KORUPSI
DALAM KESEHATAN MENTAL
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata
kuliah Kesehatan Mental
Asep
Hermawan 1154010023
Rani
Anggraeni 1144010149
Resya
Ayu Pratiwi 1144010154
Ridha
Syahida I Z 1144010155
Rini
Meita Sari 1144010160
Risma
Muzdalifah 1144010161
Sita
Maria Ulfah 1144010170
Siti
Rahmah 1144010173
Succy
Ayu Pertiwi 1144010178
Suhartinah 1144010179
Utami
Nur Asyifa 1144010188
Yanti
Nur Fadillah 1144010192
JURUSAN BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ....... ii
BAB I PENDAHULUAN
........................................................................... ....... 1
A. Latar Belakang
Masalah
.................................................................... ....... 1
B. Perumusan Masalah
........................................................................... ....... 1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
D. Metode Penulisan .............................................................................. ....... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... ....... 3
A.
Korupsi....................................................................................................... 3
B.
Kesehatan Mental............................................................................... ..... 10
C.
Korupsi Dalam Kesehatan Mental...................................................... ..... 14
D.
Penyebab Terjadinya Korupsi
Dipandang Dari Perspektif Kesehatan Mental 24
E.
Cara Menangani Korupsi
Dipandang Dari Perspektif Kesehatan
Mental................................................................................................. ..... 27
BAB III PENUTUP ...................................................................................... ..... 36
A.
Kesimpulan ........................................................................................ ..... 36
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Korupsi
1.
Sejarah Korupsi
Korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma,
sampai abad pertengahan, dan sekarang. Para pendeta di zaman mesir memeras
rakyatnya dengan alasan keharusan menyajikan kurban kepada para dewa. Jenderal-jenderal
pada zaman kerajaan Romawi memeras daerah-daerah jajahannya guna memperkaya
diri. Pada abad ertengahan banyak bangsawan korup di istana-istana para raja di
Eropa. Bahkan sekrang pun, di Amerika Serikat yang begitu makmur dan modern
masih banyak berjangkit praktik-praktik korupsi.
Dalam masyarakat primitif, korupsi jarang terjadi. Hal ini
disebabkan oleh dominasi dari tradisi dalam penentuan tingkah laku manusia dan
adanya kontrol langsung oleh segenap anggota masyarakat kecil itu. Maka korupsi
berkembang dengan semakin majunya dunia ekonomi dan politik, berbarengan pula
dengan kecepatan modernisasi ekonomi dan sosial. Oleh perkembangan demokrasi
parlementer dan semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan
sumber-sumber alam baru, semakin ikut berkembang pula praktik-praktik korupsi
dan tindak-tindak manipulatif. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan
negara, semakin kuat pula dorongan individu (terutama di kalangan pegawai
negeri) untuk melakukan korupsi dan usaha-usaha penggelapan.
Pemberian hak-hak monopoli dan macam-macam privilege oleh para
Penguasa (baik yang ada di pusat maupun di daerah-daerah), biasanya diperlicin
dengan jalan penyuapan atau sogokan. Bertambahnya proyek-proyek pembangunan
negara yang meliputi milyar dan rupiah, meimbulkan relasi-relasi yang akrab
antara pemerintah dan kaum bisnis melalui kontrak-kontrak yang berekseskan
tindak koruptif. Kontrak-kontrak ini hampir selalu diberikan kepada mereka yang
sanggup memberikan uang komisi paling tinggi atau diberikan kepda kalangan
sendiri. Hal ini menyuburkan sistem sogok dan penyuapan. Terutama sekali banyak
terjadi pada kontrak-kontrak besar untuk suplai keperluan militer; khususnya di
masa-masa perang (Kartono, Kartini, 2014: 90,92-94).
2.
Pengertian Korupsi
Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan
manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang
rumit mulai muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi
sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad
pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para
jenderal dengan cara memeras daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya
sendiri. Pada abad pertengahan para bangsawan istana kerajaan
juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata, korupsi yang merupakan benalu
sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir,
Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno.
Korupsi memang merupakan
istilah modern, tetapi
wujud dari tindakan korupsi itu
sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu tahun yang lalu,
seorang Indian yang menjabat semacam perdana menteri, telah menulis buku
berjudul “Arthashastra” yang membahas masalah korupsi di masa itu Dalam
literatur Islam, pada abad ke-7 Nabi Muhammad SAW. juga telahmemperingatkan
sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk tindakan yang merugikan orang lain
yang kemudian dikenal sebagai bagian dari korupsi (Ahmad Fawa’id dan Sultonul
Huda, 2006: 1).
Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari
bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan
jujur menjadi kondisi yang
sebaliknya. Corruptio
dari kata kerja
corrumpere, yang berarti
busuk, rusak, menggoyahkan,
memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Muhammad
Azhar, 2003:28).
Korupsi adalah tingkah laku individu yang mrnggunakan wewenang dari
jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan
negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari
kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang, dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya
dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Delict korupsi, menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP
adalah: kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai
tindak dan sanksi hukum.
Menurut Beberapa Negara -
negara di dunia mengartikan korupsi antara lain (Syed Hussein Alatas, 1975: 32)
:
a)
Meksiko
Corruption is (acts of dishonesty such as bribery, graft, conflict
of interst negligence and lock of effeciency that require the planing of
specific strategies it is an illegal inter change of favors).
Korupsi diartikan : sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran
berupa pemberian sogokan, upeti, terjadinya pertentangan kepentingan kelalaian
dan pemborosan yang memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan
keuntungan kepada pelakunya).
b)
Nigeria
Corruption as being : an act done with an intent to give some
adventage inconsis tent with official duty and the richts of other. The act of
an official or judiciar person who an lawfully and wrong fully use his station
or character to procure some benefit for him self or for other persons contraty
to duty and the right of others.
Korupsi diartikan : sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan yang tidak sesuai dengan tugas / jabatannya
dan melanggar hak orang lain. Suatu perbuatan oleh seorang pegawai/pejabat atas
petugas hukum (judiciart) yang tidak secara sah menyalahgunakan
kedudukannya untuk memperoleh keuntungan baginya atau orang lain, yang bertolak
belakang dengan kewajibannya dan bertentangan dengan hak-hak orang lain).
Bribery as : The offering, giving receving or soliciting of
anything of value to influence action as an official or in discharge of a leal
or/public duty). Penyuapan
adalah : Penawaran pemberian dan menerima atau menyediakan sesuatu yang
berharga yang akan mempengaruhi tindakan sebagai pejabat/petugas atau yang
menyelewengkan (merusakan) tugas-tugas yang seharusnya dilaksanakan.
c)
Russian
Corruption as : A system of certain relations based on unlawful
deal of officials to detriment of the state and public interests ther motives
maybe variegated. (sebagai
suatu sistem hubungan tertentu yang melanggar hukum dari semua aparat negara
yang melanggar kepentingan negara dan masyarakat, dengan motivasi beraneka
ragam).
d)
Muangthai
Corruption as : behaviour of public servant that are condemned by law. Perilaku yang dilarang oleh undang-undang bagi pegawai negeri
(pemerintahan).
e)
Philipina
Korupsi
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1)
Penyalahgunaan wewenang terhadap dana masyarakat (Malversation
of public fund).
2)
Pemalsuan dokumen-dokumen (falsification of public documents)
3)
Suap menyuap (bribery)
f)
India
Behaviour of uncrupulous elements to indulge in making quick
monetby misuse of official position or authority or by resirting to intentional
delay and dilatory tactics with a view to cause harrasment and thereby putting
pessure on some members of the public to part with money in clandestine manner.
(Perbuatan dari oknum-oknum yang tidak terpuji ingin memperoleh
keuntungan (uang) secepat mungkin dengan menyalahgunakan kedudukan kewenangan
atau dengan taktik-taktik yang sengaja memperlambat suatu penyelesaian dengan
tujuan agar menjadi gangguan-gangguan sehingga mau tidak mau orang yang
berkepentingan harus berurusan dengan uang dengan cara jalan belakang).
Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan
dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima
dan dianut masyarakat dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan pribadi
(serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat
Syed Husein Alatas yang lebih luas: ”Corruption is abuse of trust in the
interest of private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi (Syamsul Anwar, 2006: 10).
Berdasarkan berbagai definisi mengenai korupsi di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa korupsi adalah berbagai bentuk penyelewengan terhapap kewenangan
yang dimiliki seseorang dengan berbagai cara, sehingga karenanya orang lain
tidak dapat memperoleh hak yang semestinya mereka dapat.
3.
Pandangan Islam Mengenai Korupsi
Mengenai korupsi ini, hukum Islam berkata sebagai berikut: Jika
seseorang muslim mencuri uang pada baitul mall (kas negara), maka tidak
dipotong tangan pencuri ini, karena harta itu hak milik yang berupa syubhat
yang membebaskan pesakitan dari hukum potong tangan.
Sedang Khalifah Umar bin khatab berkata: (Hadis Imam Bukhari)
tangan pencuri ini tidak boleh dipotong alasannya adalah bahwa: tiap-tiap orang
berhak pada kas negara ini. Jika seorang kafir mencuri uang kas negara (negara
Islam), maka dipotong tangan pencuri kafir itu, karena ia tidak berhak
menguasai uang kas negara.
4.
Macam-Macam Korupsi
Alatas (1987), menjelaskan korupsi sebagai penyalahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi. Menurutnya, ada beberapa macam korupsi, yaitu:
a.
Korupsi transasktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan dua belah
pihak dalam bentuk suap, di mana yang memberi dan yang diberi sama-sama
mendapatkan keuntungan.
b.
Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang dilakukan dengan pemaksaan oleh
pejabat, sebagai pembayaran jasa yang diberikan kepada pihak luar, si pemberi
tidak ada alternatif lain.
c.
Korupsi investatif, yaitu korupsi yang dilakukan seorang pejabat karena
adanya iming-iming tentang sesuatu yang akan menghasilkan di masa yang akan
datang.
d.
Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena adanya perlakuan
khusus bagi keluarga atau teman dekat atas seuatu kesempatan mendapatkan
fasilitas.
e.
Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungan, dengan jalan memberikan informasi kepada pihak luar yang
sebenarnya harus dirahasiakan.
f.
Korupsi suportif, yaitu korupsi yang dilakukan secara berkelompok dalam
satu bagian atau divisi dengan tujuan untuk melindungi tindak pidana korupsi
yang dilakukan secara kolektif.
Di sisi lain, Lopa (2001) membagi perbuatan korupsi menjadi tiga jenis.
Pertama, korupsi yang berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya material (uang).
Korupsi jenis ini ia sebut sebagai material corruption. Kedua, korupsi
berupa tindakan memanipulasi hasil pemungutan suara dengan cara mempengaruhi
kebebasan memilih, komersialiasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau
keputusan yang bersifat administratif, janji jabatan, dan sebagainya. Korupsi
jenis ini disebut political corruption. Ketiga, korupsi berupa tindakan
memanipulasi ilmu pengetahuan. Misalnya, seseorang memberikan informasi atau
menerangkan sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dengan cara yang
tidak sebenarnya. Biasanya karena dilatar belakangi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu seperti kepentingan politik, ekonomi, dan
sebagainya. Korupsi jenis ketiga ini disebut intelectual corruption.
Dalam ilmu, akuntansi korupsi dianggap sebagai bagian kecurangan yaitu
segala cara yang dapat dilakukan orang untuk berbohong, menjiplak, mencuri,
memeras, memanipulasi, kolusi, dan menipu orang lain dengan tujuan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang/kelompok lain dengan cara melawan hukum.
Yang termasuk tindak kecurangan diantaranya adalah ketidakjujuran, penipuan,
pelanggaran kepercayaan, pencurian, maksud berbuat salah, dan rencana untuk
mendapatkan keuntungan pribadi dengan merugikan pihak lain (Suradi, 2006).
5.
Unsur-unsur Dominan Yang Melekat Pada Tindakan Korupsi
Setelah mengetahui tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan
sebagai korupsi maka dapat diuraikan unsur-unsur dominan yang melekat pada
tindakan korupsi :
a.
Setiap korupsi bersumber
pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power). Pelaku-pelaku
korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari
perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain.
Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah atau diselewengkan adalah
keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut urusan-urusan perusahaan atau
negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah bahwa akibat-akibat buruk dari
korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau Negara, bukan oleh si
pelaku korupsi.
b.
Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
pejabat-pejabat yang melakukannya. Ketika seorang pejabat disogok untuk
mengeluarkan izin pendirian pasar swalayan oleh seorang pengusaha, misalnya,
perbuatan mengeluarkan izin itu merupakan fungsi dari jabatannya sekaligus
kepentingan pribadinya. Pengusaha yang mengajukan permohonan izin mungkin telah
menggunakan jalur hokum yang berlaku, tetapi penyogokan yang dilakukannya jelas
merupakan tindakan di luar hokum sebab ia telah mempengaruhi keputusan secara
tidak adil dan mengurangi kesempatan pengusaha-pengusaha lain untuk memperoleh
hak mereka.
c.
Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, klik
atau kelompok. Oleh karena itu, korupsi akan senantiasa bertentangan dengan
kepentingan organisasi, kepentingan negara atau kepentingan umum.
d.
Orang-orang yang mempraktikan korupsi biasanya berusaha untuk
merahasiakan perbuatannya. Mungkin saja korupsi sudah begitu menjarah sehingga
banyak sekali orang yang terlibat korupsi. Akan tetapi pada keadaan seperti ini
pun setidak-tidaknya motif korupsi tetap disembunyikan. Ini disebabkan karena
setiap tindakan korupsi pada hakikatnya mengandung unsur penipuan dan
bertentangan dengan hokum.
e.
Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya.
Dalam hal ini tidak ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas
rasional pelakunya. Dengan demikian korupsi jelas dapat dibedakan dari
maladministrasiatau salah urus (mis-management).
B.
Kesehatan Mental
1. Pengertian Kesehatan Mental
Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata
“mental” diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam
bahas latin yang artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Kesehatan mental merupakan
bagian dari psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan
mental. Sedangkan yang dimaksud Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang
dari keluhan dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis
(penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Kartini Kartono (2003:8-11).
Pengertian kesehaan mental secara etimologi berasal dari kata
kesehatan dan mental berarti keadaan hal (hal) 3 sedangkan mental berarti batin,
rihani, berkenaan dan jiwa di lain pengerian sesungguhnya menyangkut
masalah-masalah ingatan, pikiran ataupun kenakalan 4 jadi kesehatan mental
adalah keadaan sehatyang bekenaan atau menyangkut masalah-masalah ingatan,
pikiran atau akal dan dalam bidang psikologi orang memberikan istilah tentang
penegrtian kesehatan mental yaitu dengan sebutan mantal hygne.
Kesehatan mental secara Terminology menurut Dr. Zakiyah Darajat
adalah sebagai berikut : Zakiyah Daradjat (1983:11)
a) Terhindarnya orang dari gejala - gejala gangguan jiwa (neurose) dan
dari gejala - gejala penyakit jiwa (psychose).
b) Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang
lain dan masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
c) Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,
sehingga membawa kepada kebahagian diri dan orang lain, serta terhindar dari
gangguan - gangguan dan penyakit jiwa.
d) Terwujudnya keharmonisan yang sungguh - sungguh antara fungsi -
fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem - problem
biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagian dan kemampuan
dirinya.
e) Jadi Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara
seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk dikembangkan secara
optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-kehidupan sesuai dengan
tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara individual, kelompok
maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara mental maupun secara sosial
f) Kesehatan mental pada manusia itu dipengaruhi oleh faktor internal
dan external. Keduanya saling mempengaruhi dan dapat menyebabkan mental yang
sakit sehingga bisa menyebabkan gangguan jiwa dan penyakit jiwa.
Menurut Mustafa Fahmi sesungguhnnya kesehatan jiwa mempunyai
pengetian dan batasan yang banyak. Disini dikemukakaan dua penegtian saja
sekedar untuk mendapatkan batasan yang dapat digunakan dengan cara memungkinkan
memanfaatkan batasan tersebut dalam menagrahkan orang kepada pemahamaan hidup mereka
dan dapat mengatasi kesukaraanya sehingga mereka dapat hidup bahagia dan
melaksanakan misi sebagai anggota masyarakat yang aktif dan serasi dalam
masyarakat sekarang. Mustafa Fahmi (1984:96).
Kesehatan mental merupakan kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang
memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran dan fisikinya juga sehat.
Karean akondisi fisik dan psikisnya terjaga dengan selaras , orang bermental
sehat tidak akan mengalami goncangan,kekacauan jiwa (stress), frustasi, tidak
bisa menyesuaikan diri atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. dengan kata
lain orang yang memiliki kesehatan mental prima juga memiliki kecerdasaan
seimbang baik secara intelektual ,emosional maupun spiritualnya untuk mencapai
kebahagiaan hidup. Dalam litelaur psikologi ditemukan beberapa pengertian
kesehatan mental , hal itu dapat dimenegrti , sebab pemaknaan bagian dari teori
kesehatan mental. Konsep-konsep empirik disini meliputu dasar-dasar pemikiran
mengenai wawasan ,landasan, fungsi-fungsi ,ruang lingkup dan metodologi yang
dipakai peruumus.
Kesehatan mental adalah keserasian atau
kesesuaian antara seluruh aspek psikologis dan dimiliki oleh seorang untuk
dikembangkan secara optimal agar individu mampu melakukan kehidupan-kehidupan
sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku secara
individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga yang sehat baik secara
mental maupun secara sosial sikap hidup individual yang sehat dan normal adalah
yang sesuai dengan norma dan pola hidup individu yang sehat dan normal adalah
sikap yang sesuai dengan norma dan pola hidup elompok masyarakat sehingga ada
relasi interpersonal danintersosial yang memuaskan.
Menurut Dr. Jalaludin dalam bukunya
“Psikologi Agama” bahwa “kesehatan mental” merupakan suatu kondisi batin yang
senantiasa berada dalam keadaan tenang,tentram dan upaya untuk menemukan
ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara
resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
2.
Faktor-faktor
Kesehatan Mental
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh Stressor
(Penyebab terjadinya stres) orang yang memiliki mental sehat berarti mampu
menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya sendiri dan
lingkungannya. Noto Soedirdjo, menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki
kesehatan mental adalah Memiliki kemampuan diri untuk bertahan dari
tekanan-tekanan yang datang dari lingkungannya. Sedangkan menurut Clausen
Karentanan (Susceptibility) Keberadaan seseorang terhadap stressor berbeda-beda
karena faktor genetic, proses belajar dan budaya yang ada dilingkungannya, juga
intensitas stressor yang diterima oleh seseorang dengan orang lain juga
berbeda.
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri
seseorang seperti sifat, bakat, keturunan dan sebagainya. Contoh sifat yaitu
seperti sifat jahat, baik, pemarah, dengki, iri, pemalu, pemberani, dan lain
sebagainya. Contoh bakat yakni misalnya bakat melukis, bermain musik,
menciptakan lagu, akting, dan lain-lain. Sedangkan aspek keturunan seperti
turunan emosi, intelektualitas, potensi diri, dan sebagainya.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal
merupakan faktor yang berada di luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi
mental seseorang. Lingkungan eksternal yang paling dekat dengan seorang manusia
adalah keluarga seperti orang tua, anak, istri, kakak, adik, kakek-nenek, dan
masih banyak lagi lainnya. Faktor luar lain yang berpengaruh yaitu seperti
hukum, politik, sosial budaya, agama, pemerintah, pendidikan, pekerjaan,
masyarakat, dan sebagainya. Faktor eksternal yang baik dapat menjaga mental
seseorang, namun faktor external yang buruk / tidak baik dapat berpotensi
menimbulkan mental tidak sehat.
Selanjutnya selain kedua factor tersebut yang dapat mempengaruhi
kesehatan mental, juga dapat dipengaruhi oleh aspek psikis manusia. Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem
biologis, sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu
berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis
tidak dapat dipisahkan untuk melihat jiwa manusia.
C.
Korupsi Dalam Kesehatan Mental
Indonesia merupakan negara yang masih berbenah
membangun kembali negerinya di tengah keterpurukan dan dinamika globalisasi.
Permasalahan yang mendera bangsa ini semenjak merdeka seakan negeri ini belum
100% merdeka, kemiskinan dan kesejahteraan yang masih belum merata masih
menjadi momok, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar. Hal ini
diperparah dengan bobroknya birokrasi dan pemerintahan dengan masih maraknya
virus korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini.
Korupsi menjadi musuh utama yang dilawan di
negeri ini jika mau berbenah menuju pemerintahan yang lebih baik dan transparan
mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Seperti yang dikatakan tokoh
Peter Drucker bahwa sesungguhnya tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah
negara yang salah kelola, tepat bila merefleksikan apa yang terjadi di
Indonesia. Salah kelola negeri ini dengan adanya korupsi, dimana pemimpin yang
harusnya mengelola sumber daya negeri ini untuk memajukan kesejahteraan umum,
malah mengkorup kekuasannya memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi maupun
kelompoknya akhirnya kepentingan masyarakat yang terlukai.
Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere
yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Sedangkan
korupsi menurut Huntington adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Karena parahnya perilaku korupsi yang sering
disebut sebagai kejahatan yang luar biasa karena sulit diberantas dan
melibatkan komponen atas atau orang penting dalam sebuah negeri. Bahkan di
Indonesia, negeri kita menempati peringkat ke 100 negara dari 183 negara dalam
indeks persepsi korupsi (CPI), Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik
0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8, di kawasan Asia Tenggara, skor
Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan
Thailand (3,4), dimana semakin rendah nilai semakin besar persepsi korupsinya.
Karena menjamurnya perilaku korupsi di
Indonesia ini, sejak lama telah digaungkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk sebagai badan khusus yang menangani
penyidikan dan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Begitu pula dengan
adanya pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang melakukan upaya
pengadilan hukum bagi pelaku tindakan korupsi.
Terlepas dari efektif tidaknya kinerja KPK
maupun elemen penegak hukum lain dalam memberantas korupsi dan mengadili perilaku
korupsi. Selama ini telah berhasil ditangkap banyak pelaku korupsi di
pemerintahan baik pejabat publik dari mantan menteri, anggota DPR, Gubernur,
Bupati, Pejabat daerah, hingga PNS golongan rendah, pun tak lepas dari
tangkapan penegak hukum jika terdapat indikasi kegiatannya merugikan negara dan
berujung korupsi. Sebagai contoh pada tahun 2011 saja dari data kepolisian ada
1.323 perkara yang ditangani, melonjak daripada tahun 2010 yang hanya 585
perkara (Republika).
Kita juga dapat menandai ingatan kita dengan
beberapa kasus korupsi yang mengisi ruang publik dengan pemberitaan media yang
besar-besaran. Kasus korupsi pegawai pajak Gayus Tambunan yang merugikan negara
sekurangnya 25 miliar. Kasus M. Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai
Demokrat yang turut juga menyeret istrinya Neneng Sri Wahyuni, mantan Puteri
Indonesia yang menjadi Anggota DPR Anggelina Sondakh, hingga ketua Partai
Demokrat Anas Urbaningrum.
Menariknya ada fenomena unik yang diperlihatkan
tersangka kasus korupsi yang ditangkap. Seperti yang terlihat akhir-akhir ini
maupun di masa sebelumnya. Tersangka kasus korupsi banyak yang memperlihatkan
atau menampilkan citra agamisnya baik dengan simbol-simbol agama ataupun
ritualnya ketika dia tampil di depan publik baik saat wawancara ataupun saat di
persidangan, padahal sebelumnya bisa jadi orang itu tidak selalu menggunakan
simbol-simbol agama itu.
Fenomena ini bisa kita lihat contohnya pada
saat kasus Nunun Nurbaiti yang baru saja tertangkap mengenakan penutup kepala
seperti jilbab, begitu juga terdakwa Dharnawati yang bahkan mengenakan jilbab
beserta cadar hitam ketat yang menutupi seluruh bagian tubuhnya serta mukanya
kecuali mata. Begitu juga baru-baru ini istri M. Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni
yang ketika tertangkap dan tampil di muka publik mengenakan jilbab sekaligus
ditambah cadar penutup mulut untuk menutupi wajahnya. Tidak hanya monopoli
simbol satu agama saja, contoh lain tersangka korupsi Miranda Goeltom yang
ketika ditetapkan sebagai tersangka sempat langsung meminta penangguhan penahanan
untuk mengikuti kebaktian.
Perilaku yang dicitrakan para tersangka
tersebut dengan menggunakan simbol keagamaan bisa dibilang cukup kontras dengan
tindakan korupsi yang bisa digolongkan sebagai tindakan yang memakan hak orang
lain dalam hal ini melanggar norma agama yang ada.
Dalam perspektif agama Islam korupsi dapat
digolongkan sebagai ghulul yaitu tindakan orang yang diberi amanah
jabatan tapi mengambil keuntungan yang tidak seharusnya dari jabatan tersebut.
Seperti dalam hadits: dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna
ghulul, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu
pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil
di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).” (HR. Abu Daud). Serta dalam hadis
riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di
antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah
ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Begitu pula dalam perspektif Alkitab dalam
agama Kristen, dalam kisah Yudas Iskariot yang menerima 30 keping uang perak
untuk harga seorang Mesias. Yudas yang dikenal sebagai salah-satu murid Yesus
yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama murid-muridNya. Alkitab
dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri. Dalam Yohanes 12:6 : …..
karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam
kas yang dipegangnya (Republika).
Itulah beberapa contoh bukti dalam perspektif
agama, korupsi tidak mendapatkan tempat dan merupakan pelanggaran bagi norma
agama (baca: dosa). Hal-hal tersebut tentunya juga akan dapat ditemukan dalam
ajaran-ajaran berbagai agama lain, yang secara universal jelas bertentangan
dengan tindakan korupsi.
Tampilnya tersangka kasus korupsi di ruang
publik dengan simbol-simbol agama menjadi pertanyaan apakah yang ditampilkan
tersangka-tersangka tersebut merupakan pengejawentahan diri secara ikhlas dari
tersangka bahwa dirinya memang religius, atau hanya sebagai pencitraan untuk
menjaga citra diri bahwa dia tidak bersalah atau suci secara religius.
1.
Gayus Tambunan
Gayus Halomoan
Partahanan Tambunan sebelumnya merupakan PNS di Dirjen Pajak Kementerian
Keuangan RI. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan
bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai
60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya
dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya
Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput
kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. (Wikipedia).
2.
Dharnawati
Merupakan
Terdakwa kasus suap pencairan dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah
(DPPID) kawasan transmigrasi. Dharnawati telah divonis pidana penjara
selama 2 tahun dan 6 bulan, dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp 100 juta
subsidair.
3.
Melinda Dee
Dalam ranah korupsi di sektor swasta muncul
nama Inong Melinda Dee yang menjadi Terdakwa penggelap dana nasabah bekas
pegawai Citibank. Dia telah divonis penjara delapan tahun dan denda Rp10 miliar
subsider tiga bulan penjara.
4.
Miranda S. Goeltom
Miranda ditetapkan KPK sebagai tersangka atas
dugaan ikut serta atau menyarankan Nunun Nurbaeti menyuap anggota DPR 1999-2004
terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang
dimenangkannya setelah Nunun divonis dua tahun enam bulan penjara dalam kasus
ini.
5.
Neneng Sri Wahyuni
Neneng Sri Wahyuni merupakan istri dari M.
Nazaruddin tersangka kasus korupsi yang sempat buron dimana Neneng ikut menjadi
buron bahkan lebih lama dari suaminya.
Dari
fakta-fakta kasus yang dijelaskan di atas gejala perilaku yang ditampilkan oleh
tersangka-tersangka korupsi adalah menggunakan simbol-simbol keagamaan saat
mereka berada di ruang publik baik dengan alasan menjaga citra karena
kesalahan/pelanggaran mereka maupun untuk menutupi muka mereka, dapat juga
karena untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Tuhan atas keadaan yang mereka
hadapi.
Untuk
menganalisis gejala dan fakta yang ada tentang perilaku pencitraan religius
tersangka kasus korupsi di Indonesia, kita dapat membedahnya dengan mendasarkan
pada beberapa tema dan teori psikologi :
1.
Emosi Bersalah
Dalam hal ini pertama kita perlu melihat konsep
kondisi psikologi yang melatarbelakangi munculnya perilaku ini, dalam hal ini
kita akan melihat tentang rasa bersalah. Dijelaskan dalam Pitaloka, perasaan
bersalah merupakan salah satu bentuk emosi, emosi dipandang sebagai penyesuaian
secara sosial, berhubungan dengan individu, dan karenanya memiliki ciri-ciri
ekspresif. Selain itu, Rivera yang menyatakan bahwa emosi berkembang sebagai
hasil fungsi adaptasi dalam hubungan antar manusia. Dalam pandangannya, seluruh
emosi terkait dengan penyesuaian hubungan ini, antara diri dan orang lain, di
mana setiap emosi berguna untuk memaksimalkan nilai dari hubungan tersebut.
Rasa bersalah dipahami sebagai kesadaran
kognitif dan perasaan negatif yang berhubungan dengan suatu standar moral.
Konsep Mosher yang berdasar pada teori pembelajaran sosial (social learning
theory), mendefinisikan rasa bersalah sebagai ekspektasi general pada media
hukuman diri terhadap pelanggaran (atau antisipasi pelanggaran) yang
terinternalisasi dari standar moral perilaku. Lebih lanjut menurut Mosher, rasa
bersalah berkaitan dengan pelanggaran moral secara luas, namun mungkin hanya
pada saat perilaku-perilaku tersebut membahayakan status suatu hubungan
seseoramg.
2.
Defense Mechanism
Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan
religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan
kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense
mechanism, atau mekanisme bertahan. Seperti kita ketahui Freud sebagai
bapak psikoanalisa memiliki konsep id, ego, dan super ego. Id adalah Aspek
biologis dan merupakan sistem original, Id berisi hal-hal yang dibawa sejak
lahir (unsur-unsur biologis), libido seksualitas, termasuk juga instink-instink
organisme. Ego adalah aspek psikologis karena adanya kebutuhan sinkronisasi
(gateway) antara kebutuhan Id dengan realitas dunia eksternal. Prinsip Ego
adalah realitas dunia obyektif. Sedangkan Superego merupakan aspek sosiologis
berupa nilai-nilai tradisional sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada
anak-anaknya berupa perintah-larangan, ganjaran-hukuman, baik-buruk. Prinsip
Super Ego adalah internalisasi norma-norma lingkungan yang berupaya untuk
menekan dorongan Id. (Alwisol,2010).
Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id
sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi
dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan
Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda
bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol,
2010).
Seseorang akan bertahan dengan cara memblokir
seluruh dorongan-dorongan atau dengan menciutkan dorongan-dorongan tersebut
menjadi wujud yang lebih dapat diterima konsepsi dan tidak terlalu mengancam. Cara
ini disebut mekanisme pertahanan diri atau mekanisme pertahanan ego/Ego Defense
Mechanism (Alwisol, 2010).
Ada beberapa bentuk defense mechanism yang
diutarakan Freud diantaranya (dalam Alwisol, 2010):
a)
Identification:
Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan
diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding
dirinya.
b)
Displacements:
Manakala obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapat dicapai
karena ada rintangan dari luar (sosial,alami) atau dari dalam (antikateksis),
insting itu direpres kembali keketidaksadaran atau ego menawarkan kateksis
baru, yang berarti pemindahan seperti enerji dari obyek satu ke obyek yang
lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
c)
Repression:
Represi adalah proses ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan
segala sesuatu (ide, insting, ingatan, pikiran) yang dapat menimbulkan
kecemasan keluar dari kesadaran.
d)
Fixation &
Regression: Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap
perkembangan tertentu karena perkembangan selanjutnya sangat sukar sehingga
menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat.
e)
Reaction
Formation: Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang
menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam
kesadaran.
f)
Projection : Projeksi
adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi kecemasan realistik,
dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke
obyek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu terprojeksi dari obyek eksternal
kepada diri orang itu sendiri.
Analisis
Untuk menganalisis kita mendasarkan pada
teori-teori di atas. Namun, kita juga tidak bisa hanya mengasumsikan perilaku
religius yang ditunjukkan tersangka itu merupakan sebuah pencitraan, kita juga
harus tetap membuka kemungkinan yang dilakukan sebuah proses pertaubatan dari
perilaku melanggar norma agama sehingga kembali ingin menguatkan kembali
nilai-nilai agama yang terinternalisasi dalam dirinya.
Dalam kacamata emosi malu dan bersalah,
perilaku relijius tersangka korupsi dapat merupakan manifestasi dari emosi
bersalah yang dimiliki tersangka, emosi ini berkembang dalam hubungan sosialnya
dalam manusia dan masyarakat terkait dengan norma-norma yang ada. Dimana
tersangka korupsi mendapat penilaian masyarakat sebagai pelanggar norma.
Rasa bersalah dalam tersangka korupsi muncul
sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif karena sebuah standar norma
agama maupun hukum yang dianggap dilanggar olehnya. Rasa ini muncul sebagai
media hukuman diri terhadap pelanggaran yang dia lakukan yang bertentangan
dengan standar norma agama. Yaitu perilaku korupsi yang jelas menurut norma
agama maupun masyarakat merupakan pelanggaran.
Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id
sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi
dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan
Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda
bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol,
2010).
Rasa bersalah yang muncul setelah tersangka
muncul di ruang publik dapat mendorong tersangka korupsi untuk berusaha
memperbaiki citra dirinya di mata publik, maupun di mata agama dengan
menguatkan nilai-nilai agama yang telah terinternalisasi di dalam dirinya.
Bagaimana jalannya mekanisme pencitraan secara psikologis bukan murni karena
alasan nilai agama yang dilakukan terdakwa dapat dilihat dengan teori
psikoanalisa di bawah.
Perilaku korupsi dengan konsep ini bisa
dijelaskan sebagai dorongan id untuk memuaskan keinginannya dalam hal ini
korupsi. Superego berupa norma agama dan hukum merupakan pencegah terjadinya
perilaku korupsi. Energi Id akan meningkat karena rangsangan (impuls)
sehingga menimbulkan ketegangan atau pengalaman yang tidak enak dan menguasai
Ego agar bertindak secara kongkrit dalam memenuhi rangsangan tersebut sesegera
mungkin. Di sisi lain Super ego berusaha untuk menetang dan menguasai Ego agar
tidak memenuhi Hasrat dari Id karena tidak sesuai dengan konsepsi Ideal.
Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan
religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan
kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense
mechanism, atau mekanisme bertahan reaction formation, ketika tindakan
defensif ego dilakukan dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang
menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam
kesadaran. Hal ini dapat kita sadari bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan
melawan hukum dan bertentangan dengan norma agama (dosa) inilah yang
menciptakan kecemasan bagi tersangka karena terjadi ancaman moral yang datang
dari dunia superego (norma agama dan masyarakat), maka untuk mengurangi tekanan
itu tersangka korupsi melakukan defense mechanism dengan mengganti impuls
berdosa yang menimbulkan kecemasan itu dengan perilaku sebaliknya yaitu saleh
dan beragama yang ditunjukkan dengan simbol-simbol keagamaan, sikap, perkataan,
ritual, dan lain sebagainya.
Selain itu rasa malu yang diakibatkan emosi
bersalah tadi kemungkinan juga yang menyebabkan tersangka memilih menggunakan
simbol agama (Islam) berupa jilbab yang disertai dengan cadar atau penutup
muka. Hal ini bisa dipahamai bahwa menutup muka merupakan respon yang alami
pada seseorang yang merasa malu.
Lalu dengan salah satu teori yakni Teori psikoanalisa Freud (2006) menganggap bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh insting bawaan yang sebagian besar tidak disadari. Proses
ketidak sadaran ini menurut Freud adalah proses terpengaruhnya perilaku oleh
pikiran, ketakutan atau keinginan-keinginan yang tidak didasari oleh orangnya.
Terdapat pembagian struktur dalam kepribadian manusia oleh Freud. Hal
terpenting dari pendekatan psikoanalisis adalah bahwa tindakan manusia
mempunyai sebab. Namun, penyebabnya sering kali berupa motif-motif yang tidak
disadari, bukan alasan rasional yang diberikan oleh Penggunaan psikoanalisis
memerlukan interaksi verbal yang cukup lama dengan pasien untuk menggali
pribadinya yang lebih dalam. Banyak buku
yang telah di tulis Freud, dan dari teori Freud ini memiliki beberapa kelemahan
terutama dalam hal-hal berikut :
1.
Ketidaksadaran (uniconsciousness) amat berpengaruh terhadap prilaku manusia. Pendapat ini menunjukan
bahwa manusia menjadi budak dirinya
sendiri.
2.
Pengalaman masa kecil sangat menentukan atau berpengaruh terhadap
kepribadian masa dewasa. Ini menunjukan bahwa manusia dipandang tidak berdaya
untuk mengubah nasibnya sendiri.
3.
Kepribadian manusia terbentuk berdasarkan cara-cara yang ditempuh
untuk mengatasi dorongan-dorongan seksualnya. Ini menunjukan bahwa dorongan
yang lain dari individu kurang diperhatikan. Freud sendiri beberapa kali
menjelaskan arti istilah psikoanalisis, namun cara menjelaskannya tidak selalu
sama. Salah satu yang terkenal berasal
dari tahun 1923 dan terdapat dalam suatu artikel yang dia tulis bagi sebuah
kamus ilmiah Jerman.
Di situ, Freud membedakan tiga arti, pertama istilah
“psikoanalisis” dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap
proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak
dijankau oleh penelitian ilmiah.
D.
Penyebab Terjadinya Korupsi Dipandang Dari Perspektif Kesehatan
Mental
Ada banyak hal yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Ancok (2004) mengatakan
bahwa secara umum, hal yang menyebakan orang korupsi dapat dipengaruhi oleh dua
faktor, faktor dari dalam diri orang bersangkutan dan penyebab yang datangnya
dari lingkungan luar. Keduanya berinteraksi satu sama lain dalam budaya yang lebih
luas. Faktor dalam diri adalah hal-hal yang disebut sebagai kepribadian.
Sedangkan faktor dari luar adalah kondisi-kondisi di luar individu yang
mempermudah individu untuk melakukan korupsi.
Merujuk pada teori
teroi Mc Cleand, lebih lanjut Ancok (2004) menjelaskan bahwa pribadi yang rawan
korupsi adalah pibadi yang mempunyai motivasi berprestasi yang rendah. Individu
dengan sifat ini tidak terdorong untuk menghasilkan karya yang bermutu baik,
tetapi ia bekerja hanya sekedar ingin mendapatkan uang. Sementara yang termasuk
faktor dari luar adalah berbagai situasi yang memberikan peluang kepada
individu untuk melakukan korupsi, diantaranya sistem administrasi yang kurang
baik, kesan bahwa petugas hukum dapat disogok, dan adanya penyelesaian
kekeluargaan di dalam penyelesaian kasus korupsi.
Selain dua faktor
tersebut, Ancok (2004) menambah satu faktor lagi yaitu faktor budaya sebagai
sebab yang memfasilitasi bagi munculnya tindak pidana korupsi. Beberapa
karakteristik budaya mendorong perilaku korup diantaranya budaya
kekeluargaan, orientasi masyarakat yang bapakisme, dan budaya masyarakat yang
kurang berani berterus terang. Sebuah seminar yang dilakukan oleh Universitas
Negeri Semarang yang bertema “Psikologi Korupsi dan Pembentukan Karakter
Bangsa”, juga mensimpulkan bahwa secara garis besar ada tiga faktor yang
menyebabkan individu bisa melakukan tindak pidana korupsi, yaitu faktor
eksternal, internal, dan situasional. Faktor eksternal meliputi budaya
(karakter bangsa), sistem nilai masyarakat, sistem politik, sistem sosial dan
penegakan hukum; faktor internal atau psikologis diantaranya sikap, intensi,
persepsi, gaya hidup (hedonis), kepribadian, mentalitas, karakter individu, dan
pengaruh kelompok; sementara yang termasuk faktor situasional diantaranya adalah
kesempatan, pengawasan atau kontrol lembaga (Kompasiana, 2010).
Parwadi (2010)
mengatakan bahwa sebagian korupsi dilakukan karena himpitan kesulitan hidup,
namun banyak korupsi yang dilakukan karena ingin cepat kaya atau karena tujuan
lain. Perbuatan korupsi pertama diawali dengan adanya niat dari koruptor,
didukung oleh adanya kesempatan yang telah terkondisi, ada kewenangan, maka
terjadilah tindak korupsi. Lebih lanjut di jelaskan bahwa korupsi merupakan
penyakit mental (pikiran korup) dan orang akan selalu kecanduan melakukan
korupsi ketika mereka telah melakukan tindakan korupsi. Korupsi seperti candu
dan pelakunya sendiri adalah pecandu. Artinya, sekali orang melakukan tindakan
korupsi dan menikmatinya, maka akan ketagihan untuk mengulangi dan mengulanginya
lagi.
Hal senada juga
dikemukakan oleh Hehamahua (2005) bahwa dilihat dari motivasi yang mendorong
seseorang melakuan perbuatan korupsi setidaknya dapat dibedakan menjadi lima
jenis, yaitu : (1) korupsi karena kebutuhan; (2) korupsi karena peluang; (3)
Korupsi karena ingin memperkaya diri sendiri; (4) Korupsi karena ingin
menjatuhkan pemerintah; atau (5) korupsi karena ingin menguasai suatu negara
(Hehamahua, 2005).
Kwik Kian Gie (2006)
mempercayai bahwa faktor psikologi seseorang sangat berpengaruh terhadap
munculnya tindakan korupsi. Ia menjelaskan bahwa para koruptor, korupsi sudah
sejak dalam pikiran. Hal yang disampaikan Gie (2006) tersebut tentu sangat
menarik. Dia yang notabenenya berlatarbelakang seorang ekonom menyakini bahwa
korupsi sangat terkait dengan masalah kejiwaan, terutama proses berfikir
seseorang. Dalam psikologi, kajian mengenai mengenai bagaimana pikiran
seseorang bekerja dikaji secara khusus dalam psikologi kognitif.
Sebagaimana pendapat
Ancok di atas, Gie (2006) juga menyakini bahwa korupsi muncul karena adanya
pertemuan antara faktor dari dalam diri dan faktor lingkungan. Berdasar
pengamatannya, banyak kondisi dan situasi di lingkungan pemerintahan yang
membuka celah, bahkan mendorong bagi munculnya perilaku-perilaku korup.
Misalnya saja birokrat yang kurang paham mengenai seluk beluk pekerjaannya.
Beberapa praktek yang dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan tekhnokrat
tersebut diantaranya penjulaan Bank BUMN, masalah pemberian kredit usaha dari
pemerintah, peredaran uang palsu, pembuatan jalan tol, atau praktek
perusahaan asuransi di Indonesia.
Untuk mempermudah
memahami bagaimana korupsi itu terjadi, contoh kasusnya misalnya kasus
pembangunan jalan tol. Kisahnya, ada seorang pengusaha yang tanpa modal ingin
membangun jalan tol. Ia mengajukan izin membangun jalan tol ke
pemerintah. Dengan menyogok seperlunya, ia dapat modal 100 persen dari
pemerintah. Besarnya 800 miliar. Setelah jalan jadi, pemerintah mendapat 60
biaya pemakaian jalan tol, sedangkan pengusaha mendapatkan 40% tanpa dia harus
keluar modal. Pengusaha tersebut tinggal memproyeksikan berapa tahun utang itu
akan selesai dibayar dan ia meneken perjanjian kepada pemerintah sebanyak tahun
yang ia sebutkan itu. Praktek-praktek serupa itu dilakukan untuk kegiatan-kegiatan
bisnis yang lain.
Gagasan bahwa beberapa
bentuk kebudayaan memfasilitasi terjadinya korupsi juga disampaikan oleh
Klitgaard (1998). Ia menjelaskan bahwa dalam beberapa kebudayaan, ada
nilai-nilai yang sedemikian rupa berbeda, sehingga korupsi kurang dituntut
dipengadilan, lebih dapat diterima, atau barangkali bahkan merupakan bagian
dari adat istiadat. Contoh korupsi yang terjadi karena faktor budaya ini adalah
korupsi di Meksiko. Meluasnya korupsi di Meksiko ditengarai disebabkan karena
orang lebih setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bukannya ke arah pemerintah
atau badan administrasi. Orang-orang Meksiko memperlakukan satu sama lain
sebagai pribadi, sehingga kode hukum tidak banyak artinya dalam masyarakat.
Klitgaard (1998) juga
berpendapat bahwa dalam beberapa masyarakat, kesetiaan pada suku dan
kekerabatan dapat mengalahkan kewajiban seorang pegawai terhadap tugas-tugas
kemasyarakatannya. Contohnya, masyarakat dengan yang menganut nilai-nilai
semacam itu adalah masyakat Afrika. Dalam politik Afrika, orang berbuat korup
bukan semata-mata demi keuntungan pribadi, melainkan demi keluarga serta
orang-orang yang termasuk dalam kelompok kekerabatan atau suku yang sama.
Kebiasaan memberi hadiah merupakan salah satu adat istiadat lain yang juga ditengarai
menimbulkan korupsi. Di beberapa suku tertentu di Afrika berlangsung kebiasaan
untuk memberi hadiah kepada kepala suku. Dalam prakteknya, pemberian hadiah
tidak hanya dilakukan kepada kepala suku, namun pihak-pihak lain yang oleh
masyakarat dianggap berkuasa, misalnya pegawai pemerintah, sehingga praktek
korupsi menjadi terjadi dan terus berlangsung.
Beberapa penjelasan
Klitgaard di atas mempertegas bahwa orientasi nilai hidup seseorang merupakan
variabel psikologis penting bagi munculnya perilaku korup. Hal tersebut wajar
terjadi, karena nilai sendiri didalamnya memuat serangkaian kepercayaan,
keyakinan mengenai dunia sekitarnya, dan memandu bagaimana seseorang harus
bersikap dan berperilaku menghadapi dunia. Dengan demikian, orientasi nilai
merupakan hal yang sangat pontensial untuk mengarahkan munculnya perilaku
tertentu pada seseorang atau sekelompok orang.
E.
Cara Menangani Korupsi Dipandang Dari Perspektif Kesehatan Mental
Akar
dari kedurjanaan banyaknya koruptor itu adalah tidak adanya usaha bahu-membahu
antara masyarakat dan pemerintah dan perasaan terlibat dengan kegiatan-kegiatan
pemerintah baik di kalangan pegawai negeri maupun dalam masyarakat pada
umumnya.
Douglas
mengemukakan bahwa jenis-jenis kebijakan pemerintah yang rentan terhadap penyelewengan
administratif antara lain :
1.
Kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi
syarat-syarat yang dapat menguntungkan para kontraktor.
2.
Ketika pemerintah memungut pajak yang sangat tinggi sehingga
mendorong para pengusaha untuk menyuap aparat perpajakan sebagai imbalan
pengurangan pajak.
3.
Penetapan tarif untuk industry-industri tertentu seperti kereta
api, listrik, dan telepon, juga harga-harga komoditas tertentu. Ini mendorong
perusahaanperusahaan besar dan harga.
4.
Jika pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih pihak-pihak
yang boleh memasuki suatu industry, semisal pertambangan dan peleburan logam,
pertelevisian, atau jasa angkutan umum.
5.
Tatkala pemerintah memberikan pinjaman atau pembebasan pajak untuk
pabrik atau peralatan jangka pendek.
6.
Apabila bagian-bagian tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki
kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah.
7.
Pada saat subsidi pemerintah dibayarkan untuk proyek-proyek umum,
baik secara terbuka maupun secara diam-diam.
Sehingga
dapat ditemukan cara menangani korupsi secara umum maupun dalam perspektif
Kesehatan Mental, sebagai berikut :
1.
Pencegahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), pencegahan adalah
proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi.
Dengan demikian, pencegahan merupakan tindakan. pencegahan identik dengan
perilaku. Hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan tindakan korupsi adalah
dengan memperbaiki etika dan moral dari para pejabat-pejabat yang berpotensi
atau memiliki sifat melakukan korupsi. Karena etika dan moral adalah yang
mendasari tingkah laku manusia dalam bergaul dan bertindak. Seperti dijelaskan
pada bab sebelumnya mengenai etika dan moral yaitu Etika merupakan pokok
permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan
hukumhukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral merujuk kepada tingkah
laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa,
dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.
Adapun pencegahan perilaku korupsi sejak dini bisa dilakukan dengan
cara:
a.
Penanaman kejujuran sejak dini. Kejujuran adalah suatu hal yang
sangat penting dari pembentukan karakter seseorang, bila kejujuran ditanamkan
secara dini, bukan tidak mungkin kita akan mendapatkan pejabat-pejabat
pemerintahan yang jujur.
b.
Kedisiplinan dan taat pada hukum yang berlaku sangat diperlukan
dalam hidupnya. Bila seseorang disiplin dan taat pada hukum Tidak dimungkiri,
kedisiplinan merupakan suatu karakter dari seseorang yang yang berlaku, maka
perilaku korupsi bisa musnah dengan sendirinya.
c.
Kesadaran mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi. Bila seseorang lebih mementingkan kepentingan umum, maka dia tidak
akan egois tentang kepentingan pribadinya. Jika perilaku korupsi bisa
terpinggirkan, maka bukan tidak mungkin kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
pun terjamin.
d.
Penerapan Pajak kekayaan yang tinggi. Perilaku korupsi bisa
disebabkan oleh keegoisan seseorang dalam meraih kekayaan. Guna mencegah kekayaan
yang berlimpah, maka pajak kekayaan yang tinggi akan menjadi solusi yang baik.
Dengan begtiu. seseorang enggan untuk menambah kekayaannya. Langkah ini bisa
juga dimaksudkan untuk penurunan tingkat korupsi berdasarkan keinginan untuk
kaya.
e.
Hidup sederhana, dan bersyukur. Tekanan ekonomi yang tinggi bisa
memunculkan suatu ide dan gagasan seseorang mencari jalan pintas guna meraih
kekayaan. Untuk mencegah hal tersebut, perlu ditananmkan
f.
kesederhanaan kepada seseorang sejak dini dan tak lupa rasa syukur
kepada illahi atas apa yang kita miliki.
Salah satu cara untuk mencegah nafsu korupsi dari sisi psikologis
adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada pejabat-pejabat di
seluruh jenjang administrasi Negara, terutama yang menyangkut ideology
pengendalian diri. Dan dalam konsepsi P4, gagasan pengendalian diri inilah yang
memang menjadi pangkal tolak penghayatan dan pengalaman Pancasila. Gagasan ini
bermula dari kenyataan bahwa dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan
yang lebih baik manusia mustahil dapat mutlak berdiri tanpa bantuan atau
kerjasama dengan orang lain. Dan adapula pencegahan melalui cara-cara berikut :
a.
Cara sistemik structural
Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
system politik dan system administrasi negara dengan birokrasi sebagai
perangkat pokoknya. Untuk itu yang harus dilakukan adalah mendayagunakan
segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik pada saat yang sama
membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakantindakan
korup dapat ditutup.
b.
Cara Abolisionistik
Cara ini berangkat dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan
yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan
kemudian penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab
tersebut. Oleh karena itu, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengkaji
permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari
dorongan-dorongan individual yang mengarah ke tindakan-tindakan korupsi,
meningkatkan kesadaran hokum masyarakat, serta menindak orang-orang yang korup
berdasarkan kodifikasi hukum yang berlaku.
Jadi dalam menangkal korupsi kecuali menggunakan titik tekan metode
kuratif, cara ini juga diharapkan menjadi perangkat preventif dengan menggugah
ketaatan pada hokum. Yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini ialah bahwa
hokum hendaknya ditegakkan secara konsekuen, aparat harus menindak siapa saja
yang melakukan korupsi tanpa pandang bulu. Pemerintah dan masyarakat, melalui
lembaga-lembaga yang ada, harus berani melakukan pembersihan di dalam tubuh
aparat pemerintahan sendiri yaitu pembersihan terhadap aparatur-aparatur yang
tidak jujur.
c.
Cara Moralistik
Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah factor sikap dan
mental manusia. Oleh karena itu, usaha penanggulangannya harus pula terarah
pada faktor moral manusia sebagai pengawas aktifitas-aktifitas tersebut. Cara
moralistic dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral
manusia, khotbahkhotbah, ceramah, atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika,
dan hukum. Tidak kurang pentingnya adalah pendidikan moral di sekolah-sekolah
formal sejak jenjang pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dengan memasukkan pelajaranpelajaran
etika dan moral dalam kurikulum pendidikan. Semuanya bertujuan untuk membina
moral individu supaya tidak mudah terkena bujukan korupsi dan
penyalahgunaan-penyalahgunaan kedudukan di mana pun dia berfungsi dalam
masyarakat.
2.
Tindakan
Setelah seseorang mengetahui stimulus, kemudian mengadakan
penilaian atau pendapat terhadap apa yang telah di ketahui untuk dilaksanakan
atau dipraktekan. Suatu sikap belum otomatis tewujud dalam suatu tindakan. agar
terwujud sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung berupa
fasilitas dan dukungan dari pihak lain.tindakan terdiri dari beberapa tingkat
yaitu:
a.
Presepsi Mekanisme mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil.
b.
Respon Terpimpin Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh.
c.
Mekanisme Dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa menunggu
perintah atau ajakan orang lain.
Dan dapat dilakukan melalui pengendalian diri dan pelaksanaan amanah.
Dengan melihat uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang
ditimbulkannya telah menegaskan kembali bahwa korupsi merupakan tindakan buruk
yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten
dengan birokrasi. Pada intinya, korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan
untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Sebagai bentuk
kejahatan ia tak ubahnya seperti perampasan yang disertai kekerasan, dan bahkan
menyadari bahwa dirinya telah kecolongan. Sementara itu, ekses pita-merah untuk
sebagian ternyata disebabkan oleh sikap mementingkan diri sendiri (selfish)
diantara administrator dan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas
publiknya.
Pada dasarnya korupsi terjadi lantaran seseorang memperoleh
kekuasaan alihan untuk melakukan tindakan-tindakan yang menentukan arah
kebijakan organisasi atau menentukan hajat hidup orang lain baik sebagai
pribadi maupun sebagai kelompok. Orang yang korup adalah orang yang mengambil
inisiatif untuk melakukan tindakan korup, memelihara pola-pola perilaku korup,
atau menciptakan kondisi yang membuka peluang bagi tindakan korup. Argumentasi
ini penting untuk menegaskan kembali bahwa pada hakikatnya korupsi merupakan
sisi buruk perilaku manusia.
Dalam hal korupsi yang mengambil bentuk penyuapan, misalnya,
mungkin akan muncul pertanyaan mengenai siapa yang sesunnguhnya bertindak
korup. Setiap orang memiliki kesadaran moral, betapapun kecilnya. Dan setiap
orang pasti tahu bahwa pola perilaku yang mengarah kepada korupsi adalah
bertentangan dengan kesadaran moral tersebut. Kendati demikian, toh cukup
banyak orang yang lebih sering menggunakan cara-cara korup ketimbang caracara
lainnya. Oleh karena itu, persoalan yang mengusik adalah mengapa orang
terdorong untuk melakukan korupsi dan mengapa orang mesti memilih cara-cara
korup sedangkan cara-cara lain masih memungkinkan.
Dengan demikian sikap hidup manusia yang mampu mengendalikan diri
dapat dilihat dari cirri-ciri sebagai berikut :
a.
Kepentingan pribadinya tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran
kewajibannya sebagai makhluk social dalam kehidupan masyarakatnya.
b.
Kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari
kepentingan pribadinya.
Konsep pengendalian diri sama sekali bukan merupakan konsep yang
absurd bahwa salah satu kebutuhan mendasar bagi setiap manusia adalah keinginan
sebagai makhluk social yang sudah tentu membutuhkan kerja sama dengan orang
lain. Korupsi pada dasarnya merupakan tindakan yang menyalahi kerja sama dalam
konteks yang lebih besar yaitu kerja sama antar rakyat suatu bangsa untuk
membangun dan mencapai tujuan bersama melalui organisasi yang disebut negara.
Salah satu unsur penting dalam pelaksanaan amanah ialah kejujuran
dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepada seorang pejabat public.
Andaikata para pejabat public menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,
penyelewengan dan penyimpangan akan dapat segera diketahui sehingga tidak
sempat menular. Intrik-intrik yang dihembuskan oleh pihak-pihak luar tidak akan
mempan karena para aparatur sudah saling mempercayai satu sama lain berkat
kejujuran mereka yang sudah benar-benar teruji Para pegawai terjaga dari
perbuatan-perbuatan buruk dan penyelewengan jabatan karena mereka tidak gampang
silau oleh kemewahan-kemewahan material yang dijanjikan oleh pihakpihak
tertentu yang bermaksud buruk. Bila aparatur pemerintah tulus dan jujur,
pejabat-pejabat yang mengabdi masyarakat akan bekerja dengan tenang dan para
koruptor atau kaum oportunis akan lari bersembunyi, tetapi bila aparatur tidak
jujur maka orang jahat akan lebih leluasa memakai cara-cara mereka yang busuk
dan orang-orang yang setia akan tersisih.
Oleh karena itu, aparatur yang bersih merupakan modal utama bagi
pemerintahan dan birokrasi yang tangguh. Jika suatu jajaran pemerintah sudah
benar-benar bersih dan jujur, usaha-usaha untuk memaksakan niat yang jahat atau
kepentingan pribadi dari seseorang yang berkedudukan tinggi akan sama halnya
dengan usaha memecah karang dengan sebutir telur busuk atau menyulut api di
dalam air yang tenang.
Arogansi dan pengingkaran tanggung jawab dalam pelaksanaan layanan
umum tidak perlu terjadi seandainya para pejabat publik menyadari kedudukannya
sebagai pelayan masyarakat. Jika para pejabat itu memandang tugas-tugas
kedinasan sebagai amanah, mereka akan melihat kedudukannya seperti halnya
fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lain, seperti halnya fungsi-fungsi kemasyarakatan
yang lain, seperti halnya seorang dokter yang melayani pasienpasiennya,
pengusaha yang melayani kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, atau petani yang
menggarap sawahnya untuk kemaslahatan sesame manusia. Sikap-sikap takabur sama
sekali tidak diperlukan karena memang tidak ada manfaatnya bagi siapa pun.
Interaksi antara masyarakat dan birokrasi public public akan berjalan secara
intensif karena masing-masing unsure sudah saling menyadari kewajibannya dalam
rangka mencapai tujuan bersama melalui negara sebagai wahana utamanya.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah
korupsi di Indonesia, yaitu: Adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan
partisipasi pengawasan dan pemberantasan korupsi yakni :
a.
Mengutamakan kepentingan nasional. Para koruptor lebih mengutamakan
kepentingan keluarganya bahkan hanya mendapatkan keuntungan sendiri, tanpa
melihat masyarakat yang meronta-ronta meminta kesejahteraan hidup.
b.
Penegak hukum harus berani memberikan sanksi terberat bagi pelaku
korupsi. Penegak hukum tidak bertindak memihak hanya untuk kepentingan politik.
c.
Larangan menerima suap dari tersangka koruptor, dimana penegak
hukum juga diberi sanksi apabila berani untuk menerima suap.
d.
Membentengi diri sendiri dengan memperkuat akidah dan keyakinan
Untuk tidak melakukan korupsi adalah hal yang lebih penting. Tidak
terlepas dari masyarakat, karena masyarakat yang akan menilai dan yang akan
menghukum para koruptor yang menjamur di Indonesia. Kasus korupsi merupakan
kejahatan yang sudah mewabah menyebar ke dalam kehidupan sosial bangsa
Indonesia. Kasus korupsi diibaratkan seperti penyakit menular yang ganas,
menjalar ke seluruh elemen kehidupan, dari kalangan atas sampai kalangan
terbawah. Untuk itu, korupsi perlu dihindari dan diwaspadai dimulai dengan pencegahan
diri dari tindakan korupsi. Dimulai dri hal yang terkecil, yaitu disiplin dan
jujur dalam segala hal. Contohnya, sebagai aparatur kita harus disiplin dalam
pekerjaan , dan jujur dalam mengerjakan tugas. Apabila hal terkecil itu saja tidak
bisa berarti itu sama saja kita telah melatih diri kita untuk menjadi seorang
koruptor.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fawa’id
dan Sultonul Huda. (2006). NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir
dan Fiqih. Jakarta: Tim Kerja
Gerakan Nasional dalam Pemberantasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Alwisol.
(2010) Psikologi Kepribadian. Malang : UMM Press.
Ancok, D. (2004). Korupsi : Sekelumit Visi Psikologi. Diakses : 25 Mei 2011
Freud, Sigmund.
(2006) A General Introduction to Psychoanalysis, Penerj. Haris
Setiowati.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gie, K.K. (2006). Pikiran
yang Terkorupsi. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Hehamahahua, A. (2005).
Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hari Ini.
Makalah. Di sampaikan dalam
semiloka BEM ITB Bandung.
Kartono,
Kartini. (2014) Patologi Sosial. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. (2003) Patologi
Sosial Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Klitgaard, R. (1998) Membasmi Korupsi (diterjemahkan oleh Hermoyo).
Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Mustafa Fahmi.
(1984) Penyesuaian Diri, Pengertian Dan Peranannya Dalam
Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan
Bintang.
Parwadi, R. (2010). Koruptologi.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suradi. (2006) Korupsi
Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta : Mengurai
Pengertian, Pendeteksian, Pencegahannya, dan Etika Bisnis. Yogyakarta : Penerbit Gava Media.
Syamsul Anwar.
(2006). Fikih Antikorupsi
Perspektif Ulama Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP).
Syed Hussein
Alatas. (1975) Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.
Zakiyah daradjat.
(1983) Kesehatan Mental. Jakarta: PT Toko Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar