KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Fiqih
Keluarga Muslim
Dosen Pengampu :
Dra. Mu’minatul Zannah, M.Ag
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kafa’ah dalam Perkawinan Islam
Kafa’ah
atau kufu’, menurut bahasa artinya “setaraf, seimbang, keserasian atau
kesesuaian, serupa, sederajat, sebanding, sama, serasi, sepadan, setingkat,
kesetaraan, sesuai.[1]
Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan calon suami istri yang
memiliki kesamaan dalam beberapa hal yaitu, keduanya beragama Islam, memiliki
rupa tampan dan cantik, keduanya dari ketururnan yang baik, keduanya orang
kaya, keduanya berpendidikan dan sebagainya.
Sehingga
yang dimaksud kafa’ah dalam perkawinan adalah kesamaan antara calon suami dan
calon isteri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama
dalam akhlak dan kekayaan.[2]
Meskipun
masalah keseimbangan itu tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan atau dalam
Al-Qur’an, akan tetapi masalah tersebut sangat penting untuk mewujudkan suatu
rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan perkawinan itu
sendiri, yaitu ingin mewujudkan suatu keluarga yang bahagia berdasarkan cinta
dan kasih sayang sehingga masalah keseimbangan dalam perkawinan ini perlu
diperhatikan demi mewujudkan tujuan perkawinan.[3]
Yang
dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum
Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau,
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian, terutama dalam hal agama,
yaitu akhlak dan ibadah.[4]
Sebab,
kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan
berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah Swt. Adalah sama.
Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.[5]
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.
Al-Hujurat:13).
Kafa’ah
dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan
suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
goncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon
suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah
adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak
seimbang, serasi atau sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh
dibatalkan.[6]
B.
Ukuran Kafa’ah
Masalah
kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang
lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya.
Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah
dengan perempuan yang bersederajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran
apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran
yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh
menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat
menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya
menghalangi atau menuntut pembatalan.
Selain
itu, ada kerelaan dari walinya yang mengadakan dari pihak perempuannya. Akan
tetapi, jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur
berarti dia tidak kufu’ dengan perempuan yang salehah. Bagi perempuan salehah
jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih
gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.[7]
Sedangkan
Nabi Muhammad SAW. memberikan ajaran mengenai ukuran-ukuran kufu’ dalam
perkawinan agar mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga berdasarkan hadits
Nabi SAW. :
”Dari
Said bin Abi Su’bah dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. :
Sesungguhnya beliau bersabda : ”Nikahilah perempuan karena empat perkara :
pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya, (nasabnya), ketiga
kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka terpenuhi
semua kebutuhanmu”.”
Dalam
hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi
seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara yaitu hartanya,
derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun Nabi SAW
sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih
pasangan.
Namun
para ulama Imam Madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian kafa’ah dalam
perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafa’ah yang mereka
gunakan. Diantaranya :
1.
Menurut ulama Hanafiyah
Kafa’ah
adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan,
merdeka, nilai ketakwaan dan harta.[8]
2.
Menurut ulama Malikiyah
Kafa’ah
adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam agama dan selamat dari cacat
yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.[9]
3.
Menurut ulama Syafi’iyah
Kafa’ah
adalah persamaan suami dengan isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik
dalam hal agama, nasab, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang
memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.[10]
4.
Menurut ulama Hambali
Kafa’ah
adalah persamaan suami dengan isteri dalam nilai ketakwaan, pekerjaan, harta,
merdeka, dan nasab.[11]
Dalam ajaran Islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon
suami-istri adalah kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan penentu
stabilitas rumah tangga. Percuma saja, tampan dan cantik jika kehidupannya
kurang bermoral, kaya raya jika kehidupannya penuh dengan pemborosan dan
dikuasai hawa nafsu. Semua itu akan sirna.
Karena
kesepadanan diutamakan agamnya, orang Islam diharamkan menikah dengan orang
musyrik dan ahli kitab yang juga telah musyrik, apalagi jika seorang muslim
menikah secara tidak normal, misalnya menjadi homoseksual atau lesbian. Semua
itu merupakan perbuatan yang menyimpang dari prinsip kesepadanan. Oleh karena
itu, prinsip kesepadanan dilaksanakan untuk dijadikan patokan dalam membentuk
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[12]
Ibnu
Rusyd berkata: Dikalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa
apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr
(pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak
menolak perkawinan tersebut. Begitu pula halnya apabila seorang gadis
dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah
dengan kata-kata talak. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan
antara keduanya.[13]
Lebih
lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha juga berbeda pendapat tentang faktor
nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu
pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari cacat
(‘aib).[14]
Fuqaha berbeda pendapat :
1.
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin
dengan hamba sahaya Arab.
2.
Menurut Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita
Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki.
3.
Menurut Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa
wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab
tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd
disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian)
dari sabda Nabi Saw : Wanita itu dikawini karena agamanya, kecantikannya,
hartanya, dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya
akan beruntung tangan kananmu.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Segolongan
ulama ada yang memahami faktor agamalah yang dijadikan pertimbangan karena
didasarkan pada penekanan sabdanya : ”maka pilihlah karena agamanya”, segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan
(nasab) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor
kekayaan dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang
dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup
kafa’ah.[15]
Dan
semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat,
mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah. Dikalangan
mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada
pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.
Faktor
kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan mazhab Maliki bahwa ia
termasuk dalam lingkup pengertian kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits
shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang
telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau tidak meneruskan perkawinannya
dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya). Sabda Nabi Saw.: “Manusia
itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas
orang ‘Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa.” (HR. Abu Dawud).
Melihat
arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya, hanya takwalah yang
membedakan manusia satu dengan yang lainnya, bukan seperti kebangsawanan dan kebangsaan
ataupun kecantikan. Dalam masalah perkawinan yang termasuk sunnah Nabi dan
membina keluarga sejahtera itu faktor agama yang seharusnya menjadi titik
beratnya, untuk mendapatkan derajat berbahagia dalam berumah tangga.
[1] M. Ali Hasan. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam.
Jakarta: Siraja. H. 33
[2] Sayyid Sabiq. 1981. Fiqh
As-Sunnah Jilid 2. Bandung: PT. Al Ma’arif. H. 255
[3] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, h. 4
[4]Abdul Rahman Ghozali. 2010. Fiqh Munakahat Ed. 1, cet. 4.
Jakarta: Kencana. H. 96-97
[5]H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani. 2010. Fikih Munakahat, Ed. 1, cet.2.
Jakarta: Rajawali Pers. H. 56
[6] Abdul Rahman Ghozali. Op.Cit. H. 97
[7] Abdul Rahman Ghozali. Op.Cit. H. 97-98
[8] Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ’Ala Al-Maz|a>hib Al-Arba’ah,
Juz 4, H. 53
[9] Ibid, H. 56-57
[10] Wahbah, Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9, H. 6747
[11] Sayyid Sabiq. Op.Cit. H. 255
[12] Beni Ahmad Saebani. 2001. Fiqh Munakahat cet.6 (Buku II). Bandung:
Pustaka Setia. H. 200
[13] H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani. Op.Cit. H. 58
[14] Abdul Rahman Ghozali. Op.Cit. H. 98-99
[15] H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani. Op.Cit. H. 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar