku korupsi. Selama ini telah berhasil ditangkap banyak pelaku korupsi di pemerintahan baik pejabat publik dari mantan menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, Pejabat daerah, hingga PNS golongan rendah, pun tak lepas dari tangkapan penegak hukum jika terdapat indikasi kegiatannya merugikan negara dan berujung korupsi. Sebagai contoh pada tahun 2011 saja dari data kepolisian ada 1.323 perkara yang ditangani, melonjak daripada tahun 2010 yang hanya 585 perkara (Republika).
Kita juga dapat menandai ingatan kita dengan beberapa kasus korupsi yang mengisi ruang publik dengan pemberitaan media yang besar-besaran. Kasus korupsi pegawai pajak Gayus Tambunan yang merugikan negara sekurangnya 25 miliar. Kasus M. Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat yang turut juga menyeret istrinya Neneng Sri Wahyuni, mantan Puteri Indonesia yang menjadi Anggota DPR Anggelina Sondakh, hingga ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Menariknya ada fenomena unik yang diperlihatkan tersangka kasus korupsi yang ditangkap. Seperti yang terlihat akhir-akhir ini maupun di masa sebelumnya. Tersangka kasus korupsi banyak yang memperlihatkan atau menampilkan citra agamisnya baik dengan simbol-simbol agama ataupun ritualnya ketika dia tampil di depan publik baik saat wawancara ataupun saat di persidangan, padahal sebelumnya bisa jadi orang itu tidak selalu menggunakan simbol-simbol agama itu.
Fenomena ini bisa kita lihat contohnya pada saat kasus Nunun Nurbaiti yang baru saja tertangkap mengenakan penutup kepala seperti jilbab, begitu juga terdakwa Dharnawati yang bahkan mengenakan jilbab beserta cadar hitam ketat yang menutupi seluruh bagian tubuhnya serta mukanya kecuali mata. Begitu juga baru-baru ini istri M. Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni yang ketika tertangkap dan tampil di muka publik mengenakan jilbab sekaligus ditambah cadar penutup mulut untuk menutupi wajahnya. Tidak hanya monopoli simbol satu agama saja, contoh lain tersangka korupsi Miranda Goeltom yang ketika ditetapkan sebagai tersangka sempat langsung meminta penangguhan penahanan untuk mengikuti kebaktian.
Perilaku yang dicitrakan para tersangka tersebut dengan menggunakan simbol keagamaan bisa dibilang cukup kontras dengan tindakan korupsi yang bisa digolongkan sebagai tindakan yang memakan hak orang lain dalam hal ini melanggar norma agama yang ada.
Dalam perspektif agama Islam korupsi dapat digolongkan sebagai ghulul yaitu tindakan orang yang diberi amanah jabatan tapi mengambil keuntungan yang tidak seharusnya dari jabatan tersebut. Seperti dalam hadits: dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulul, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).” (HR. Abu Daud). Serta dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Begitu pula dalam perspektif Alkitab dalam agama Kristen, dalam kisah Yudas Iskariot yang menerima 30 keping uang perak untuk harga seorang Mesias. Yudas yang dikenal sebagai salah-satu murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama murid-muridNya.  Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri. Dalam Yohanes 12:6 : ….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya (Republika).
Itulah beberapa contoh bukti dalam perspektif agama, korupsi tidak mendapatkan tempat dan merupakan pelanggaran bagi norma agama (baca: dosa). Hal-hal tersebut tentunya juga akan dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran berbagai agama lain, yang secara universal jelas bertentangan dengan tindakan korupsi.
Tampilnya tersangka kasus korupsi di ruang publik dengan simbol-simbol agama menjadi pertanyaan apakah yang ditampilkan tersangka-tersangka tersebut merupakan pengejawentahan diri secara ikhlas dari tersangka bahwa dirinya memang religius, atau hanya sebagai pencitraan untuk menjaga citra diri bahwa dia tidak bersalah atau suci secara religius.
1.       Gayus Tambunan
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan sebelumnya merupakan PNS di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. (Wikipedia).

2.       Dharnawati
Merupakan Terdakwa kasus suap pencairan dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID) kawasan transmigrasi. Dharnawati telah divonis pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan, dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp 100 juta subsidair.

3.       Melinda Dee
Dalam ranah korupsi di sektor swasta muncul nama Inong Melinda Dee yang menjadi Terdakwa penggelap dana nasabah bekas pegawai Citibank. Dia telah divonis penjara delapan tahun dan denda Rp10 miliar subsider tiga bulan penjara.
4.       Miranda S. Goeltom
Miranda ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan ikut serta atau menyarankan Nunun Nurbaeti menyuap anggota DPR 1999-2004 terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkannya setelah Nunun divonis dua tahun enam bulan penjara dalam kasus ini.
5.       Neneng Sri Wahyuni
Neneng Sri Wahyuni merupakan istri dari M. Nazaruddin tersangka kasus korupsi yang sempat buron dimana Neneng ikut menjadi buron bahkan lebih lama dari suaminya.
Dari fakta-fakta kasus yang dijelaskan di atas gejala perilaku yang ditampilkan oleh tersangka-tersangka korupsi adalah menggunakan simbol-simbol keagamaan saat mereka berada di ruang publik baik dengan alasan menjaga citra karena kesalahan/pelanggaran mereka maupun untuk menutupi muka mereka, dapat juga karena untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Tuhan atas keadaan yang mereka hadapi.
Untuk menganalisis gejala dan fakta yang ada tentang perilaku pencitraan religius tersangka kasus korupsi di Indonesia, kita dapat membedahnya dengan mendasarkan pada beberapa tema dan teori psikologi :
1.       Emosi Bersalah
Dalam hal ini pertama kita perlu melihat konsep kondisi psikologi yang melatarbelakangi munculnya perilaku ini, dalam hal ini kita akan melihat tentang rasa bersalah. Dijelaskan dalam Pitaloka, perasaan bersalah merupakan salah satu bentuk emosi, emosi dipandang sebagai penyesuaian secara sosial, berhubungan dengan individu, dan karenanya memiliki ciri-ciri ekspresif. Selain itu, Rivera yang menyatakan bahwa emosi berkembang sebagai hasil fungsi adaptasi dalam hubungan antar manusia. Dalam pandangannya, seluruh emosi terkait dengan penyesuaian hubungan ini, antara diri dan orang lain, di mana setiap emosi berguna untuk memaksimalkan nilai dari hubungan tersebut.
Rasa bersalah dipahami sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif yang berhubungan dengan suatu standar moral. Konsep Mosher yang berdasar pada teori pembelajaran sosial (social learning theory), mendefinisikan rasa bersalah sebagai ekspektasi general pada media hukuman diri terhadap pelanggaran (atau antisipasi pelanggaran) yang terinternalisasi dari standar moral perilaku. Lebih lanjut menurut Mosher, rasa bersalah berkaitan dengan pelanggaran moral secara luas, namun mungkin hanya pada saat perilaku-perilaku tersebut membahayakan status suatu hubungan seseoramg.
2.       Defense Mechanism
Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense mechanism, atau mekanisme bertahan. Seperti kita ketahui Freud sebagai bapak psikoanalisa memiliki konsep id, ego, dan super ego. Id adalah Aspek biologis dan merupakan sistem original, Id berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-unsur biologis), libido seksualitas, termasuk juga instink-instink organisme. Ego adalah aspek psikologis karena adanya kebutuhan sinkronisasi (gateway) antara kebutuhan Id dengan realitas dunia eksternal. Prinsip Ego adalah realitas dunia obyektif. Sedangkan Superego merupakan aspek sosiologis berupa nilai-nilai tradisional sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya berupa perintah-larangan, ganjaran-hukuman, baik-buruk. Prinsip Super Ego adalah internalisasi norma-norma lingkungan yang berupaya untuk menekan dorongan Id. (Alwisol,2010).
Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol, 2010).
Seseorang akan bertahan dengan cara memblokir seluruh dorongan-dorongan atau dengan menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima konsepsi dan tidak terlalu mengancam. Cara ini disebut mekanisme pertahanan diri atau mekanisme pertahanan ego/Ego Defense Mechanism (Alwisol, 2010).
Ada beberapa bentuk defense mechanism yang diutarakan Freud diantaranya (dalam Alwisol, 2010):
a)      Identification: Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya.
b)      Displacements: Manakala obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapat dicapai karena ada rintangan dari luar (sosial,alami) atau dari dalam (antikateksis), insting itu direpres kembali keketidaksadaran atau ego menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan seperti enerji dari obyek satu ke obyek yang lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
c)      Repression: Represi adalah proses ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu (ide, insting, ingatan, pikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar dari kesadaran.
d)     Fixation & Regression: Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan selanjutnya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat.
e)      Reaction Formation: Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran.
f)       Projection : Projeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi kecemasan realistik, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke obyek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu terprojeksi dari obyek eksternal kepada diri orang itu sendiri.

Analisis
Untuk menganalisis kita mendasarkan pada teori-teori di atas. Namun, kita juga tidak bisa hanya mengasumsikan perilaku religius yang ditunjukkan tersangka itu merupakan sebuah pencitraan, kita juga harus tetap membuka kemungkinan yang dilakukan sebuah proses pertaubatan dari perilaku melanggar norma agama sehingga kembali ingin menguatkan kembali nilai-nilai agama yang terinternalisasi dalam dirinya.
Dalam kacamata emosi malu dan bersalah, perilaku relijius tersangka korupsi dapat merupakan manifestasi dari emosi bersalah yang dimiliki tersangka, emosi ini berkembang dalam hubungan sosialnya dalam manusia dan masyarakat terkait dengan norma-norma yang ada. Dimana tersangka korupsi mendapat penilaian masyarakat sebagai pelanggar norma.
Rasa bersalah dalam tersangka korupsi muncul sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif karena sebuah standar norma agama maupun hukum yang dianggap dilanggar olehnya. Rasa ini muncul sebagai media hukuman diri terhadap pelanggaran yang dia lakukan yang bertentangan dengan standar norma agama. Yaitu perilaku korupsi yang jelas menurut norma agama maupun masyarakat merupakan pelanggaran.
Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol, 2010).
Rasa bersalah yang muncul setelah tersangka muncul di ruang publik dapat mendorong tersangka korupsi untuk berusaha memperbaiki citra dirinya di mata publik, maupun di mata agama dengan menguatkan nilai-nilai agama yang telah terinternalisasi di dalam dirinya. Bagaimana jalannya mekanisme pencitraan secara psikologis bukan murni karena alasan nilai agama yang dilakukan terdakwa dapat dilihat dengan teori psikoanalisa di bawah.
Perilaku korupsi dengan konsep ini bisa dijelaskan sebagai dorongan id untuk memuaskan keinginannya dalam hal ini korupsi. Superego berupa norma agama dan hukum merupakan pencegah terjadinya perilaku korupsi.  Energi Id akan meningkat karena rangsangan (impuls) sehingga menimbulkan ketegangan atau pengalaman yang tidak enak dan menguasai Ego agar bertindak secara kongkrit dalam memenuhi rangsangan tersebut sesegera mungkin. Di sisi lain Super ego berusaha untuk menetang dan menguasai Ego agar tidak memenuhi Hasrat dari Id karena tidak sesuai dengan konsepsi Ideal.
Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense mechanism, atau mekanisme bertahan reaction formation, ketika tindakan defensif ego dilakukan dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran. Hal ini dapat kita sadari bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan norma agama (dosa) inilah yang menciptakan kecemasan bagi tersangka karena terjadi ancaman moral yang datang dari dunia superego (norma agama dan masyarakat), maka untuk mengurangi tekanan itu tersangka korupsi melakukan defense mechanism dengan mengganti impuls berdosa yang menimbulkan kecemasan itu dengan perilaku sebaliknya yaitu saleh dan beragama yang ditunjukkan dengan simbol-simbol keagamaan, sikap, perkataan, ritual, dan lain sebagainya.
Selain itu rasa malu yang diakibatkan emosi bersalah tadi kemungkinan juga yang menyebabkan tersangka memilih menggunakan simbol agama (Islam) berupa jilbab yang disertai dengan cadar atau penutup muka. Hal ini bisa dipahamai bahwa menutup muka merupakan respon yang alami pada seseorang yang merasa malu.
Lalu dengan salah satu teori yakni Teori psikoanalisa Freud (2006) menganggap bahwa perilaku manusia ditentukan oleh insting bawaan yang sebagian besar tidak disadari. Proses ketidak sadaran ini menurut Freud adalah proses terpengaruhnya perilaku oleh pikiran, ketakutan atau keinginan-keinginan yang tidak didasari oleh orangnya. Terdapat pembagian struktur dalam kepribadian manusia oleh Freud. Hal terpenting dari pendekatan psikoanalisis adalah bahwa tindakan manusia mempunyai sebab. Namun, penyebabnya sering kali berupa motif-motif yang tidak disadari, bukan alasan rasional yang diberikan oleh Penggunaan psikoanalisis memerlukan interaksi verbal yang cukup lama dengan pasien untuk menggali pribadinya yang lebih dalam. Banyak  buku yang telah di tulis Freud, dan dari teori Freud ini memiliki beberapa kelemahan terutama dalam hal-hal berikut :
1.      Ketidaksadaran (uniconsciousness) amat berpengaruh terhadap  prilaku manusia. Pendapat ini menunjukan bahwa manusia menjadi  budak dirinya sendiri.
2.      Pengalaman masa kecil sangat menentukan atau berpengaruh terhadap kepribadian masa dewasa. Ini menunjukan bahwa manusia dipandang tidak berdaya untuk mengubah nasibnya sendiri.
3.      Kepribadian manusia terbentuk berdasarkan cara-cara yang ditempuh untuk mengatasi dorongan-dorongan seksualnya. Ini menunjukan bahwa dorongan yang lain dari individu kurang diperhatikan. Freud sendiri beberapa kali menjelaskan arti istilah psikoanalisis, namun cara menjelaskannya tidak selalu sama. Salah satu yang terkenal  berasal dari tahun 1923 dan terdapat dalam suatu artikel yang dia tulis bagi sebuah kamus ilmiah Jerman.
Di situ, Freud membedakan tiga arti, pertama istilah “psikoanalisis” dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak dijankau oleh penelitian ilmiah.


D.      Penyebab Terjadinya Korupsi Dipandang Dari Perspektif Kesehatan Mental
Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Ancok (2004) mengatakan bahwa secara umum, hal yang menyebakan orang korupsi dapat dipengaruhi oleh dua faktor, faktor dari dalam diri orang bersangkutan dan penyebab yang datangnya dari lingkungan luar. Keduanya berinteraksi satu sama lain dalam budaya yang lebih luas. Faktor dalam diri adalah hal-hal yang disebut sebagai kepribadian. Sedangkan faktor dari luar adalah kondisi-kondisi di luar individu yang mempermudah individu untuk melakukan korupsi.
Merujuk pada teori teroi Mc Cleand, lebih lanjut Ancok (2004) menjelaskan bahwa pribadi yang rawan korupsi adalah pibadi yang mempunyai motivasi berprestasi yang rendah. Individu dengan sifat ini tidak terdorong untuk menghasilkan karya yang bermutu baik, tetapi ia bekerja hanya sekedar ingin mendapatkan uang. Sementara yang termasuk faktor dari luar adalah berbagai situasi yang memberikan peluang kepada individu untuk melakukan korupsi, diantaranya sistem administrasi yang kurang baik, kesan bahwa petugas hukum dapat disogok, dan adanya penyelesaian kekeluargaan di dalam penyelesaian kasus korupsi.
Selain dua faktor tersebut, Ancok (2004) menambah satu faktor lagi yaitu faktor budaya sebagai sebab yang memfasilitasi bagi munculnya tindak pidana korupsi. Beberapa karakteristik budaya mendorong perilaku korup diantaranya  budaya kekeluargaan, orientasi masyarakat yang bapakisme, dan budaya masyarakat yang kurang berani berterus terang. Sebuah seminar yang dilakukan oleh Universitas Negeri Semarang yang bertema “Psikologi Korupsi dan Pembentukan Karakter Bangsa”, juga mensimpulkan bahwa secara garis besar ada tiga faktor yang menyebabkan individu bisa melakukan tindak pidana korupsi, yaitu faktor eksternal, internal, dan situasional. Faktor eksternal meliputi budaya (karakter bangsa), sistem nilai masyarakat, sistem politik, sistem sosial dan penegakan hukum; faktor internal atau psikologis diantaranya sikap, intensi, persepsi, gaya hidup (hedonis), kepribadian, mentalitas, karakter individu, dan pengaruh kelompok; sementara yang termasuk faktor situasional diantaranya adalah kesempatan, pengawasan atau kontrol lembaga (Kompasiana, 2010).
Parwadi (2010) mengatakan bahwa sebagian korupsi dilakukan karena himpitan kesulitan hidup, namun banyak korupsi yang dilakukan karena ingin cepat kaya atau karena tujuan lain. Perbuatan korupsi pertama diawali dengan adanya niat dari koruptor, didukung oleh adanya kesempatan yang telah terkondisi, ada kewenangan, maka terjadilah tindak korupsi. Lebih lanjut di jelaskan bahwa korupsi merupakan penyakit mental (pikiran korup) dan orang akan selalu kecanduan melakukan korupsi ketika mereka telah melakukan tindakan korupsi. Korupsi seperti candu dan pelakunya sendiri adalah pecandu. Artinya, sekali orang melakukan tindakan korupsi dan menikmatinya, maka akan ketagihan untuk mengulangi dan mengulanginya lagi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Hehamahua (2005) bahwa dilihat dari motivasi yang mendorong seseorang melakuan perbuatan korupsi setidaknya dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu : (1) korupsi karena kebutuhan; (2) korupsi karena peluang; (3) Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri; (4) Korupsi karena ingin menjatuhkan pemerintah; atau (5) korupsi karena ingin menguasai suatu negara (Hehamahua, 2005).
Kwik Kian Gie (2006) mempercayai bahwa faktor psikologi seseorang sangat berpengaruh terhadap munculnya tindakan korupsi. Ia menjelaskan bahwa para koruptor, korupsi sudah sejak dalam pikiran. Hal yang disampaikan Gie (2006) tersebut tentu sangat menarik. Dia yang notabenenya berlatarbelakang seorang ekonom menyakini bahwa korupsi sangat terkait dengan masalah kejiwaan, terutama proses berfikir seseorang. Dalam psikologi, kajian mengenai mengenai bagaimana pikiran seseorang bekerja dikaji secara khusus dalam psikologi kognitif.
Sebagaimana pendapat Ancok di atas, Gie (2006) juga menyakini bahwa korupsi muncul karena adanya pertemuan antara faktor dari dalam diri dan faktor lingkungan. Berdasar pengamatannya, banyak kondisi dan situasi di lingkungan pemerintahan yang membuka celah, bahkan mendorong bagi munculnya perilaku-perilaku korup. Misalnya saja birokrat yang kurang paham mengenai seluk beluk pekerjaannya. Beberapa praktek yang dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan tekhnokrat tersebut diantaranya penjulaan Bank BUMN, masalah pemberian kredit usaha dari pemerintah,  peredaran uang palsu, pembuatan jalan tol, atau praktek perusahaan asuransi di Indonesia.
Untuk mempermudah memahami bagaimana korupsi itu terjadi, contoh kasusnya misalnya kasus pembangunan jalan tol. Kisahnya, ada seorang pengusaha yang tanpa modal ingin membangun jalan tol. Ia mengajukan izin membangun jalan tol ke pemerintah.  Dengan menyogok seperlunya, ia dapat modal 100 persen dari pemerintah. Besarnya 800 miliar. Setelah jalan jadi, pemerintah mendapat 60 biaya pemakaian jalan tol, sedangkan pengusaha mendapatkan 40% tanpa dia harus keluar modal. Pengusaha tersebut tinggal memproyeksikan berapa tahun utang itu akan selesai dibayar dan ia meneken perjanjian kepada pemerintah sebanyak tahun yang ia sebutkan itu. Praktek-praktek serupa itu dilakukan untuk kegiatan-kegiatan bisnis yang lain.
Gagasan bahwa beberapa bentuk kebudayaan memfasilitasi terjadinya korupsi juga disampaikan oleh Klitgaard (1998). Ia menjelaskan  bahwa dalam beberapa kebudayaan, ada nilai-nilai yang sedemikian rupa berbeda, sehingga korupsi kurang dituntut dipengadilan, lebih dapat diterima, atau barangkali bahkan merupakan bagian dari adat istiadat. Contoh korupsi yang terjadi karena faktor budaya ini adalah korupsi di Meksiko. Meluasnya korupsi di Meksiko ditengarai disebabkan karena orang lebih setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bukannya ke arah pemerintah atau badan administrasi. Orang-orang Meksiko memperlakukan satu sama lain sebagai pribadi, sehingga kode hukum tidak banyak artinya dalam masyarakat.
Klitgaard (1998) juga berpendapat bahwa dalam beberapa masyarakat, kesetiaan pada suku dan kekerabatan dapat mengalahkan kewajiban seorang pegawai terhadap tugas-tugas kemasyarakatannya. Contohnya, masyarakat dengan yang menganut nilai-nilai semacam itu adalah masyakat Afrika. Dalam politik Afrika, orang berbuat korup bukan semata-mata demi keuntungan pribadi, melainkan demi keluarga serta orang-orang yang termasuk dalam kelompok kekerabatan atau suku yang sama. Kebiasaan memberi hadiah merupakan salah satu adat istiadat lain yang juga ditengarai menimbulkan korupsi. Di beberapa suku tertentu di Afrika berlangsung kebiasaan untuk memberi hadiah kepada kepala suku. Dalam prakteknya, pemberian hadiah tidak hanya dilakukan kepada kepala suku, namun pihak-pihak lain yang oleh masyakarat dianggap berkuasa, misalnya pegawai pemerintah, sehingga praktek korupsi menjadi terjadi dan terus berlangsung. 
Beberapa penjelasan Klitgaard di atas mempertegas bahwa orientasi nilai hidup seseorang merupakan variabel psikologis penting bagi munculnya perilaku korup. Hal tersebut wajar terjadi, karena nilai sendiri didalamnya memuat serangkaian kepercayaan, keyakinan mengenai dunia sekitarnya, dan memandu bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku menghadapi dunia. Dengan demikian, orientasi nilai merupakan hal yang sangat pontensial untuk mengarahkan munculnya perilaku tertentu pada seseorang atau sekelompok orang.

E.       Cara Menangani Korupsi Dipandang Dari Perspektif Kesehatan Mental
Akar dari kedurjanaan banyaknya koruptor itu adalah tidak adanya usaha bahu-membahu antara masyarakat dan pemerintah dan perasaan terlibat dengan kegiatan-kegiatan pemerintah baik di kalangan pegawai negeri maupun dalam masyarakat pada umumnya.
Douglas mengemukakan bahwa jenis-jenis kebijakan pemerintah yang rentan terhadap penyelewengan administratif antara lain :
1.      Kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi syarat-syarat yang dapat menguntungkan para kontraktor.
2.      Ketika pemerintah memungut pajak yang sangat tinggi sehingga mendorong para pengusaha untuk menyuap aparat perpajakan sebagai imbalan pengurangan pajak.
3.      Penetapan tarif untuk industry-industri tertentu seperti kereta api, listrik, dan telepon, juga harga-harga komoditas tertentu. Ini mendorong perusahaanperusahaan besar dan harga.
4.      Jika pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih pihak-pihak yang boleh memasuki suatu industry, semisal pertambangan dan peleburan logam, pertelevisian, atau jasa angkutan umum.
5.      Tatkala pemerintah memberikan pinjaman atau pembebasan pajak untuk pabrik atau peralatan jangka pendek.
6.      Apabila bagian-bagian tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah.
7.      Pada saat subsidi pemerintah dibayarkan untuk proyek-proyek umum, baik secara terbuka maupun secara diam-diam.
Sehingga dapat ditemukan cara menangani korupsi secara umum maupun dalam perspektif Kesehatan Mental, sebagai berikut :
1.       Pencegahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi. Dengan demikian, pencegahan merupakan tindakan. pencegahan identik dengan perilaku. Hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan tindakan korupsi adalah dengan memperbaiki etika dan moral dari para pejabat-pejabat yang berpotensi atau memiliki sifat melakukan korupsi. Karena etika dan moral adalah yang mendasari tingkah laku manusia dalam bergaul dan bertindak. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai etika dan moral yaitu Etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukumhukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.
Adapun pencegahan perilaku korupsi sejak dini bisa dilakukan dengan cara:
a.       Penanaman kejujuran sejak dini. Kejujuran adalah suatu hal yang sangat penting dari pembentukan karakter seseorang, bila kejujuran ditanamkan secara dini, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan pejabat-pejabat pemerintahan yang jujur.
b.      Kedisiplinan dan taat pada hukum yang berlaku sangat diperlukan dalam hidupnya. Bila seseorang disiplin dan taat pada hukum Tidak dimungkiri, kedisiplinan merupakan suatu karakter dari seseorang yang yang berlaku, maka perilaku korupsi bisa musnah dengan sendirinya.
c.       Kesadaran mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Bila seseorang lebih mementingkan kepentingan umum, maka dia tidak akan egois tentang kepentingan pribadinya. Jika perilaku korupsi bisa terpinggirkan, maka bukan tidak mungkin kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pun terjamin.
d.      Penerapan Pajak kekayaan yang tinggi. Perilaku korupsi bisa disebabkan oleh keegoisan seseorang dalam meraih kekayaan. Guna mencegah kekayaan yang berlimpah, maka pajak kekayaan yang tinggi akan menjadi solusi yang baik. Dengan begtiu. seseorang enggan untuk menambah kekayaannya. Langkah ini bisa juga dimaksudkan untuk penurunan tingkat korupsi berdasarkan keinginan untuk kaya.
e.       Hidup sederhana, dan bersyukur. Tekanan ekonomi yang tinggi bisa memunculkan suatu ide dan gagasan seseorang mencari jalan pintas guna meraih kekayaan. Untuk mencegah hal tersebut, perlu ditananmkan
f.       kesederhanaan kepada seseorang sejak dini dan tak lupa rasa syukur kepada illahi atas apa yang kita miliki.

Salah satu cara untuk mencegah nafsu korupsi dari sisi psikologis adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada pejabat-pejabat di seluruh jenjang administrasi Negara, terutama yang menyangkut ideology pengendalian diri. Dan dalam konsepsi P4, gagasan pengendalian diri inilah yang memang menjadi pangkal tolak penghayatan dan pengalaman Pancasila. Gagasan ini bermula dari kenyataan bahwa dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat mutlak berdiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Dan adapula pencegahan melalui cara-cara berikut :
a.        Cara sistemik structural
Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada system politik dan system administrasi negara dengan birokrasi sebagai perangkat pokoknya. Untuk itu yang harus dilakukan adalah mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakantindakan korup dapat ditutup.
b.       Cara Abolisionistik
Cara ini berangkat dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah ke tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hokum masyarakat, serta menindak orang-orang yang korup berdasarkan kodifikasi hukum yang berlaku.
Jadi dalam menangkal korupsi kecuali menggunakan titik tekan metode kuratif, cara ini juga diharapkan menjadi perangkat preventif dengan menggugah ketaatan pada hokum. Yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini ialah bahwa hokum hendaknya ditegakkan secara konsekuen, aparat harus menindak siapa saja yang melakukan korupsi tanpa pandang bulu. Pemerintah dan masyarakat, melalui lembaga-lembaga yang ada, harus berani melakukan pembersihan di dalam tubuh aparat pemerintahan sendiri yaitu pembersihan terhadap aparatur-aparatur yang tidak jujur.
c.        Cara Moralistik
Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah factor sikap dan mental manusia. Oleh karena itu, usaha penanggulangannya harus pula terarah pada faktor moral manusia sebagai pengawas aktifitas-aktifitas tersebut. Cara moralistic dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbahkhotbah, ceramah, atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika, dan hukum. Tidak kurang pentingnya adalah pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dengan memasukkan pelajaranpelajaran etika dan moral dalam kurikulum pendidikan. Semuanya bertujuan untuk membina moral individu supaya tidak mudah terkena bujukan korupsi dan penyalahgunaan-penyalahgunaan kedudukan di mana pun dia berfungsi dalam masyarakat.

2.        Tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah di ketahui untuk dilaksanakan atau dipraktekan. Suatu sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan. agar terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa fasilitas dan dukungan dari pihak lain.tindakan terdiri dari beberapa tingkat yaitu:
a.       Presepsi Mekanisme mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
b.      Respon Terpimpin Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
c.       Mekanisme Dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain.
Dan dapat dilakukan melalui pengendalian diri dan pelaksanaan amanah. Dengan melihat uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan kembali bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Pada intinya, korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Sebagai bentuk kejahatan ia tak ubahnya seperti perampasan yang disertai kekerasan, dan bahkan menyadari bahwa dirinya telah kecolongan. Sementara itu, ekses pita-merah untuk sebagian ternyata disebabkan oleh sikap mementingkan diri sendiri (selfish) diantara administrator dan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas publiknya.
Pada dasarnya korupsi terjadi lantaran seseorang memperoleh kekuasaan alihan untuk melakukan tindakan-tindakan yang menentukan arah kebijakan organisasi atau menentukan hajat hidup orang lain baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Orang yang korup adalah orang yang mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan korup, memelihara pola-pola perilaku korup, atau menciptakan kondisi yang membuka peluang bagi tindakan korup. Argumentasi ini penting untuk menegaskan kembali bahwa pada hakikatnya korupsi merupakan sisi buruk perilaku manusia.
Dalam hal korupsi yang mengambil bentuk penyuapan, misalnya, mungkin akan muncul pertanyaan mengenai siapa yang sesunnguhnya bertindak korup. Setiap orang memiliki kesadaran moral, betapapun kecilnya. Dan setiap orang pasti tahu bahwa pola perilaku yang mengarah kepada korupsi adalah bertentangan dengan kesadaran moral tersebut. Kendati demikian, toh cukup banyak orang yang lebih sering menggunakan cara-cara korup ketimbang caracara lainnya. Oleh karena itu, persoalan yang mengusik adalah mengapa orang terdorong untuk melakukan korupsi dan mengapa orang mesti memilih cara-cara korup sedangkan cara-cara lain masih memungkinkan.
Dengan demikian sikap hidup manusia yang mampu mengendalikan diri dapat dilihat dari cirri-ciri sebagai berikut :
a.       Kepentingan pribadinya tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran kewajibannya sebagai makhluk social dalam kehidupan masyarakatnya.
b.      Kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.
Konsep pengendalian diri sama sekali bukan merupakan konsep yang absurd bahwa salah satu kebutuhan mendasar bagi setiap manusia adalah keinginan sebagai makhluk social yang sudah tentu membutuhkan kerja sama dengan orang lain. Korupsi pada dasarnya merupakan tindakan yang menyalahi kerja sama dalam konteks yang lebih besar yaitu kerja sama antar rakyat suatu bangsa untuk membangun dan mencapai tujuan bersama melalui organisasi yang disebut negara.
Salah satu unsur penting dalam pelaksanaan amanah ialah kejujuran dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepada seorang pejabat public. Andaikata para pejabat public menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, penyelewengan dan penyimpangan akan dapat segera diketahui sehingga tidak sempat menular. Intrik-intrik yang dihembuskan oleh pihak-pihak luar tidak akan mempan karena para aparatur sudah saling mempercayai satu sama lain berkat kejujuran mereka yang sudah benar-benar teruji Para pegawai terjaga dari perbuatan-perbuatan buruk dan penyelewengan jabatan karena mereka tidak gampang silau oleh kemewahan-kemewahan material yang dijanjikan oleh pihakpihak tertentu yang bermaksud buruk. Bila aparatur pemerintah tulus dan jujur, pejabat-pejabat yang mengabdi masyarakat akan bekerja dengan tenang dan para koruptor atau kaum oportunis akan lari bersembunyi, tetapi bila aparatur tidak jujur maka orang jahat akan lebih leluasa memakai cara-cara mereka yang busuk dan orang-orang yang setia akan tersisih.
Oleh karena itu, aparatur yang bersih merupakan modal utama bagi pemerintahan dan birokrasi yang tangguh. Jika suatu jajaran pemerintah sudah benar-benar bersih dan jujur, usaha-usaha untuk memaksakan niat yang jahat atau kepentingan pribadi dari seseorang yang berkedudukan tinggi akan sama halnya dengan usaha memecah karang dengan sebutir telur busuk atau menyulut api di dalam air yang tenang.
Arogansi dan pengingkaran tanggung jawab dalam pelaksanaan layanan umum tidak perlu terjadi seandainya para pejabat publik menyadari kedudukannya sebagai pelayan masyarakat. Jika para pejabat itu memandang tugas-tugas kedinasan sebagai amanah, mereka akan melihat kedudukannya seperti halnya fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lain, seperti halnya fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lain, seperti halnya seorang dokter yang melayani pasienpasiennya, pengusaha yang melayani kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, atau petani yang menggarap sawahnya untuk kemaslahatan sesame manusia. Sikap-sikap takabur sama sekali tidak diperlukan karena memang tidak ada manfaatnya bagi siapa pun. Interaksi antara masyarakat dan birokrasi public public akan berjalan secara intensif karena masing-masing unsure sudah saling menyadari kewajibannya dalam rangka mencapai tujuan bersama melalui negara sebagai wahana utamanya.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia, yaitu: Adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan partisipasi pengawasan dan pemberantasan korupsi yakni :
a.       Mengutamakan kepentingan nasional. Para koruptor lebih mengutamakan kepentingan keluarganya bahkan hanya mendapatkan keuntungan sendiri, tanpa melihat masyarakat yang meronta-ronta meminta kesejahteraan hidup.
b.      Penegak hukum harus berani memberikan sanksi terberat bagi pelaku korupsi. Penegak hukum tidak bertindak memihak hanya untuk kepentingan politik.
c.       Larangan menerima suap dari tersangka koruptor, dimana penegak hukum juga diberi sanksi apabila berani untuk menerima suap.
d.      Membentengi diri sendiri dengan memperkuat akidah dan keyakinan
Untuk tidak melakukan korupsi adalah hal yang lebih penting. Tidak terlepas dari masyarakat, karena masyarakat yang akan menilai dan yang akan menghukum para koruptor yang menjamur di Indonesia. Kasus korupsi merupakan kejahatan yang sudah mewabah menyebar ke dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia. Kasus korupsi diibaratkan seperti penyakit menular yang ganas, menjalar ke seluruh elemen kehidupan, dari kalangan atas sampai kalangan terbawah. Untuk itu, korupsi perlu dihindari dan diwaspadai dimulai dengan pencegahan diri dari tindakan korupsi. Dimulai dri hal yang terkecil, yaitu disiplin dan jujur dalam segala hal. Contohnya, sebagai aparatur kita harus disiplin dalam pekerjaan , dan jujur dalam mengerjakan tugas. Apabila hal terkecil itu saja tidak bisa berarti itu sama saja kita telah melatih diri kita untuk menjadi seorang koruptor.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fawa’id dan Sultonul Huda. (2006). NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir
dan  Fiqih. Jakarta:  Tim  Kerja  Gerakan Nasional dalam Pemberantasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Alwisol. (2010) Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press.
Ancok, D. (2004). Korupsi : Sekelumit Visi Psikologi. Diakses : 25 Mei 2011
Freud, Sigmund. (2006) A General Introduction to Psychoanalysis, Penerj. Haris
Setiowati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gie, K.K. (2006). Pikiran yang Terkorupsi. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Hehamahahua, A. (2005). Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hari Ini.
Makalah. Di sampaikan dalam semiloka BEM ITB Bandung.
Kartono, Kartini. (2014) Patologi Sosial. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. (2003) Patologi Sosial Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Klitgaard, R. (1998) Membasmi Korupsi (diterjemahkan oleh Hermoyo). Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Mustafa Fahmi. (1984) Penyesuaian Diri, Pengertian Dan Peranannya Dalam
Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.
Parwadi, R. (2010). Koruptologi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suradi. (2006) Korupsi Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta : Mengurai
Pengertian, Pendeteksian, Pencegahannya, dan Etika Bisnis. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Syamsul Anwar. (2006).  Fikih  Antikorupsi  Perspektif  Ulama  Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP).
Syed Hussein Alatas. (1975) Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.
Zakiyah daradjat. (1983) Kesehatan Mental. Jakarta: PT Toko Agung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar