Jumat, 24 Februari 2017

KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM



KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih Keluarga Muslim
Dosen Pengampu :
Dra. Mu’minatul Zannah, M.Ag
 

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kafa’ah dalam Perkawinan Islam
Kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa artinya “setaraf, seimbang, keserasian atau kesesuaian, serupa, sederajat, sebanding, sama, serasi, sepadan, setingkat, kesetaraan, sesuai.[1] Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan calon suami istri yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal yaitu, keduanya beragama Islam, memiliki rupa tampan dan cantik, keduanya dari ketururnan yang baik, keduanya orang kaya, keduanya berpendidikan dan sebagainya.
Sehingga yang dimaksud kafa’ah dalam perkawinan adalah kesamaan antara calon suami dan calon isteri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama dalam akhlak dan kekayaan.[2]
Meskipun masalah keseimbangan itu tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan atau dalam Al-Qur’an, akan tetapi masalah tersebut sangat penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu ingin mewujudkan suatu keluarga yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih sayang sehingga masalah keseimbangan dalam perkawinan ini perlu diperhatikan demi mewujudkan tujuan perkawinan.[3]
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah.[4]
Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah Swt. Adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.[5] Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
  يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13).
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.[6]

B.       Ukuran Kafa’ah
Masalah kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang bersederajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan.
Selain itu, ada kerelaan dari walinya yang mengadakan dari pihak perempuannya. Akan tetapi, jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti dia tidak kufu’ dengan perempuan yang salehah. Bagi perempuan salehah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.[7]
Sedangkan Nabi Muhammad SAW. memberikan ajaran mengenai ukuran-ukuran kufu’ dalam perkawinan agar mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga berdasarkan hadits Nabi SAW. :
”Dari Said bin Abi Su’bah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. : Sesungguhnya beliau bersabda : ”Nikahilah perempuan karena empat perkara : pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya, (nasabnya), ketiga kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka terpenuhi semua kebutuhanmu”.”
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun Nabi SAW sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan.
Namun para ulama Imam Madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian kafa’ah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafa’ah yang mereka gunakan. Diantaranya :
1.      Menurut ulama Hanafiyah
Kafa’ah adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan harta.[8]
2.      Menurut ulama Malikiyah
Kafa’ah adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.[9]
3.      Menurut ulama Syafi’iyah
Kafa’ah adalah persamaan suami dengan isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama, nasab, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.[10]
4.      Menurut ulama Hambali
Kafa’ah adalah persamaan suami dengan isteri dalam nilai ketakwaan, pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.[11]
Dalam ajaran Islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon suami-istri adalah kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan penentu stabilitas rumah tangga. Percuma saja, tampan dan cantik jika kehidupannya kurang bermoral, kaya raya jika kehidupannya penuh dengan pemborosan dan dikuasai hawa nafsu. Semua itu akan sirna.
Karena kesepadanan diutamakan agamnya, orang Islam diharamkan menikah dengan orang musyrik dan ahli kitab yang juga telah musyrik, apalagi jika seorang muslim menikah secara tidak normal, misalnya menjadi homoseksual atau lesbian. Semua itu merupakan perbuatan yang menyimpang dari prinsip kesepadanan. Oleh karena itu, prinsip kesepadanan dilaksanakan untuk dijadikan patokan dalam membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[12]
Ibnu Rusyd berkata: Dikalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talak. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya.[13]
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari cacat (‘aib).[14] Fuqaha berbeda pendapat :
1.        Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab.
2.        Menurut Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki.
3.        Menurut Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula.
 Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi Saw : Wanita itu dikawini karena agamanya, kecantikannya, hartanya, dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Segolongan ulama ada yang memahami faktor agamalah yang dijadikan pertimbangan karena didasarkan pada penekanan sabdanya : ”maka pilihlah karena agamanya, segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah.[15]
Dan semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah. Dikalangan mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.
Faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan mazhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau tidak meneruskan perkawinannya dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya). Sabda Nabi Saw.: “Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ‘Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa.” (HR. Abu Dawud).
Melihat arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya, hanya takwalah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, bukan seperti kebangsawanan dan kebangsaan ataupun kecantikan. Dalam masalah perkawinan yang termasuk sunnah Nabi dan membina keluarga sejahtera itu faktor agama yang seharusnya menjadi titik beratnya, untuk mendapatkan derajat berbahagia dalam berumah tangga.


[1] M. Ali Hasan. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Siraja. H. 33
[2] Sayyid Sabiq. 1981.  Fiqh As-Sunnah Jilid 2. Bandung: PT. Al Ma’arif. H. 255
[3] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, h. 4
[4]Abdul Rahman Ghozali. 2010. Fiqh Munakahat Ed. 1, cet. 4. Jakarta: Kencana. H. 96-97
[5]H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat, Ed. 1, cet.2. Jakarta: Rajawali Pers. H. 56
[6] Abdul Rahman Ghozali. Op.Cit. H. 97
[7] Abdul Rahman Ghozali. Op.Cit. H. 97-98
[8] Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ’Ala Al-Maz|a>hib Al-Arba’ah, Juz 4, H. 53
[9] Ibid, H. 56-57
[10] Wahbah, Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz  9, H. 6747
[11] Sayyid Sabiq. Op.Cit. H. 255
[12] Beni Ahmad Saebani. 2001. Fiqh Munakahat cet.6 (Buku II). Bandung: Pustaka Setia. H. 200
[13] H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani. Op.Cit. H. 58
[14] Abdul Rahman Ghozali. Op.Cit. H. 98-99
[15] H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani. Op.Cit. H. 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar