Kumpulan Tugas Mini
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata
kuliah Etika Dakwah
Disusun
oleh
Ridha
Syahida I Z
1144010155
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING
ISLAM
2015
A.
PENDAHULUAN
Dakwah
islam itu harus dijalankan dengan serius, melalui aturan-aturan yang benar
sehingga diterima dengan komitmen yang sama terhadap kebenaran Islam. Objek
dakwah harus merasa bebas dari paksaan, ancaman, serta nilai-nilai yang
bersifat merusak yang cenderung untuk anarkis. Karena itulah para pelaku dakwah
dalam hal ini yaitu Da’i tidak diperintahkan menyeru Islam begitu saja, ada
aturan-aturan yang telah ditetapkan. Jelas dakwah Islam tidak bersifat
melontarkan isu-isu yang bersifat fanatis, memaksa, provokatif, celaan-celaan
yang menimbulkan permusuhan, dan bukan pula aktivitas-aktivitas yang bersifat
destruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang dipaksakan sebagai
pelanggaran berat, maka itu dakwah Islam memiliki etika-etika yang harus
diterapkan dalam berdakwah.
B.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Etika Dakwah
Etika dalam kamus Bahasa
Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral. Secara terminologis, menurut Ahmad Amin, etika
berarti ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia di dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan yang seharusnya
diperbuat.[1]
Etika dakwah adalah etika Islam itu sendiri, dimana seorang da’i
sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan
menjauhkan diri dari perilaku yang tercela.[2] Sehingga
etika dakwah dapat dirumuskan sebagai manifestasi dari ethos, yaitu ilmu yang
mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan berdakwah, keputusan tindakan
dalam dakwah, pertanggung jawaban moral dalam dakwah, sehingga melahirkan suatu
pengetahuan yang bermanfaat dalam membangun akhlak dakwah.[3]
b.
Etika dan Sikap Seorang Da’i
Terdapat dua aspek yang perlu diindahkan dalam etika dan sikap
seorang Da’i yaitu : pertama, menyangkut akhlakul karimah, yaitu dengan
membentuk kepribadian Islam, tidak cukup hanya dengan aqidah Islamiyah, dimana
pemiliknya bisa mngeluarkan keputusan hukum tentang benda atau perbuatan sesuai
dengan hukum syara’. Semuanya itu belumlah cukup, kecuali nafsiyahnya juga
menjadi nafsiyah Islamiyah sehingga segala sesuatu nya dengan landasan Islam. Dan
yang kedua menyangkut profesionalisme, yaitu lebih mengacu pada kerja yang
didasarkan pada pengetahuan, keahlian dan pengalaman.[4]
Seorang da’i akan dihadapkan pada rupa-rupa situasi sosial, serta macam-macam
pribadi yang sudah tentu membutuhkan cara-cara tersendiri untuk menghadapinya.
Sehingga seorang da’i harus memiliki seperangkat metode untuk menyampaikan
nilai-nilai ketuhanan. Untuk itu diperlukanlah da’i-da’i yang kreatif dan juga
tercerahkan. Setiap pendakwah pula harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan
hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.[5]
C.
KESIMPULAN
Etika dakwah dirumuskan sebagai manifestasi dari ethos, yaitu ilmu
yang mempelajari aspek-aspek mendalam dari perbuatan berdakwah, keputusan
tindakan dalam dakwah, pertanggung jawaban moral dalam dakwah, sehingga
melahirkan suatu pengetahuan yang bermanfaat dalam membangun akhlak dakwah.
Da’i yang sukses adalah yang mampu merawat profesionalismenya serta
karakter shalehnya (akhlak). Kedua watak ini harus sejalan dan seiring.
Profesionalisme akan hancur lantaran da’i tidak berakhlakul karimah dalam
kehidupannya, akhlak saja tanpa profesionalisme akan menjadikan da’i kurang
diminati. Oleh karenanya penting baginya untuk senantiasa melakukan
pembelajaran, pelatihan, pengasahan potensi-potensi yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aep
Kusnawan, Dkk
(2009) Dimensi Ilmu Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran
Ali
Mustafa Yaqub
(2000) Sejarah dan Metode
Dakwah Nabi. Pejaten Barat: Pustaka Firdaus. Cetakan 2
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran
[1] Enjang AS. Etika Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran(2009:
2)
[2] Ali Mustafa Yaqub. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Pejaten
Barat: Pustaka Firdaus(2000: 36) Cet.2
[3] Enjang AS. Etika Dakwah. Bandung: Widya
Padjadjaran(2009: 14)
[4] Op.Cit: 140
[5] Aep Kusnawan, Dkk. Dimensi Ilmu Dakwah. Bandung: Widya
Padjadjaran(2009:81)
Ruang
Lingkup Etika Dakwah
A.
PENDAHULUAN
Dalam dakwah terdapat dua dasar atau landasan yang dijadikan
pijakan sekaligus sumber mengapa dakwah akan terus dilaksanakan dan
diperjuangkan oleh pengembannya yaitu umat islam, yang diantaranya: dasar
normatif dan filosofis, Enjang.AS(2009:39). Para pengemban itulah memiliki
rambu-rambu dalam berdakwah yang telah sebelumnya dibahas dalam bab etika
dakwah yang didalamnya mengenai pengertian apa itu etika, apa itu etika dakwah
sebagai ethos. Maka dalam makalah ini akan membahas apa sajakah yang
menjadi objek kajian dalam etika dakwah tersebut, atau biasa disebut dengan
ruang lingkup. Sekurang-kurangnya kajian etika dakwah itu akan terfokus pada
aturan, pada pandangan nilai mengenai baik dan buruk nya perbuatan dalam
berdakwah.
B.
PEMBAHASAN
Fokus kajian
etika dakwah adalah nilai-nilai yang melekat pada segala perbuatan dakwah. Yang
dapat diperjelas bahwah ruang lingkup yang dikaji dalam etika dakwah adalah
sekitar pandangan tentang nilai baik dan buruk (pandangan moral) menyangkut
perbuatan dakwah. Seberapa jauh perbuatan dakwah tersebut dapat dipandang telah
sesuai dengan standar / tolok ukur perbuatan dakwah.[1]
Yang mencangkup beberapa aspek, yaitu :
1.
Ragam pandangan tentang nilai baik buruk itu sendiri.
2.
Kegiatan penilaian dengan metodologinya.
3.
Perbuatan baik yang tampak secara kasat mata dapat diindera oleh
panca indera manusia maupun yang tidak tampak.
Objek yang
sedang dibicarakan adalah menyangkut perbuatan dakwah, maka yang menjadi objek
penilaian pun focus pada perbuatan dakwah dengan unsur-unsur yang telah
disepakati para ahli diantaranya :
1.
Da’i yaitu subjek
atau pelaku dakwah.
2.
Mawdhu’ atau pesan
ilahiyah yaitu jalan Tuhan atau jalan lurus dan meluruskan.
3.
Uslub yaitu metode
diantaranya kajian ilmiah dan filosofis, persuasif dan lain sebagainya.
4.
Washilah atau
media seperti: lingkungan keluarga, surat dan lain sebagainya.
C.
KESIMPULAN
Berbicara
megenai etika kita perlu melihatnya secara akumulatif dan komprehensif,
tidak dapat dipandang secara parsial. Karena berbicara mengenai
etika akan terkait dengan nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, serta
adat dan kebudayaan yang berlaku dan terdapat di tengah masyarakat. Sehingga
ruang lingkup mengenai etika dakwah yaitu mengkaji tentang pandangan tentang
nilai baik dan buruk (pandangan moral), peraturan, norma yang menyangkut
perbuatan dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Aep
Kusnawan, DKK
(2009) Dimensi Ilmu
Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran
Enjang
AS dan Aliyudin
(2009) Dasar - Dasar Ilmu
Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran
[1] Enjang AS. Etika Dakwah. Bandung: Widya
Padjadjaran(2009:16)
[2] Aep Kusnawan, DKK. Dimensi Ilmu Dakwah. Bandung: Widya
Padjadjaran.(2009:108)
MEMBANGUN
PRIBADI KARAKTER DA’I
A.
PENDAHULUAN
Sebagai agen perubahan, seorang Da’i selain dituntut memiliki ilmu
yang luas dan tsaqafah Islam yang kuat semestinya da’i memiliki pribadi yang
unggul dan Islami dalam segala hal. Na’if jika da’i yang mempunyai misi
perubahan yang besar, selalu bicara yang besar-besar tetapi tidak dimuliakan
oleh orang-orang terdekatnya atau bahkan keluarganya sendiri karena
memiliki pribadi yang lemah. Maka dari itu sangatlah penting membangun pribadi
da’i yang tangguh. Yaitu membangun pribadi karakter seorang da’i dari segi
kognisi, afeksi, dan psikomotorik.
B.
PEMBAHASAN
Dai
harus berusaha menampilkan sosok pribadi yang unggul dalam masyarakat dibanding
orang pada umumnya, serta gigih dalam usaha meningkatkan kualitas pribadi dan
keilmuannya. Sehingga seorang da’i haruslah membangun pribadi karakternya yang
terdiri dari tiga aspek, diantaranya:
1.
Kognisi
Yaitu ranah yang mencakup kegiatan mental
(otak). Dalam ranah kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir atau daya
nalar yang mencakup kemampuan intelektual, sehingga memiliki wawasan yang luas,
manusia tidak mengandalkan insting semata melainkan manusia itu
berfikir, berencana, mengambil keputusan.[1] Sehingga seorang da’i itu selain
wajib mengetahui Al-Qur’an dan
Sunah harus memiliki wawasan
yang luas diantaranya menguasai ilmu-ilmu lainnya yang menunjang dakwah seperti
ilmu mantiq, ilmu sains, dan ilmu retorika, psikologi, dsb.
2.
Afeksi
Yaitu ranah yang berkaitan dengan sikap dan
nilai. Ranah afektif lebih banyak mencakup watak perilaku yang melibatkan unsur
perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.[2] Maka da’i hendaknya luwes (ringan badan) siap
membantu dalam pergaulan, berani menghadapi persoalan. Dan da’i harus mampu berkoar berlandaskan retorika, yaitu seorang da’i mengetahui bagaimana tatacara mengajak manusia untuk disentuh hatinya (kalbunya) atau
seseuatu yang dapat melunakan hati mad’unya.[3]
3.
Psikomotorik
Yaitu ranah
yang berkaitan dengan suatu keterampilan (skill) atau kemampuan
bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Yang berhubungan
dengan aktivitas motorik atau fisik.[4] Setelah mengetahui ilmu psikologi dakwah sehingga seorang da’i harus dapat
mengontrol emosinya dan menyesuaikan diri disaat mendapati prilaku mad’u yang
tidak sesuai disaat ia sedang berdakwah. Dan yang terpenting seorang da’i mampu mengaplikasikan atau menjalankan apa yang sebelumnya telah
disampaikan, karena dengan keteladanan akan lebih menunjang tercapainya suatu
tujuan dakwah.[5]
C.
KESIMPULAN
Reputasi
dan kredibelitas dai tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus dibina dan
dipupuk. Memang, reputasi dan kredibelitas erat kaitannya dengan karisma walau
demikian kredibelitas dapat ditingkat sampai batas optimal. Kepribadian da’i
sangat berhubungan erat dengan keberhasialan atau kesuksesan kegiatan dakwah.
Dalam melaksanakan kegiatan dakwah akan banyak cobaan yang dihadapi oleh juru
dakwah.
Oleh
Karena itu kepribadian seorang da’i berperan penting dalam keberhasilan proses
dakwah. Dari sana berarti seorang dai yang ingin memiliki kredibelitas tinggi
harus berupaya membentuk dirinya dengan sungguh-sungguh, bukan hanya membangun
pribadi karakter da’i dari segi ilmunya saja atau skill saja, tetapi
harus dari aspek kognisi yang didampingi aspek afeksi dan diasah dalam aspek
psikomotoriknya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad
Mubarok
(2002) Psikologi Dakwah. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Aep
Kusnawan, DKK
(2009) Dimensi Ilmu
Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Imas Masaroh Amien
(2013)
Psikologi Umum(Sebuah Pengantar). Bandung: Sarwayasa.
Syah
Muhibbin
(2011) Psikologi Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
[1] Imas Masaroh Amien. Psikologi Umum(sebuahpengantar). Bandung:
Sarwayasa(2013:6)
[2] Imas Masaroh Amien. Psikologi Umum(sebuahpengantar). Bandung:
Sarwayasa(2013:3)
[4] Syah Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya(2011:59)
[5] Achmad Mubarok. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus(2002:128)
ETIKA
DAKWAH DALAM AL-QUR’AN
A.
PENDAHULUAN
Kitab suci
Al- Quran menjadi panutan bagi umat Islam karena di dalamnya terdapat segala
hal yang berkaitan dengan setiap sendi-sendi kehidupan manusia, dan hal ini
yang membedakan Al-Quran dengan kitab-kitab suci agama lain. Di antara
pundi-pundi makna Al-Quran adalah tentang etika dalam berdakwah, sehingga dalam
berdakwah harus memiliki etika yang berpedoman kepada Al-Quran. Terdapat
beberapa ayat yang menjelaskan mengenai etika berkata dalam wahyu-Nya.[1]
B. PEMBAHASAN
Seorang juru dakwah pada
hakikatnya mengingatkan dan menyadarkan serta mengajak untuk mentaati Allah dan
Rasulnya. Sehingga seorang juru dakwah hendaknya mampu berkata dengan
perkataan-perkataan yang layak digunakan dalam berdakwah.[2]
Ada beberapa jenis perkataan yang
disebutkan dalam Al Quran[3]:
1.
Qaulan ma’rufa (perkataan yang baik)
Qaulan ma’rufa berarti perkataan yang sesuai dengan
norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Seorang da’i, mubaligh,
petinggi ormas hendaknya berbicara dengan perkataan yang ma’ruf atau
baik, karena memang itulah pantasnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
QS an-Nisa [4]: 5.
2.
Qaulan sadida (perkataan yang tegas dan benar)
Sadida berarti jelas, jernih, terang. Dalam
al-Quran, konteks qaulan sadida diungkapkan pada pembahasan mengenai
wasiat (QS an-Nisa [4]: 9) dan tentang buhtan (tuduhan tanpa bukti) yang
dilakukan kaum Nabi Musa kepada Nabi Musa AS (QS al-Ahzab [33]: 70). Dari kedua
konteks ayatnya, qaulan sadida merupakan perkataan yang jelas, tidak
meninggalkan keraguan, menyakinkan pendengar, dan perkataan yang benar tidak
mengada-ada (buhtan: tuduhan tanpa bukti).
3.
Qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut)
Secara bahasa layyina artinya lemah lembut. Qaulan
layyina bisa bermakna sebagai strategi dakwah. Konteks qaulan
layyina (QS Thaha [20]: 44) berbicara tentang dialog Nabi Musa dengan
Firaun. Allah menuntun dan memotivasi agar Nabi Musa menggunakan qaulan
layyina saat menyampaikan dakwahnya. Ini dimaksudkan agar Firaun menjadi
sadar dan takut, meskipun pada kenyataannya Firaun marah besar dan berupaya
untuk melenyapkan Nabi Musa dan ajarannya.
4.
Qaulan maysura (perkataan yang pantas)
Maysura artinya
mudah. Qaulan maysura berarti perkataan yang mudah. Dalam
konteks ayatnya (QS al-Isra` [17]: 28). Imam al-Maraghi mengartikannya sebagai
ucapan yang lunak dan baik atau ucapan janji yang tidak mengecewakan. Sedangkan
Imam Ibnu Katsir menyebutkan makna qaulan maysura dengan
perkataan yang pantas dan ucapan janji yang menyenangkan. Kedua pendapat
tersebut identik, yakni ucapan yang keluar dari mulut kita hendaknya
menyenangkan orang dan tidak mengecewakannya.
5.
Qaulan baligha (perkataan yang membekas pada jiwa)
Terhadap kelompok oposisi atau kaum munafiq kita diminta menggunakan
bahasa yang komunikatif (qaulan baligha). Baligha itu
sendiri berarti sampai. Dalam konteks ayatnya (QS an-Nisa [4]: 63), qaulan
baligha dimaknai sebagai perkataan yang sampai dan meninggalkan bekas
di dalam jiwa seseorang. Salah satunya adalah dakwah dengan lisan (da’wah
billisan) sehingga kecakapan dakwah yang perlu diasah.
6.
Qaulan karima (perkataan yang mulia)
Dilihat dari segi bahasa, karima berasal dari
kata karuma-yakrumu-karman-karimun yang bermakna mulia.
Al-Quran mengingatkan kita untuk menggunakan bahasa yang mulia. Yakni perkataan
yang memuliakan dan memberi penghormatan kepada orang yang diajak bicara
sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Isra` [17]: 23.
C.
KESIMPULAN
Dengan dilansirnya macam-macam qaulan dalam al-quran
sebagaimana dijelaskan, menandakan bahwa masalah qaulan yang lahir dari
lisan begitu penting untuk dimanage dengan baik. Salah kata, salah ucap,
mengakibatkan bahaya yang besar. Apalagi dalam berdakwah harus benar-benar
mempergunakan kata yang telah dimanage dengan baik agar tersampaikanlah
suatu pesan dalam berdakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Hajir Tajiri
(2015) Etika Dan Estetika Dakwah. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Harun Yahya
(2003) Nilai-Nilai Moral Al-Qur’an. Jakarta: Senayan
Abadi Publishing.
ETIKA
DAKWAH DALAM AL-HADITS
A.
PENDAHULUAN
Dalam membahas etika dakwah terdapat dua dasar atau landasan yang
dijadikan pijakan utama yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Banyak sekali landasan
dari Al-Qur’an yang telah disebutkan dalam makalah sebelumnya. Maka dalam
makalah ini akan membahas secara khusus tentang etika dakwah dalam Al-Hadits.
B.
PEMBAHASAN
Terdapat
beberapa hadits tentang etika berdakwah diantaranya:
1.
Mewarisi Tradisi Nabi SAW
حديثُ عبدِ اللهِ بن عمرٍو رضي الله عنهما، قال : لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُوْلُ : إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ اَحْسَنَكُمْ اَخْلاَقًا ) أخرجه البخاري(
“Abdullah bin Amr r.a. berkata: Nabi
Saw bukanlah seorang yang keji perkataannya, juga tidak biasa berkata keji,
bahkan Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian ialah yang
terbaik akhlak budi pekertinya”. (HR. Bukhari)[1]
Seorang da’i bukan hanya
menyanpaikan pengetahuan praktis peribadatan, akan tetapi dalam konteks sosial
ia juga berperan untuk menata moralitas perilaku masyarakat Islam dalam
berbagai aspek kehidupan.[2]
2.
Bermuka
Manis dan murah senyum
“Sesungguhnya
kamu tidak akan mampu meratai manusia dengan hartamu, tetapi yang dapat meratai
mereka itu dengan muka manis dan perangai yang baik”
Dalam hadist ini seorang da’i dituntun memiliki
perangai yang baik, bermuka manis dan murah senyum.
3.
Merefleksikan Keimanan
“Dari Abi Sa’id al-Khudry r.a. saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda, barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya ia ubah dengan tangannya,
apabila tidak mampu dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga dengan hati,
sesungguhnya ini selemah-lemah iman”. (HR. Muslim, Ibn Majah, Annasa’i dalam kitab At-Targhib).
4.
Nabi
menganjurkan berbicara yang baik-baik saja
“Sebutkanlah apa-apa yang baik
mengenai sahabatmu yang tidak hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu
sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu
pada saat kamu tidak hadir”.(Ibnu Abi Dunya)
5.
Tidak berperilaku sombong
عن ابن عمر قال صلعم من تعاظم فى نفسه واجتال
فى مشيته القى الله وهو عليه غضبان
“Dari Ibn Umar r.a ia berkata, bersabda Rasulullah saw, barangsiapa
merasa besar diri, dan sombong dalam berjalannya, pasti ia akan menemui Allah
dalam keadaan Allah murka kepadaya”.
Seorang yang dirinya berprofesi menjadi pendakwah
harus mampu memelihara dirinya dari sifat sombong yaitu menolak kebenaran
lantaran gengsi serta meremehkan manusia.
C.
KESIMPULAN
Dalam
berdakwah hendaklah kita memperhatikan etika-etika dengan
baik agar berdakwah tersebut
bisa berjalan dengan lancar dan efektif. Dengan harapan apa yang disampaikan
mudah diterima dan mendapat respon yang baik pula. Etika-etika tersebut antara
lain: dengan perkataan yang benar, mulia, lemah lembut, ringan dan mudah
dimengerti. Islam sebagai agama yang sempurna mengajarkan dengan sangat detail
bagaimana berdakwah yang baik.
Hal tersebut bisa kita lihat di al-quran dan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Dkk
(2005) Mutiara
Hadits Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: Bina Ilmu.
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Syamsuri
Siddiq
(1981) Dakwah dan
Teknik Berkhutbah. Bandung: PT.
Alma’arif.
[1]Abdul Baqi, Dkk. 2005. Mutiara Hadits Shahih Bukhari Muslim.
(Surabaya: Bina Ilmu)hlm.89
[2] Enjang AS dan Hajir Tajiri. 2009. Etika Dakwah. (Bandung:
Widya Padjadjaran)hlm.67
ETIKA
DAKWAH DALAM FENOMENA SOSIAL
A.
PENDAHULUAN
Dalam kegiatan berdakwah seorang da’i pasti akan dihadapkan kepada
segala problematika pada da’i dan fenomena sosial pula. Dan pencitraan
masyarakat terhadap prilaku da’i yang dianggap kurang bermoral tidaklah
dipandang kecil. Sebagaimana persepsi
masyarakat yang memandang da’i yang mengabungkan dakwah dengan politik. Sehingga
hukum sosial memiliki watak yang cukup kejam, jika da’i melakukan kesalahan,
masyarakat tidak mengakui dan tidak mempercayai seseorang lantaran perbuatan
yang dipandang tidak bermoral, maka kapanpun, dimanapun ia sulit untuk
mempercayai apa yang dikatakannya.
B.
PEMBAHASAN
Keberhasilan
interaksi da’i dengan mad’u bukan hanya seorang da’i yang
memiliki pribadi yang teladan, baik dari mulai sisi cara mengambil keputusan,
cara merespon sebuah masalah, cara bertutur hingga persoalan-persoalan sosial
lainnya seperti tindakan untuk berpoligami, sikap berpolitik dan lain-lain.[1]
Dengan keberhasilan interaksi tersebut maka keberhasilan dakwah pun didapat,
sangat tergantung pada optimalisasi fungsi unsur-unsur dakwah.
Yang
paling utama adalah Da’i dan problem
berkeluarga, keluarga merupakan kelompok primer yang paling penting di
dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari
perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung
lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.[2]
Sebab masyarakat itu ada diantaranya yang termasuk kelompok terpelajar dan
berwawasan, mereka memiliki standar penilaian tertentu mengenai cara
berkeluarga bagi da’i. Standar itu dengan mengacu kepada tolak ukur keluarga
nabi Muhammad sebagai suri tauladan.
Lalu
terdapat problem yaitu adanya keheterogenitas kondisi masyarakat muslim
di indonesia, yaitu kondisi masyarakat muslim dengan ciri-ciri sosial dan
kultural yang sangat beragam. Ciri keragaman atau heterogenetis baik dari sisi
cara berpikir, cara bertutur, cara bertindak ataupun cara mencapai tujuan.
Wujud keragaman sebagai ciri masyarakat heterogen dapat dilihat dari berbagai
penglihatan antara lain berdasarkan kelompok pemahaman dan pengalaman agama,
sumber dan cara penetapan ajaran, orientasi dan gerak pemikiran, serta kelompok
aliran dan organisasi keagamaan.[3]
1.
Differensiasi berdasarkan kelompok pemahaman
Varian pemahaman keagamaan diantaranya tradisional, moderat, dan
liberal.
2.
Differensiasi berdasarkan kelompok pengalaman
Dilihat
dari istilah yang dikemukakan Acep Aripudin, dengan mengutip kategori Cliford
Geert, dalam pengalaman islam di Jawa dapat dikategorikan antara: Islam santri,
priyayi, dan abangan.[4]
3.
Differensiasi berdasarkan organisasi keagamaan
Adanya keragaman pada pemahaman dan pengalaman pada masyarakat
Indonesia sangat sesuai dengan sikap penerimaan oleh masyarakat Indonesia,
karena model agama dan ajaran yang diterima, kondisi sosial budaya pada masa
itu, serta watak dan karakter bangsa Indonesia. Namun demikian, dinamika sangat
mungkin terjadi seiring dengan intensitas perkembangan intelektual, bangkitnya
kesadaran baru, mengambil hal-hal positif yang baru dan meninggalkan hal-hal
lama yang sudah tidak relevan dan produktif.
C.
KESIMPULAN
Dakwah dalam pendekatan etis menjadi tawaran solutif untuk kondisi
masyarakat heterogen. Pendekatan ini dengan mengacu kepada prinsip-prinsip
dakwah yang sangat kokoh karena rumusannya dapat digali dari sumber-sumber
ajaran Islam baik Al-Qur’an dan Al-Hadits, sirah Rasulullah SAW, pendapat para
ulama baik pada masa klasik maupun kontemporer. Di antaranya dengan
memperhatikan sunnah tahapan dalam berdakwah, menghindari kesulitan dan
kepicikan, mempermudah tidak mempersulit, menghargai pendapat orang lain atau
kelompok lain yang berbeda, dan berorientasi pada pencapaian kemashlahatan yang
setinggi-tingginya.
DAFTAR PUSTAKA
Acep
Arpudin
(2003)
Dakwah Antar Budaya Suatu Kajian Awal. Bandung: KP. Hadid.
Ahmadi
Abu
(1999) Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
[1] AS Enjang, Tajiri Hajir. 2009. Etika Dakwah. (Bandung: Widya
Padjajaran). Hlm 156
[2] Ahmadi Abu. 1999. Psikologi Sosial. (Jakarta: Rineka Cipta).
Hlm 239.
[3] AS Enjang, Tajiri Hajir. 2009. Etika Dakwah. (Bandung: Widya
Padjajaran). Hlm 171
[4] Acep Arpudin. 2003. Dakwah Antar Budaya Suatu Kajian Awal. (Bandung:
KP. Hadid)hlm.92
ETIKA
DAKWAH MENGENAI AKHLAK DA’I
A.
PENDAHULUAN
Dalam berdakwah terdapat peran utama didalamnya yaitu seorang da’i.
Da’i yang sukses adalah yang mampu merawat profesionalismenya serta
karakter shalehnya (akhlak). Kedua watak ini harus sejalan dan seiring.
Profesionalisme akan hancur lantaran da’i tidak berakhlakul karimah
dalam kehidupannya, akhlak saja tanpa profesionalisme akan menjadikan da’i
kurang diminati. Maka dari itu dakwah sukses karena da’i yang sukses dan
sukses pula dalam berakhlak.
B.
PEMBAHASAN
Posisi manusia sebagai da’i yaitu sebagai penghantar cahaya
nilai-nilai mengenai ketuhanan.[1]
Dan dalam buku lain seorang da’i mempunyai kewajiban untuk menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. [2]Sehingga
akhlak para da’i yang sebelumnya telah banyak dijelaskan di makalah
sebelumnya, lalu ada beberapa aspek perilaku (akhlak) yang harus dipertahankan.
Menurut Syukriadi Sambas[3]
aspek-aspek itu dapat dikenal melalui indikasinya antara lain :
1.
Amaliyah Qalbiyah
Suatu upaya untuk membangun kemantapan psikologis dan spiritual.
Diantaranya: memperbanyak dzikir, mengasah kemampuan pikir, melatih kecerdasan
emosi, merawat kebeningan qalbu dan lainnya. Agar menjadikan da’i
dapat menstabilitas emosinya, ketenangan, kekhusyuan dan ilmu dapat dengan
mudah diperoleh.
2.
Amaliyah Lisaniyah
Suatu upaya untuk membangun kompetensi dalam penggunaan lidah dan
pengendaliannya. Diantaranya: tidak asal bersuara, berkata dengan benar, sopan,
santun, lemah lembut, tepat, efektif, dan efisein, menghapal ayat-ayat
Al-Qur’an, dan membiasakan kalimah thayyibah dan penempatannya.
3.
Amaliyah Badaniyyah
Suatu upaya untuk membangun kondisi jasmani tetap prima, energik,
penuh vitalitas. Diantaranya dengan mengkomsumsi makanan bergizi, berolah raga secara
teratur, dan lainnya.
4.
Amaliyah Maliyah
Suatu usaha untuk membangun kompetensi ekonomi, dari mulai
pencarian (kasab), pemanfaatan, penunaian syari’ah berupa ZIS. Kenyataan
membuktikan kelemahan aspek ekonomi bisa menjadi penghalang dalam dakwah.
5.
Amaliyah Ijtima’iyyah
Suatu usaha untuk membangun kompetensi dalam berkomunikasi baik
secara vertikal, horizontal dan diagonal dengan sesama manusia. Diantaranya
mengenal ‘urf, tradisi positif yang dianut, tegur sapa, sopan santun,
senyum, tidak menganggap perkara kecil dalam berinteraksi, mengenal banyak
teori komunikasi, gemar bersilaturahmi sebagaimana banyak keterangan dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi SAW.
C.
KESIMPULAN
Dakwah merupakan suatu upaya menyeru manusia kepada kebaikan.
Berdakwah hendaknya diawali dari diri sendiri dengan menampilkan sikap, tabe’at¸kebiasaan
baik dalam berbusana, bergaya, sampai bertutur kata dan bertindak secara benar,
simpatik, sopan, dan bijaksana. Sehingga terciptalah keberhasilan dalam
berdakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Aep
Kusnawan, Dkk
(2009) Dimensi Ilmu
Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Toto
Tasmara
(1997) Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
[2] Toto Tasmara. 1997. Komunikasi Dakwah. (Jakarta: Gaya
Media Pratama) Hlm. 39
[3] AS Enjang, Tajiri Hajir. 2009. Etika Dakwah. (Bandung:
Widya Padjajaran). Hlm. 135
DA’I
SEBAGAI PROFESIONALISME
A.
PENDAHULUAN
Persoalan
mendasar yang tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang berkembang di
masyarakat adalah persoalan kurangnya teori dakwah untuk melihat kenyataan.
Jika diperhatikan di lapangan, masih banyak para mubaligh yang belum memiliki
peta dakwah. Sehingga, meskipun ilmu pengetahuan yang dimiliki cukup tinggi,
tetapi tidak sesuai dengan obyek dakwah (sasaran dakwah). Padahal setiap
masyarakat memiliki problematika, budaya, dan karaktek yang berbeda-beda.
Dengan artian seorang mubaligh hendaknya tidak boleh memukul rata mad’u.
Untuk
dapat meminimalisir problematika Islam yang semakin kompleks maka perlu adanya
perencanaan dakwah yang profesional. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan
subyek dakwah (da’i/mubaligh). Sebuah rencana dan strategi yang baik tidak
akan berjalan dengan baik manakala para pelakunya tidak memiliki kapabilitas
dan kompetensi yang mumpuni. Jika berdakwah menjadi
tumpuan sumber kehidupan sekaligus mempertaruhkan reputasinya, disertai dengan
keilmuan dan keterampilan yang memadai hak pekerjaan itu termasuk profesi
pelakunya di sebut profesional.[1] Maka
dari itu, di sinilah kenapa perlu menyiapkan para mubaligh (da’i) yang
profesional.
B.
PEMBAHASAN
Sebenarnya dapat diangkat dua
bahasan da’i sebagai profesi dan da’i yang profesional. Sebelum kita membedakan
antara keduannya terlebih dahulu kita harus mengetahui apa definisi dari professional
dan profesi. Menurut Dr. A. Sonny Keraf dalam bukunya menyebutkan bahwa
profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan
keahlian dan keterampilan yang tinggi dan melibatkan komitmen pribadi (moral)
yang mendalam. Orang professional adalah orang yang melakukan suatu
pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga
dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut.[2]
Dengan demikian kita dapat
merumuskan perbedaan antara da’I sebagai profesi dengan da’I professional. Da’I
sebagai profesi adalah seorang seorang juru dakwah yang melakukan
pekerjaan dakwah sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan
keterampilan yang tinggi dan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Sedangkan da’I profesional adalah seorang juru dakwah yang melakukan dakwah
karena ahli dibidang ilmu dakwah dan meluangkan waktu, tenaga, dan perhatiannya
untuk pekerjaan dakwah tersebut.
Penting dipatuhi da’i adalah kode
etik dalam bidang keahlian pula. Kode etik ini mencakup kode etik sikap dan
kode etik pelaksanaan tugas.[3]
Yaitu kode etik ini berkaitan dengan kompetensi yang dikuasainya, konmpetensi
yaitu kemampuan juru dakwah untuk mengenal posisi dirinya dalam kapasitas
sebagai apa dan siapa, mengenal bidang garapan, mengenal langkah-langkah yang
harus dilalui, mampu memecahkan segala persoalan yang menyangkut bidangnya.
Secara real orang yang memiliki kompetensi dapat diketahui melalui
ciri-ciri yang melekat padanya :
1.
Kompetensi
Tablig: ia mampu mengkondisikan audience saat ia mulai tampil ceramah, ia mampu
menampilkan keindahan karakter yang terselubung dalam jiwanya.
2.
Kompetensi
Irsyad: ia mampu menjaga, merawat, memelihara dan mempertahankan kadar
kecerdasan, emosi, dan spiritualitasnya, ia mampu berkomunikasi secara timbal
balik, ia mampu membedakan karakter kliennya yang umumnya berbeda-beda dll.
3.
Kompetensi
mudbir: ia mampu merawat karakter jiwa besar, piawai dalam kepemimpinan dan
administrasi dan berorientasi pada pemecahan masalah.
4.
Kompetensi
Muthwir: ia mampu melebur dalam pergaulan ditengah masyarakat, mampu
mempertahankan karakter positif dan kredibilitas di tengah masyarakat.
C.
KESIMPULAN
Da’i sebagai
profesi dengan da’i professional. Da’i sebagai profesi adalah seorang seorang
juru dakwah yang melakukan pekerjaan dakwah sebagai nafkah hidup dengan
mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan melibatkan komitmen
pribadi (moral) yang mendalam. Sedangkan da’I profesional adalah seorang juru
dakwah yang melakukan dakwah karena ahli dibidang ilmu dakwah dan meluangkan
waktu, tenaga, dan perhatiannya untuk pekerjaan dakwah tersebut. Sehingga
terdapat kode etik dalam bidang keahlian pada diri da’i pula.
DAFTAR PUSTAKA
Aep
Kusnawan, Dkk
(2009) Dimensi Ilmu
Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Mafri Amir.
(1999) Etika Komunikasi Massa Dalam
Pandangan Islam. Jakarta: Logos.
Keraf Sonny A.
(1998) Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta:
Kanisius.
[1]Aep Kusnawan, dkk. 2009. Dimensi Ilmu Dakwah. (Bandung:
Widya Padjajaran) Hlm.174
[2]Keraf Sonny A.
1998. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya. (Yogyakarta:
Kanisius) Hlm. 35-36
[3] Mafri Amir. 1999. Etika komunikasi massa dalam pandangan
islam. (jakarta: Logos) Hlm. 87
ETIKA
DAKWAH MENGENAI PENAMPILAN DA’I
A.
PENDAHULUAN
Di era seperti sekarang, mayoritas orang-orang memandang kulit
terlebih dahulu sebelum inti dari suatu perkara, benda, moment, atau kejadian.
Begitu pula dengan para aktivis dakwah (da’I), orang-orang biasanya akan lebih
megingat, mengenal, dan mengenang sosok da’I tertentu ketika da’I tersebut
menpunyai suatu kekhasan tersendiri, baik itu dalam penampilan ataupun dalam
keunggulannya menyampaikan pesan dakwah. Memang tak dapat dipungkiri,
bahwasanya performance da’I (meliputi segala hal yang dia kenakan dan
gerak-geriknya ketik proses dakwah itu berlangsung) yang menarik di hati madhu
dan pesan dakwah yang ia sampaikan tepat mengenai sasaran merupakan dua faktor
yang sangat menunjang terhadap bermutu atau tidaknya suatu kegiatan dakwah
tertentu.
B.
PEMBAHASAN
Pastikan da’i bukan pengoleksi semua warna, karena selain israf,
maka itu tindakan tidak beridentitas. Bagi tipe sanguinis misalnya,
silahkan memperbanyak pakaian warna merah. Sedangkan tipe melankolis,
sangat cocok warna hijau. Bagi para da’i bertipe Choleris maka pantas
dengan warna kuning. Sementara tipe plegmatis, baik dengan warna biru.
Tentu saja warna tersebut melingkupi gradasinya. Karakter pribadi da’i akan
semakin tampak dan makin “shiny”.
Rahmat, Jalaluddin dalam bukunya Rhetorika Modern (1982: 167), kemampuan yang harus dimiliki
oleh seorang da’i ada dua hal, yaitu penampilan vokal dan penampilan phisik.
1. Penampilan vokal yang
meliputi :
a. Volume suara
b. Artikulasi atau
pengucapan masing.
c. masing suku kata harus
jelas.
d. Infleksion atau lagu
pengucapan kalimat.
2. Penampilan phisik,
meliputi(Abdul Karim
Zaidan, 1980: 271-272) :
a. Pose atau sikap badan
secara keseluruhan dan tata busana diatur secara indah dan serasi.
b. Mimik atau perubahan
raut muka.
c. Gestur atau gerak
anggota badan.
d. Movement atau perubahan
tempat.
C.
KESIMPULAN
Cara berbicara dan penampilan seorang da'i akan menarik perhatian
orang yang mendengar dan melihat-nya, karena pada dasarnya jiwa manusia
cenderung dan tertarik dengan penampilan yang indah dan baik. Pada hakikatnya,
dakwah adalah menawarkan sebuah risalah dan landasan pola berpikir yang
tercermin dalam akhlak, kepribadian, dan penampilan. Penampilan dan akhlak yang
baik akan membuat orang yang baru saja memandang menjadi tertarik dan simpati.
Maka kita akan menemukan ada sebagian orang yang menggantungkan kepercayaan
melalui pandangan matanya. Disitulah seorang da’i akan mendapatkan penilaian
dari mad’u, tentang dirinya baik ataukah buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Abdul Karim Zaidan
(1980) Dasar-Dasar Ilmu
Dakwah Jilid II. Jakarta: Media dakwah.
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Rahmat,
Jalaluddin
(1982)
Retorika Modern. Bandung: Akademika.
KEPRIBADIAN
DA’I
A.
PENDAHULUAN
Pencitraan oleh masyarakat terhadap perilaku da’i yang dianggap
kurang bermoral tidaklah dipandang sepele atau kecil. Hukum sosial
memiliki watak yang cukup kejam, sekali masyarakat sudah tidak mengakui dan
tidak mempercayai seorang da’i lantaran perbuatan yang dilakukannya
terkesan abmoral, maka kapanpun, dimanapun ia sulit untuk bisa mendengar segala
apa yang disampaikan oleh da’i pada dirinya. Logika balik dari fenomena
peristiwa ini, seorang da’i harus memiliki kepribadian-kepribadian yang baik
dan pula teladan. Sebagaimana yang akan dibahas dalam mekalah mini ini mengenai
kepribadian diri da’i.(Enjang AS dan Hajir T, 2009: 156)
B.
PEMBAHASAN
Kepribadian
menurut Awaludin Pimay adalah kualitas secara keseluruhan dari seseorang yang
tampak dari cara-cara berbuat, cara-cara berfikir, cara-cara mengeluarkan
pendapat, sikap, minat, filsafat hidup dan kepercayaan. Sedangkan kepribadian menurut Psikolog (Faizah&Lalu
Machsin Effendi, 2006 : 57) adalah organisasi
dinamis dari organ fisik dan psikis dari diri individu yang membentuk
karakter yang unik dalam penyesuaian dengan lingkungannya. Untuk dapat memahami
kepribadian manusia secara teliti dan benar, maka berbagai factor yang
membentuk kepribadian harus dikaji, baik factor internal maupun eksternal. Menurut sifatnya
kepribadian da’i dibagi menjadi dua bagian (Djamaluddin Ancok & Fuad Nashori S, 1995: 37) :
1.
Kebribadian
Yang Bersifat Rohaniah
a.
Beriman dan
Bertaqwa Kepada Allah SWT
b.
Ahli Tobat
Berarti ia harus mampu untuk lebih
menjaga atau takut berbuat maksiat atau dosa dibandingkan orang yang menjadi mad’u-nya.
c.
Ahli Ibadah
d.
Amanah dan Shidq
e.
Pandai
Bersyukur
f.
Tulus Ikhlas
dan Tidak Meentingkan Pribadi
g.
Ramah Dan
Penuh Pengertian
h.
Tawaddhu’
(Rendah Hati)
i.
Sederhana
j.
Tidak
Memiliki Sifat Egois
k.
Sabar Dan
Tawakal
l.
Memiliki
Jiwa Toleran
m. Tidak Memiliki Penyakit Hati
2.
Kepribadian
Yang Bersifat Jasmani
a. Sehat Jasmani
Dakwah
memerlukan akal yang sehat, sedangkan akal yang sehat terdapat pada badan yang
sehat pula. Disamping itu, dengan kesehatan jasmani seorang Da’I mampu memikul
beban dan tugas dakwah.
b. Berpakaian Sopan dan Rapi
Pakaian yang
sopan, praktis dan pantas mendorong rasa simpati seseorang pada orang lain
bahkan pakaian berdampak pada kewibawaan seseorang. Bagi seorang Da’I masalah
pakaian harus mendapat perhatian serius, sebab pakaian yang dipakai menunjukkan
kepribadiannya.
C.
KESIMPULAN
Kepribadian adalah kualitas secara keseluruhan dari seseorang yang tampak
dari cara-cara berbuat, cara-cara berfikir, cara-cara mengeluarkan pendapat,
sikap, minat, filsafat hidup dan kepercayaan. Berhasil atau tidaknya suatu
kegiatan dakwah sangat ditentukan oleh kepribadian juru dakwah. Sikap penuh
keyakinan bahwa dakwah yang disampaikan akan diterima dengan baik oleh
pendengar, sikap yakin bahwa apa yang disampaikan adalah perintah Allah SWT,
serta sikap optimis dan pantang menyerah adalah beberapa ciri kepribadian
seorang juru dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaluddin
Ancok & Fuad Nashori S
(1995) Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Enjang
AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Faizah
dan Lalu Machsin Effendi
(2006) Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana.
KELUARGA
DA’I
A.
PENDAHULUAN
Kedudukan keluarga bagi da’i adalah sesuatu yang tidak bisa
dianggap sepele dimata masyarakat. Pendangan itu tidak bisa jadi
memiliki cara pandang yang berbeda antara masyarakat memandang da’i yang sudah
berkeluarga dengan da’i yang belum berkeluarga, dan lebih berpengaruh lagi
adalah hal-ihwal keharmonisan, ketentraman, dari keluarga dai tersebut.
Dalam hal ini keluarga da’i dituntut untuk menjadi tauladan dan panutan bagi
lingkungannya. (Enjang AS dan Hajir Tajiri, 2009:156)
B.
PEMBAHASAN
Keluarga (Jalaluddin
Rahmat dan Muhtar Gandatama,1994:9) adalah unit sosial
terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual
dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama
dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu
dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan
silaturrahim.
Ketika seseorang belum menikah, maka
keluarganya adalah orang tua dan saudara-saudaranya, sehingga keluarga inilah
yang seharusnya mendapatkan prioritas untuk didakwahi, tanpa menelantarkan
kewajiban berdakwah kepada yang lain. Pemahaman medan dakwah dan kedekatan
dengan objek dakwah sangatlah diperlukan dalam berdakwah, sehingga cukup
tepatlah jika anggota keluarga menjadi dai bagi keluarga itu sendiri.
Menurut Fuad Ihsan fungsi lembaga pendidikan
keluarga, yaitu keluarga merupakan pengalaman pertama bagi anak-anak,
pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak untuk
tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga akan tumbuh sikap tolong menolong,
tenggang rasa sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera,
keluarga berperan dalam meletakkan dasar pendidikan agama dan sosial. (Djuju
Sujana, 1996 : 18)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, Rasulullah saw. bersabda,
“Tegakkan aturan-aturan Allah walaupun kepada keluarga dekat atau
kepada orang lain. Jangan hiraukan celaan orang lain dalam menjalankan
hukum-hukum Allah.”
Ketika kita mengingat kembali akan terlihat
jelas betapa pentingnya dakwah kepada keluarga. Sebagaimana
dalam surat At-Tahrim: 6 yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”
C.
KESIMPULAN
Fungsi
keluarga sangat berarti dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang.
Keluarga merupakan satuan terpenting bagi proses pembangunan umat. Kepribadian
yang baik terbentuk dari sebuah keluarga yang menanamkan budi pekerti yang
baik. Sehingga dapat membentuk seorang da’i yang berkualitas yang lahir dari
keluarga yang berkualitas pula. Dan keluarga merupakan pendukung terbaik dalam
kegiatan dakwah yang dilakukan bagi diri da’i. Dan yang utama medan dalam
berdakwah yakni pada keluarga itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Enjang AS dan Hajir Tajiri
(2009) Etika
Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Rahmat, Jalaluddin dan Muhtar Gandatama
(1994) Keluarga Muslim Dalam Masyarakat Modern.
Remaja Rosdakarya: Bandung.
Sujana, Djuju
(1996) PerananKeluarga Dalam Lingkungan Masyarakat.
Remaja Rosdakarya: Bandung.
KODE ETIK
PROFESI DAKWAH
A.
PENDAHULUAN
Tujuan utama dari kode
etik adalah memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan
kepentingan pribadi atau kelompok. Kode
etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah
dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih
memperjelas,mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna
walaupun sebenarnya norma-norma terebut sudah tersirat dalam etika profesi. Kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas
dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar
dan apa yang salah dan perbuatan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan oleh seorang profesional.
B.
PEMBAHASAN
Istilah kode etik ialah merujuk pada aturan-aturan
atau prinsip-prinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah. Secara
umum etika dakwah itu adalah etika islam
sendiri, dimana secara umum seorang da’I harus melakukan tindakan-tindakan yang
terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku tercela. (Khatib Pahlawan Kayo, 2007 :
17)
Kode
etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana seseorang sebagai
seseorang yang profesional supaya tidak dapat merusak etika profesi ada tiga
hal pokok yang merupakan dari kode etik
profesi, beberapa kode etik dakwah :
1. harus bersikap sopan
2. seorang da’I harus jujur
3. tidak melakukan toleransi atau kompromi
dengan agama lain.
Penyiaran
Islam (Tabligh) Berasal dari kata balagho yang artinya penyampai atau
orang yang menyampaikan, berarti mubaligh adalah pembawa ilmu yang berkewajiban
menyampaikan semua ilmu. Bimbingan (Irsyad) adalah sebutan untuk seorang
guru pembimbing dunia atau toriqoh, yang telah memperoleh ijin dan izajah dari
guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid
shohibuthoriqoh.
Menejemen
dakwah (Mubdir) secara etimologis, kata manajemen berasal dari bahasa
inggris, management, yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan dan
pengelolaan artinya menejemen adalah sebagai suatu proses yang diterapkan
individu atau kelompok dalam upaya koordinasi dalam mencapai suatu tujuan.(Syukriadi
Sambas, 1999: 22)
Pengembangan
Masyarakat Islam (Muthwir) adalah sosialisasi ajaran islam kepada
masyarakat mad’u untuk mempertinggi derajat kesalehan prilaku individu dan
kelompok, sehingga dapat memecahkan masalah yang ada pada masyarakat.(Aep
Kusnawan, dkk., 2009: 25)
C.
KESIMPULAN
Istilah kode etik ialah merujuk pada aturan-aturan
atau prinsip-prinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah. Secara
umum etika dakwah itu adalah etika islam
sendiri, dimana secara umum seorang da’I harus melakukan tindakan-tindakan yang
terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku tercela.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. RB Khatib
Pahlawan Kayo
(2007) Menejemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju
Dakwah Profesional.
Jakarta:
Hadid Press
Enjang AS, Dkk
(2009) Dimensi
Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Syukriadi Sambas
(1999) Pokok-Pokok
Wilayah Kajian Dakwah Islam. Bandung: Mimbar Studi.
DIMENSI-DIMENSI
ETIK AMALIYAH DAKWAH
A.
PENDAHULUAN
Dalam berdakwah terdapat peran utama didalamnya yaitu seorang da’i.
Da’i yang sukses adalah yang mampu merawat profesionalismenya serta
karakter shalehnya (akhlak). Kegiatan dakwah pun tidak mungkin berjalan tampa
adanya mad’u atau pendengar, sehingga terdapat pula etika bagi mad’u itu
sendiri. Dan bagaimana etika komunikasi yang dilakukan dalam kegiatan dakwah
Islam.(Aep Kusnawan, 2009: 138)
B.
PEMBAHASAN
Unsur-unsur atau aspek dakwah ini menyerupai sebuah refleksi sistem
perbuatan dakwah yang unsur-unsurnya saling mengokohkan.
1.
Moralitas Da’i
Bagi da’i mesti memiliki moralitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Yakni yang menyangkut nor-norma moral, yakni akhlak itu
sendiri. Batasan tersebut dapat disederhanakan, “akhlak adalah peri keadaan
jiwa yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan secara spontan. Peri keadaan
jiwa yang baik akan melahirkan perbuatan yang baik dan peri keadaan jiwa buruk
akan melahirkan perbuatan yang buruk pula.”(Mashdar Helmy, 1973: 22)
Akhlak da’i adalah akhlak islam yang Allah nyatakan dalam
Al-Qur’an. Akhlak islam yang sebaiknya dimiliki da’i menurut Tutty Alawiyah
(1997: 34) yang memeiliki hubungan erat dengan amaliyah dakwah diantaranya : As-Shidq
(benar, tidak dusta), As-Shabr (tabah), Ar-Rahmah (rasa kasih
sayang), Tawadhu’ (tidak sombong), suka bergaul.
2.
Etika Mad’u
Dalam etika mad’u disini yakni etika terhadap da’i yang diantaranya(Enjang
dan Hajir, 2009: 124) yaitu:
a)
Menghormati da’i sebagai gurunya
b)
Memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh da’i
c)
Shabar dalam proses mendapatkan ilmu melalui kegiatan dakwah yang diikuti
d)
Menjaga etika di dalam majelis
e)
Mengkritik tapi sesuai dengan etika
3.
Etika Komunikasi Dalam Dakwah Islam
Wajib kita ketahui bahwa Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkannya
tidak bisa lepas dari proses komunikasi, karena makna sentral dari pemberian
wahyu Al-Qur’an pada dasarnya adalah pemberian informasi. Sehingga komunikasi
yang baik pun telah dicontohkan sebelumnya, yang menciptkan suatu etika
komunikasi yang khususnya dalam dakwah Islam karena dalam dakwah pun yakni
pemberian atau penyampaian informasi.
Karena dakwah dianggap sebagai penyampaian pesan Islam kepada
manusia disetiap waktu dan tempat yakni dengan berbagai metode dan media yang
sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima dakwah. Sehingga etika
komunikasi dalam dakwah yakni teknik berkomunikasi diatas mimbar yang sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan yang berlaku ditengah masyarakat. Dan etika komunikasi
dakwah itu merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
C.
KESIMPULAN
Dakwah dibangun atas unsur-unsur
dakwah yaitu da’i, mawdhu, ushlub, washilah, mad’u. Unsur-unsur
dakwah tersebut menyerupai sebuah refleksi sistem perbuatan dakwah atau
amaliyah dakwah yang unsur-unsurnya saling mengokohkan. Kesempurnaan dakwah
dapat ditentukan oleh fungsinya yang optimal dari unsur-unsur itu.
DAFTAR PUSTAKA
Aep Kusnawan, Dkk. 2009. Dimensi Ilmu Dakwah.
Bandung: Widya Padjadjaran.
Enjang AS dan Hajir Tajiri. 2009. Etika Dakwah. Bandung:
Widya Padjadjaran.
Mashdar Helmy. 1973. Dakwah Dalam Alam Pembangunan. Semarang:
Thaha Putera.
Tutty Alawiyah. 1997. Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis
Taklim. Bandung: Mizan.
makasih byk kak, sangat membantu sekali
BalasHapus