Jumat, 24 Februari 2017

KETAHANAN PANGAN DAN PENDIDIKAN DESA CIREUNDEU - CIMAHI



KETAHANAN PANGAN DAN PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA CIREUNDEU - CIMAHI
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Bahasa dan Budaya Sunda


                                 
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN  .................................................................................................. 1
     A.    Latar belakang ............................................................................................... 1
     B.     Rumusan masalah .......................................................................................... 2
     C.     Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
     A.    Desa Cireunde ............................................................................................... 3
     B.     Pengertian Ketahanan Pangan ...................................................................... 3
     C.     Sumber Daya Alam Desa Cireunde .............................................................. 5
     D.    Desa Cireunde Sebagai Ketahanan Pangan .................................................. 6
    E.     Pengembangan Ekonomi Masyarakat Cireunde dalam Mengubah
Kekayaan Alam.............................................................................................. 8
    F.      Kehidupan Warga Desa Cireundeu dalam Bidang Pendidikan  ................... 11
BAB III
PENUTUP................................................................................................................. 12
    A.    Kesimpulan....................................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Masyarakat Adat Cireundeu, Kota Cimahi sejak tahun 1912 telah mengonsumsi RASI (beras ampas singkong) sebagai pangan pokok pengganti beras. Pola makan seperti ini sudah menjadi budaya yang dipertahankan hingga saat ini. Budaya mempertahankan kearifan lokal ini menjadikan masyarakat adat Cireundeu tidak bergantung pada beras, sehingga ketahanan pangan di wilayah ini tidak terganggu oleh kondisi penurunan produksi beras nasional sebagai akibat bencana alam, gagal panen atau alih fungsi lahan. Berbeda dengan masyarakat di daerah lain yang mengalihkan pangan pokoknya dari jagung, ubi dan sagu ke beras  sebagai  dampak  keberhasilan  teknologi  pembenihan  dan  budidaya  padi  pada  masa  orde  baru. Produksi beras yang merosot secara nasional dan kenaikan harga pangan dunia merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan nasional. Fenomena kerawanan pangan dan gizi masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia menunjukan bahwa kepedulian terhadap masyarakat miskin masih memprihatinkan. Kebijakan pemerintah dengan memberikan sediaan pangan RASKIN yang diimpor dari negara lain membuktikan bahwa pola pikir masyarakat masih didasarkan pada pangan identik dengan beras. Hasil observasi menunjukan bahwa eksistensi dan konsistensi pangan lokal pada sebagian masyarakat adat di Kampung Cireunde masih dipertahankan karena berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan keyakinan leluhur yang masih dipertahankan sampai sekarang. Secara logika, nilai tersebut bisa dipelajari dan bisa dibentuk, artinya budaya konsumsi pangan pokok singkong dan RASI dapat diadopsi oleh daerah lain. Konsep ini dapat menjadi terobosan bijak dengan memberdayakan seluruh masyarakat Kampung Cireundeu, termasuk masyarakat yang ‘non adat’ untuk mengembangkan budaya konsumsi pangan non beras ini. Sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi ketahanan pangan nasional saat ini, maka konsep tersebut dapat diterapkan melalui pengelolaan dan penataan wilayah Kampung Cireundeu secara terpadu dari seluruh aspek potensial kawasan.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Sebab Desa Cireundeu Menjadi Desa Ketahanan Pangan?
2.      Bagaimana Pengembangan Ekonomi dalam Mengolah Kekayaan Alam (Singkong)?
3.      Bagaimana Kehidupan Masyarakat Desa Cireundeu dalam Bidang Pendidikan?

C.       Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Alasan Desa Cireundeu Menjadi Desa Ketahanan Pangan
2.      Untuk Melihat Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam Mengolah Kekayaan Alam (singkong)
3.      Untuk Memahami Kehidupan warga Desa Cireundeu dalam Bidang Pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Desa Cireundeu
Cireundeu merupakan suatu perkampungan yang terletak di    kelurahan Leuwigajah dan termasuk wilayah kecamatan Cimahi Selatan, Kota  Cimahi, Jawa Barat. Sebelah utara kelurahan Leuwigajah berbatasan dengan kelurahan Baros, sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Cibeber, sebelah Selatan dengan Kecamatan Batujajar dan Desa Lagadar, serta sebelah barat dibatasi Kelurahan Utama. Kelurahan Leuwigajah dibagi menjadi 16 Rukun Warga (RW). Cireundeu termasuk dalam RW 10 dan dibagi kedalam 5 Rukun Tetangga (RT). Pada umumnya keluarga konsumsi rasi bertempat tinggal di RT 02 dan RT 03. Letak RW 10 berbeda dengan RW lainnya, karena jauh dari jalan raya atau lalu lintas kendaraan umum. Cireundeu dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 kilometer dan harus melewati Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah  sepanjang lebih kurang 600 meter. Namun sejak tahun 2005 pasca bencana longsor sampah yang banyak menelan korban jiwa, akhirnya TPA ini ditutup. Kampung  Cireundeu dapat ditempuh dari jalan utama dengan ojek (motor). Kampung adat Cireundeu ini dikenal sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA). Masyarakat adat kampung ini mengkonsumsi singkong/ubi kayu sebagai makanan pokok atau yang dikenal dengan Rasi (beras singkong). Selain sebagai makanan pokok utama, singkong ini juga diolah menjadi produk lain seperti tepung tapioka, rangining, kecimpring, opak, kerupuk dan keripik singkong, diharapkan penganekaragaman olahan singkong ini dapat menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat kampung Cireundeu.   

B.   Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi dan paradigma ketahanan pangan  terus mengalami perkembangan sejak  adanya  Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan  konsep “secure, adequate and suitable supply of food for  every one”. Definisi ketahanan pangan  sangat bervariasi, namun  umumnya mengacu definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni “akses semua orang setiap saat  pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life).  Studi pustaka  yang dilakukan oleh IFPRI (1999)  diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner, 2000).  Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan  yang sering diacu :
1.        Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996:  kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
2.        USAID (1992): kondisi  ketika  semua  orang  pada  setiap saat mempunyai akses secara  fisik dan  ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif.
3.        FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
4.        FIVIMS  (2005):  kondisi  ketika  semua  orang  pada  segala waktu  secara  fisik, sosial dan  ekonomi memiliki  akses pada pangan  yang  cukup,  aman dan bergizi untuk   pemenuhan kebutuhan konsumsi  dan  sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5.        Mercy Corps (2007): keadaan ketika  semua orang pada setiap saat  mempunyai akses  fisik,  sosial,  dan ekonomi  terhadap  terhadap  kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya  untuk  hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi : 
1.        Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2.        Dimensi watu setiap saat  pangan tersedia dan dapat diakses
3.        Menekankan pada  akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,ekonomi dan sosial
4.        Berorientasi pada pemenuhan gizi
5.        Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Di Indonesia  sesuai  dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1)tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut:
a.         Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,ternak,dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak,vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
b.        Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.
c.         Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang  harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
d.        Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

C.  Sumber Daya Alam Desa Cireundeu
Penanaman ubi kayu (singkong) oleh masyarakat Cireundeu dilakukan dilereng- lereng bukit, yang merupakan lahan kering (kebun). Selain singkong  sebagai tanaman utama, masyarakat umumnya juga menanam pisang, pepaya, dan nangka yang lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat serta tanaman albasia.  Pada umumnya, terutama petani, memiliki ternak domba, ayam atau bebek, dan kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman singkong atau tanaman lainnya. Singkong dipanen setahun sekali (umur 11 – 12 bulan), sehingga para petani mengatur pola tanamnya dengan pergiliran antar tempat. Dengan pola ini mereka selalu memproduksi tapioka dan  “rasi” sebagai pangan pokok.

D.     Desa Cireundeu sebagai Desa Ketahanan Pangan
Masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi sebagai makanan pokok akibat masa sulit (paceklik) yang pernah terjadi sekitar tahun 1918. Selanjutnya  konsumsi rasi menjadi budaya makan masyarakat Cireundeu. Adapun alasan lain masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi adalah karena aliran kepercayaan/penghayat yang dianut masyarakat, yang mewajibkan pengikutnya mengkonsumsi non-beras. Namun disesuaikan dengan kondisi lingkungan (faktor ekologi) Cireundeu, pada akhirnya masyarakat memilih singkong yang diolah sebagai makanan pokoknya dan kebiasaan ini dilakukan secara turun temurun sampai sekarang. Berdasarkan hasil wawancara kepada abah Emen (Sesepuh Desa Cireundeu) dan kang Jajat (Ketua RT) mengenai nilai sosial pangan yang berkaitan dengan cita rasa, keharusan mengkonsumsi rasi, kebanggaan mengkonsumsi rasi, keputusan bertahan mengkonsumsi,  perasaan tidak suka jika ada keluarga yang beralih dari rasi, motivasi tetap mengkonsumsi rasi yang dilakukan pada tanggal 8 Maret 2016 di dapatkan kesimpulan Mengkonsumsi rasi adalah simbol identitas sebagai masyarakat. Dan pernyataan ini didasarkan pada 1) fakta bahwa rasi tidak dikonsumsi oleh seluruh masyarakat kampung Cireundeu khususnya di RW 10, 2) masyarakat mengkonsumsi rasi karena alasan kepercayaan atau keyakinan yang mewajibkan makan non beras, namun tidak semua masyarakat Cireundeu menganut kepercayaan ini, 3) kebiasaan mengkonsumsi rasi umumnya terjadi karena faktor keturunan sebagai proses sosialisasi primer dan bukan karena adanya interaksi dengan masyarakat lain atau lingkungan. Sehingga dengan alasan-alasan diatas, kebiasaan mengkonsumsi rasi pada masyarakat adat Cireundeu bisa pudar atau hilang akibat adanya pengaruh hubungan sosial atau interaksi dengan orang lain, misalnya adanya perkawinan dengan masyarakat yang mengkonsumsi beras (non rasi). Berbagai   upaya untuk memotivasi tetap mengkonsumsi rasi dari sesepuh atau tokoh kepercayaan terus ditingkatkan dan saat ini 80% keluarga kelompok rasi masih memiliki motivasi untuk mempertahankan kebiasaan mengkonsumsi rasi.
Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu seperti yang dituturkan oleh abah Emen, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare, Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo, Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup”. Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Abah Emen menuturkan, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, “wargi didieu tenterem kumargi sampeu na ge ti kebon nyalira.
Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah (Ibu dari Bapak Emen yang merupakan salah satu narasumber yang kami wawancarai), putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964. Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok. Selain tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun, jeung Basisir Jagaeun “. Petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan hutan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Saha anu wani ngarempak jagat Pasundan leuweung kahiyangan isuk jaganing pageto pati kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna sika leuweung saliara karamat tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah sirungan ka handap ulah akaran..Nu nisca kalakuan remen nigas pucuk linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun meting kawani titis galur siliwangi. Ya isun tajimalela nu rek ngajaga wana nepikeun ka pejah nyawa”. (Kata-kata ini milik paguyuban silaturahmi warga kampung Cireundeu, dilindungi undang-undang RI Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan Pidana Pasal 44 ayat 1 dan 2). Kampung Cireundeu adalah salah satu kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang telah terjadi. Sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata Program Ketahanan Pangan.

E.      Pengembangan Ekonomi Masyarakat Cireundeu dalam Mengolah Kekayaan Alam
Bagi penduduk yang mengandalkan mata pencahariannya sebagai petani, maka bentuk olahan singkong yang berupa tapioka merupakan andalan utama untuk dijual. Sedangkan rasi, merupakan hasil sampingan dalam proses pembuatan tapioka. Rasi adalah ampas (limbah padat) dari singkong setelah melalui proses penggilingan dan penyaringan. Selain itu, ada produk tambahan lain berupa “elod” yang dapat dibuat makanan semacam kerupuk (opak). Apabila singkong  basah yang diolah sebanyak 1 kwintal, maka dapat menghasilkan tapioka sebanyak 30 kg (kering) dan rasi 15 kg (kering). Lamanya proses yang diperlukan untuk membuat tapioka sekitar dua hari, karena singkong yang telah digiling dan ditambah air, masih perlu diendapkan selama satu malam, sebelum dijemur menjadi tapioka kering. Pengeringan tapioka maupun onggok masih sangat tergantung pada terik matahari.
Sehingga pada musim hujan, tapioka dan rasi yang dihasilkan kurang baik mutunya. Tapioka  kering yang dihasilkan umumnya langsung dijual kepada pedagang pengumpul yang datang dari rumah ke rumah penghasil aci. Sedangkan rasi yang dihasilkan, sebagian besar untuk konsumsi penduduk setempat, baik dikonsumsi untuk keluarga sendiri maupun dijual kepada keluarga lain atau diberikan kepada sanak keluarga yang tidak membuat rasi.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga Kampung Cireundeu dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga kampung secara signifikan dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud, agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu menghantui masyarakat kecil khususnya, dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.
Masyarakat Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidaya tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong. Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok, sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya. Masyarakat kampung Cireundeu, Cimahi juga masih mempertahankan budaya lokal bercocok tanam secara tradisional, baik dalam hal teknik bertanam hingga penggunaan pupuk alami. Selain itu mereka pun termasuk masyarakat yang mandiri pangan, yaitu menanam beragam tanaman mulai dari bahan makanan pokok, sayuran, hingga obat-obatan.
Di bidang peternakan masyarakat adat kampung Cireundeu mengusahakan ternak domba dan ayam. Misalnya Populasi ternak di kampung Cireundeu yang paling dominan adalah ternak domba yakni sekitar 100 ekor, sedangkan ternak ayam hanya sekitar 70 ekor. Hal ini karena ternak domba dapat dimanfaatkan untuk penggunaan limbah singkong berupa kulit dan daunnya sebagai makanannya.
Agroindustri yang sedang berjalan di kampung Cireundeu berupa pengolahan diversifikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong, diantaranya pembuatan rasi, kerupuk aci, opak singkong, ranggining, aci singkong, tape gendul, peuyeum mutiara, isrud, ciwel, sorandil,kecimpring, awug, katimus dan gegetuk. Saat ini dilakukan di beberapa lokasi dan rumah penduduk jadi belum ada tempat khusus/pabrik pengolahan yang tersentralisasi.
Diversifikasi produk olahan dari bahan dasar singkong segar ini dapat dibuat menjadi Beras singkong (Rasi) dan kanji. Selain itu limbah olahannya yaitu kulitnya dapat dijadikan nilai tambah yang sangat berarti untuk pakan ternak. Di Kampung Cireundeu Kota Cimahi penganekaragaman produk olahan singkong sudah berjalan selama puluhan tahun. Produk olahan tersebut mempunyai nilai jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan singkong segar hasil panen.
Dengan adanya industri pengolahan tersebut, hasil proses produksinya dapat segera tersosialisasi kepada masyarakat umum., apabila hal ini terjadi akan mendorong tumbuhnya kemandirian pangan di lingkungan keluarga, masyarakat dan akhirnya ketahanan pangan nasional dapat segera tercapai.

F.      Kehidupan Warga Desa Cireundeu dalam Bidang Pendidikan
Tingkat pendidikan sebagian besar anggota keluarga, terutama kepala keluarga dan ibu rumah tangga  pada keluarga yang mengkonsumsi rasi relatif rendah (dominan SD). Salah satu kendala dari keadaan tersebut adalah lokasi SLTP yang jauh dari pemukiman, demikian juga motivasi anggota masyarakat untuk bersekolah kejenjang yang lebih tinggi masih kurang. Kendala lain adalah transportasi dari pemukiman kejalan utama yang relatif mahal dan jumlah terbatas. Relatif rendahnya tingkat pendidikan tersebut turut mempengaruhi pola bertani dan cara pengolahan hasil pertanian yang masih sederhana, sehingga penghasilan dari sektor pertanian juga relatif rendah. Jenis pekerjaan kepala keluarga  umumnya bekerja sebagai petani, pedagang (warung kebutuhan sehari-hari), buruh tani, buruh industri tekstil, penjahit, tukang bangunan, supir, dan montir. Sedangkan pekerjaan istri, selain turut membantu bertani di kebun, berdagang, mengolah singkong menjadi tapioka (tepung aci), dan produk sampingan lain seperti ; rasi kering, kerupuk elod, rangining, opak singkong, kerupuk singkong dan kue (cookies dan egg roll). Agama yang dianut oleh masyarakat adat Kampung Cireunde adalah aliran penghayat/kepercayaan.  keluarga yang mengkonsumsi rasi, hampir seluruhnya menganut aliran kepercayaan atau penghayat. Mereka memperingati hari besar (raya) setiap tanggal 1 muharam. Makanan pokok bagi keluarga berupa rasi ini, merupakan salah satu bagian dari kepercayaan mereka, yakni pantang  makan nasi (beras).
Sumber daya manusia dalam keluarga rumah tangga, baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan faktor utama yang menentukan produktifitas seluruh kegiatan rumah tangga. Rata- rata jumlah anggota keluarga di kampung adat Cireundeu berkisar 3-4 orang, sedangkan rata-rata umur kepala keluarga kurang lebih 45 tahun dan umur ibu rumah tangga rata-rata 41 tahun. Rata- rata tingkat pendidikan kepala keluarga tamat SD (46%), tamat SMP (30%) dan tamat SMA (24%). Sedangkan tingkat pendidikan ibu rumah tangga yang tidak sekolah (2,5%), tamat SD (52,5%), tamat SMP (20%), tamat SMA (20%) dan Perguruan Tinggi (5%).  Sebaran umur penduduk pada keluarga rasi di kampung adat Cireundeu adalah sebagai berikut ; umur 0-4 tahun (9,15%), umur 5-9 tahun (6,34%), umur 10-14 tahun (14,08%), umur 15-19 tahun (7,75%), umur 20-29 tahun (9,86%), umur 30-49 tahun (36,62%) merupakan jumlah terbanyak dan umur 50- 74 tahun (16,20%).
Walaupun demikian seperti apa yang di sampaikan oleh abah Emen bahwasannya, di Desa Adat Cireundeu siapapun warganya yang melanjutkan jenjang pendidikan tidak ada larangan, bahkan ada beberapa warga yang melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Universitas.  Sama halnya seperti yang disampaikan oleh kang Jajat bahwa dalam hal pendidikan bagi warga desa di bebaskan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya, kemudian beliau merinci jumlah warga Desa Cireundeu yang berhasil lulus di Universitas, yaitu sarjana tekhnik 2 orang, sarjana matematika 4 orang, sarjana Bahasa Inggris 1 orang, Sarjana PLS 1 orang, sarjana PGSD 1 orang.


BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Terbentuknya  kebiasaan konsumsi Rasi (Beras Singkong) pada masyarakat Cireundeu dilatarbelakangi oleh kepercayaan atau keyakinan masyarakat dan hasil penyesuaian masyarakat terhadap lingkungan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan. Nilai sosial pangan masyarakat Cireundeu dicerminkan dari pengakuan seluruh masyarakat terhadap kebiasaan konsumsi Rasi dan Konsumsi Rasi (Beras Singkong) hanya merupakan simbol identitas dan tidak menunjukkan status sosial dalam masyarakat.  Dalam hal mengenyam pendidikan tak ada batasan bagi masyarakat Cireundeu untuk menuntuk ilmu samapi ke jenjang perguruan tinggi sekalipun.


Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Bumi Aksara: Jakarta
Hanafie, R. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. CV. Andi Offset: Yogyakarta. 
Sumaryanto. (2009). Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. 
Undang-Undang Pangan Republik Indonesia No 7 Tahun 1996. Harvarindo:Jakarta.  
Yoeti, Oka A. (1990). Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa: Bandung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar