KETAHANAN PANGAN DAN
PENDIDIKAN MASYARAKAT DESA CIREUNDEU - CIMAHI
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Bahasa dan Budaya Sunda
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR
ISI ............................................................................................................ ii
BAB
I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB
II
PEMBAHASAN
...................................................................................................... 3
A. Desa Cireunde ............................................................................................... 3
B. Pengertian Ketahanan Pangan ...................................................................... 3
C. Sumber Daya Alam Desa Cireunde .............................................................. 5
D. Desa Cireunde Sebagai Ketahanan Pangan .................................................. 6
E. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Cireunde
dalam Mengubah
Kekayaan
Alam.............................................................................................. 8
F. Kehidupan Warga Desa Cireundeu dalam
Bidang Pendidikan ................... 11
BAB
III
PENUTUP................................................................................................................. 12
A. Kesimpulan....................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat
Adat Cireundeu, Kota Cimahi sejak tahun 1912 telah mengonsumsi RASI (beras
ampas singkong) sebagai pangan pokok pengganti beras. Pola makan seperti ini
sudah menjadi budaya yang dipertahankan hingga saat ini. Budaya mempertahankan
kearifan lokal ini menjadikan masyarakat adat Cireundeu tidak bergantung pada
beras, sehingga ketahanan pangan di wilayah ini tidak terganggu oleh kondisi
penurunan produksi beras nasional sebagai akibat bencana alam, gagal panen atau
alih fungsi lahan. Berbeda dengan masyarakat di daerah lain yang mengalihkan
pangan pokoknya dari jagung, ubi dan sagu ke beras sebagai
dampak keberhasilan teknologi
pembenihan dan budidaya
padi pada masa
orde baru. Produksi beras yang
merosot secara nasional dan kenaikan harga pangan dunia merupakan ancaman
serius terhadap ketahanan pangan nasional. Fenomena kerawanan pangan dan gizi
masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia menunjukan bahwa kepedulian
terhadap masyarakat miskin masih memprihatinkan. Kebijakan pemerintah dengan
memberikan sediaan pangan RASKIN yang diimpor dari negara lain membuktikan
bahwa pola pikir masyarakat masih didasarkan pada pangan identik dengan beras.
Hasil observasi menunjukan bahwa eksistensi dan konsistensi pangan lokal pada
sebagian masyarakat adat di Kampung Cireunde masih dipertahankan karena
berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya dan keyakinan leluhur yang masih
dipertahankan sampai sekarang. Secara logika, nilai tersebut bisa dipelajari
dan bisa dibentuk, artinya budaya konsumsi pangan pokok singkong dan RASI dapat
diadopsi oleh daerah lain. Konsep ini dapat menjadi terobosan bijak dengan
memberdayakan seluruh masyarakat Kampung Cireundeu, termasuk masyarakat yang
‘non adat’ untuk mengembangkan budaya konsumsi pangan non beras ini. Sebagai
wujud kepedulian terhadap kondisi ketahanan pangan nasional saat ini, maka
konsep tersebut dapat diterapkan melalui pengelolaan dan penataan wilayah
Kampung Cireundeu secara terpadu dari seluruh aspek potensial kawasan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Sebab Desa Cireundeu Menjadi Desa Ketahanan Pangan?
2.
Bagaimana Pengembangan Ekonomi dalam Mengolah Kekayaan Alam
(Singkong)?
3.
Bagaimana Kehidupan Masyarakat Desa Cireundeu dalam Bidang
Pendidikan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Alasan Desa Cireundeu Menjadi Desa Ketahanan
Pangan
2.
Untuk Melihat Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam Mengolah
Kekayaan Alam (singkong)
3.
Untuk Memahami Kehidupan warga Desa Cireundeu dalam Bidang
Pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Desa Cireundeu
Cireundeu merupakan suatu perkampungan yang terletak di kelurahan Leuwigajah dan termasuk wilayah
kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi,
Jawa Barat. Sebelah utara kelurahan Leuwigajah berbatasan dengan kelurahan
Baros, sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Cibeber, sebelah Selatan
dengan Kecamatan Batujajar dan Desa Lagadar, serta sebelah barat dibatasi
Kelurahan Utama. Kelurahan Leuwigajah dibagi menjadi 16 Rukun Warga (RW).
Cireundeu termasuk dalam RW 10 dan dibagi kedalam 5 Rukun Tetangga (RT). Pada
umumnya keluarga konsumsi rasi bertempat tinggal di RT 02 dan RT 03. Letak RW
10 berbeda dengan RW lainnya, karena jauh dari jalan raya atau lalu lintas
kendaraan umum. Cireundeu dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3
kilometer dan harus melewati Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA)
Leuwigajah sepanjang lebih kurang 600
meter. Namun sejak tahun 2005 pasca bencana longsor sampah yang banyak menelan
korban jiwa, akhirnya TPA ini ditutup. Kampung
Cireundeu dapat ditempuh dari jalan utama dengan ojek (motor). Kampung
adat Cireundeu ini dikenal sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA).
Masyarakat adat kampung ini mengkonsumsi singkong/ubi kayu sebagai makanan
pokok atau yang dikenal dengan Rasi (beras singkong). Selain sebagai makanan
pokok utama, singkong ini juga diolah menjadi produk lain seperti tepung
tapioka, rangining, kecimpring, opak, kerupuk dan keripik singkong, diharapkan
penganekaragaman olahan singkong ini dapat menjadi tambahan pendapatan bagi
masyarakat kampung Cireundeu.
B.
Pengertian Ketahanan Pangan
Definisi dan paradigma ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sejak adanya
Conference of Food and Agriculture tahun 1943 yang mencanangkan konsep “secure, adequate and suitable
supply of food for every one”.
Definisi ketahanan pangan sangat
bervariasi, namun umumnya mengacu
definisi dari Bank Dunia (1986) dan Maxwell dan Frankenberger (1992) yakni
“akses semua orang setiap saat pada
pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient
food for a healthy life). Studi
pustaka yang dilakukan oleh IFPRI
(1999) diperkirakan terdapat 200
definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingärtner, 2000). Berikut disajikan beberapa definisi
ketahanan yang sering diacu :
1.
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996: kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
2.
USAID (1992): kondisi
ketika semua orang
pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan
ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan
produktif.
3.
FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik
fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana
rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
4.
FIVIMS (2005): kondisi
ketika semua orang
pada segala waktu secara
fisik, sosial dan ekonomi
memiliki akses pada pangan yang
cukup, aman dan bergizi
untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai
dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat.
5.
Mercy Corps (2007): keadaan ketika
semua orang pada setiap saat
mempunyai akses fisik, sosial,
dan ekonomi terhadap terhadap
kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk kebutuhan gizi sesuai dengan
seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Berdasarkan
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan pangan memiliki 5
unsur yang harus dipenuhi :
1.
Berorientasi pada rumah tangga dan individu
2.
Dimensi watu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses
3.
Menekankan pada akses pangan
rumah tangga dan individu, baik fisik,ekonomi dan sosial
4.
Berorientasi pada pemenuhan gizi
5.
Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif
Di
Indonesia sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1996,
pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari: (1)tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah
maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian
tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut:
a.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup,
diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal
dari tanaman,ternak,dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak,vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi
pertumbuhan kesehatan manusia.
b.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama.
c.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan
yang harus tersedia setiap saat dan
merata di seluruh tanah air.
d.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan
mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
C.
Sumber Daya Alam Desa Cireundeu
Penanaman ubi kayu (singkong) oleh masyarakat Cireundeu dilakukan
dilereng- lereng bukit, yang merupakan lahan kering (kebun). Selain
singkong sebagai tanaman utama,
masyarakat umumnya juga menanam pisang, pepaya, dan nangka yang lebih banyak
dikonsumsi oleh masyarakat setempat serta tanaman albasia. Pada umumnya, terutama petani, memiliki
ternak domba, ayam atau bebek, dan kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk
organik tanaman singkong atau tanaman lainnya. Singkong dipanen setahun sekali
(umur 11 – 12 bulan), sehingga para petani mengatur pola tanamnya dengan
pergiliran antar tempat. Dengan pola ini mereka selalu memproduksi tapioka
dan “rasi” sebagai pangan pokok.
D.
Desa Cireundeu sebagai Desa Ketahanan Pangan
Masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi sebagai makanan pokok akibat
masa sulit (paceklik) yang pernah terjadi sekitar tahun 1918. Selanjutnya konsumsi rasi menjadi budaya makan masyarakat
Cireundeu. Adapun alasan lain masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi adalah
karena aliran kepercayaan/penghayat yang dianut masyarakat, yang mewajibkan
pengikutnya mengkonsumsi non-beras. Namun disesuaikan dengan kondisi lingkungan
(faktor ekologi) Cireundeu, pada akhirnya masyarakat memilih singkong yang
diolah sebagai makanan pokoknya dan kebiasaan ini dilakukan secara turun
temurun sampai sekarang. Berdasarkan hasil wawancara kepada abah Emen (Sesepuh
Desa Cireundeu) dan kang Jajat (Ketua RT) mengenai nilai sosial pangan yang
berkaitan dengan cita rasa, keharusan mengkonsumsi rasi, kebanggaan
mengkonsumsi rasi, keputusan bertahan mengkonsumsi, perasaan tidak suka jika ada keluarga yang
beralih dari rasi, motivasi tetap mengkonsumsi rasi yang dilakukan pada tanggal
8 Maret 2016 di dapatkan kesimpulan Mengkonsumsi rasi adalah simbol identitas
sebagai masyarakat. Dan pernyataan ini didasarkan pada 1) fakta bahwa rasi
tidak dikonsumsi oleh seluruh masyarakat kampung Cireundeu khususnya di RW 10,
2) masyarakat mengkonsumsi rasi karena alasan kepercayaan atau keyakinan yang
mewajibkan makan non beras, namun tidak semua masyarakat Cireundeu menganut
kepercayaan ini, 3) kebiasaan mengkonsumsi rasi umumnya terjadi karena faktor
keturunan sebagai proses sosialisasi primer dan bukan karena adanya interaksi
dengan masyarakat lain atau lingkungan. Sehingga dengan alasan-alasan diatas, kebiasaan
mengkonsumsi rasi pada masyarakat adat Cireundeu bisa pudar atau hilang akibat
adanya pengaruh hubungan sosial atau interaksi dengan orang lain, misalnya
adanya perkawinan dengan masyarakat yang mengkonsumsi beras (non rasi).
Berbagai upaya untuk memotivasi tetap
mengkonsumsi rasi dari sesepuh atau tokoh kepercayaan terus ditingkatkan dan
saat ini 80% keluarga kelompok rasi masih memiliki motivasi untuk mempertahankan
kebiasaan mengkonsumsi rasi.
Masyarakat
Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu
memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak
terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan
kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“.
Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu seperti yang dituturkan oleh
abah Emen, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare, Teu nanaon
teu boga pare ge asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo,
Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal
bisa hirup”. Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak
memakan nasi melainkan singkong. Abah Emen menuturkan, jika orang Cireundeu
tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana
orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, “wargi didieu
tenterem kumargi sampeu na ge ti kebon nyalira.
Beralihnya
makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi
singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah
(Ibu dari Bapak Emen yang merupakan salah satu narasumber yang kami wawancarai),
putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung
Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini,
berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan
suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964. Pada
masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok
singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering
diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten
Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat
dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada
umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok. Selain tersebut
diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan
dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya
terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga,
sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan
lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Gunung Kaian, Gawir Awian,
Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak
Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun,
jeung Basisir Jagaeun “. Petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan
melestarikan alam dan hutan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Saha anu
wani ngarempak jagat Pasundan leuweung kahiyangan isuk jaganing pageto pati
kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna sika leuweung saliara karamat tutupan
hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah sirungan ka handap ulah akaran..Nu nisca
kalakuan remen nigas pucuk linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana
dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun meting kawani titis galur siliwangi. Ya
isun tajimalela nu rek ngajaga wana nepikeun ka pejah nyawa”. (Kata-kata
ini milik paguyuban silaturahmi warga kampung Cireundeu, dilindungi
undang-undang RI Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan Pidana Pasal 44 ayat 1
dan 2). Kampung Cireundeu adalah salah satu kampung yang sebagian besar
penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan
pokok sehari-hari. Singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan
warganya dari krisis pangan yang telah terjadi. Sampai saat ini belum pernah
terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di
kampung Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat
dijadikan sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai
bukti nyata Program Ketahanan Pangan.
E.
Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Cireundeu dalam Mengolah Kekayaan Alam
Bagi penduduk yang mengandalkan mata pencahariannya
sebagai petani, maka bentuk olahan singkong yang berupa tapioka merupakan
andalan utama untuk dijual. Sedangkan rasi, merupakan hasil sampingan dalam
proses pembuatan tapioka. Rasi adalah ampas (limbah padat) dari singkong
setelah melalui proses penggilingan dan penyaringan. Selain itu, ada produk
tambahan lain berupa “elod” yang dapat dibuat makanan semacam kerupuk (opak).
Apabila singkong basah yang diolah
sebanyak 1 kwintal, maka dapat menghasilkan tapioka sebanyak 30 kg (kering) dan
rasi 15 kg (kering). Lamanya proses yang diperlukan untuk membuat tapioka
sekitar dua hari, karena singkong yang telah digiling dan ditambah air, masih
perlu diendapkan selama satu malam, sebelum dijemur menjadi tapioka kering.
Pengeringan tapioka maupun onggok masih sangat tergantung pada terik matahari.
Sehingga pada musim hujan, tapioka dan rasi yang
dihasilkan kurang baik mutunya. Tapioka
kering yang dihasilkan umumnya langsung dijual kepada pedagang pengumpul
yang datang dari rumah ke rumah penghasil aci. Sedangkan rasi yang dihasilkan,
sebagian besar untuk konsumsi penduduk setempat, baik dikonsumsi untuk keluarga
sendiri maupun dijual kepada keluarga lain atau diberikan kepada sanak keluarga
yang tidak membuat rasi.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga Kampung Cireundeu dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga kampung secara signifikan dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud, agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu menghantui masyarakat kecil khususnya, dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga Kampung Cireundeu dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga kampung secara signifikan dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud, agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu menghantui masyarakat kecil khususnya, dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.
Masyarakat Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa
dengan kegiatan budidaya tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan
yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong.
Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian
masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian
penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal
makanan pokok, sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga
beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang
kekurangan, dalam hal mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi
ekonominya tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya. Masyarakat kampung
Cireundeu, Cimahi juga masih mempertahankan budaya lokal bercocok tanam secara
tradisional, baik dalam hal teknik bertanam hingga penggunaan pupuk alami.
Selain itu mereka pun termasuk masyarakat yang mandiri pangan, yaitu menanam
beragam tanaman mulai dari bahan makanan pokok, sayuran, hingga obat-obatan.
Di bidang peternakan masyarakat adat kampung Cireundeu mengusahakan ternak domba dan ayam. Misalnya Populasi ternak di kampung Cireundeu yang paling dominan adalah ternak domba yakni sekitar 100 ekor, sedangkan ternak ayam hanya sekitar 70 ekor. Hal ini karena ternak domba dapat dimanfaatkan untuk penggunaan limbah singkong berupa kulit dan daunnya sebagai makanannya.
Di bidang peternakan masyarakat adat kampung Cireundeu mengusahakan ternak domba dan ayam. Misalnya Populasi ternak di kampung Cireundeu yang paling dominan adalah ternak domba yakni sekitar 100 ekor, sedangkan ternak ayam hanya sekitar 70 ekor. Hal ini karena ternak domba dapat dimanfaatkan untuk penggunaan limbah singkong berupa kulit dan daunnya sebagai makanannya.
Agroindustri yang sedang berjalan di kampung Cireundeu
berupa pengolahan diversifikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong,
diantaranya pembuatan rasi, kerupuk aci, opak singkong, ranggining, aci
singkong, tape gendul, peuyeum mutiara, isrud, ciwel, sorandil,kecimpring,
awug, katimus dan gegetuk. Saat ini dilakukan di beberapa lokasi dan rumah
penduduk jadi belum ada tempat khusus/pabrik pengolahan yang tersentralisasi.
Diversifikasi produk olahan dari bahan dasar singkong
segar ini dapat dibuat menjadi Beras singkong (Rasi) dan kanji. Selain itu
limbah olahannya yaitu kulitnya dapat dijadikan nilai tambah yang sangat
berarti untuk pakan ternak. Di Kampung Cireundeu Kota Cimahi penganekaragaman
produk olahan singkong sudah berjalan selama puluhan tahun. Produk olahan
tersebut mempunyai nilai jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
singkong segar hasil panen.
Dengan adanya industri pengolahan tersebut, hasil
proses produksinya dapat segera tersosialisasi kepada masyarakat umum., apabila
hal ini terjadi akan mendorong tumbuhnya kemandirian pangan di lingkungan
keluarga, masyarakat dan akhirnya ketahanan pangan nasional dapat segera
tercapai.
F.
Kehidupan Warga Desa Cireundeu dalam Bidang Pendidikan
Tingkat pendidikan sebagian besar anggota keluarga, terutama kepala
keluarga dan ibu rumah tangga pada
keluarga yang mengkonsumsi rasi relatif rendah (dominan SD). Salah satu kendala
dari keadaan tersebut adalah lokasi SLTP yang jauh dari pemukiman, demikian
juga motivasi anggota masyarakat untuk bersekolah kejenjang yang lebih tinggi
masih kurang. Kendala lain adalah transportasi dari pemukiman kejalan utama yang
relatif mahal dan jumlah terbatas. Relatif rendahnya tingkat pendidikan
tersebut turut mempengaruhi pola bertani dan cara pengolahan hasil pertanian
yang masih sederhana, sehingga penghasilan dari sektor pertanian juga relatif
rendah. Jenis pekerjaan kepala keluarga
umumnya bekerja sebagai petani, pedagang (warung kebutuhan sehari-hari),
buruh tani, buruh industri tekstil, penjahit, tukang bangunan, supir, dan
montir. Sedangkan pekerjaan istri, selain turut membantu bertani di kebun,
berdagang, mengolah singkong menjadi tapioka (tepung aci), dan produk sampingan
lain seperti ; rasi kering, kerupuk elod, rangining, opak singkong, kerupuk
singkong dan kue (cookies dan egg roll). Agama yang dianut oleh masyarakat adat
Kampung Cireunde adalah aliran penghayat/kepercayaan. keluarga yang mengkonsumsi rasi, hampir
seluruhnya menganut aliran kepercayaan atau penghayat. Mereka memperingati hari
besar (raya) setiap tanggal 1 muharam. Makanan pokok bagi keluarga berupa rasi
ini, merupakan salah satu bagian dari kepercayaan mereka, yakni pantang makan nasi (beras).
Sumber daya manusia dalam keluarga rumah tangga, baik secara
kuantitas maupun kualitas merupakan faktor utama yang menentukan produktifitas
seluruh kegiatan rumah tangga. Rata- rata jumlah anggota keluarga di kampung
adat Cireundeu berkisar 3-4 orang, sedangkan rata-rata umur kepala keluarga
kurang lebih 45 tahun dan umur ibu rumah tangga rata-rata 41 tahun. Rata- rata
tingkat pendidikan kepala keluarga tamat SD (46%), tamat SMP (30%) dan tamat
SMA (24%). Sedangkan tingkat pendidikan ibu rumah tangga yang tidak sekolah
(2,5%), tamat SD (52,5%), tamat SMP (20%), tamat SMA (20%) dan Perguruan Tinggi
(5%). Sebaran umur penduduk pada
keluarga rasi di kampung adat Cireundeu adalah sebagai berikut ; umur 0-4 tahun
(9,15%), umur 5-9 tahun (6,34%), umur 10-14 tahun (14,08%), umur 15-19 tahun
(7,75%), umur 20-29 tahun (9,86%), umur 30-49 tahun (36,62%) merupakan jumlah
terbanyak dan umur 50- 74 tahun (16,20%).
Walaupun demikian seperti apa yang di sampaikan oleh abah Emen
bahwasannya, di Desa Adat Cireundeu siapapun warganya yang melanjutkan jenjang
pendidikan tidak ada larangan, bahkan ada beberapa warga yang melanjutkan
pendidikan hingga ke jenjang Universitas.
Sama halnya seperti yang disampaikan oleh kang Jajat bahwa dalam hal
pendidikan bagi warga desa di bebaskan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya,
kemudian beliau merinci jumlah warga Desa Cireundeu yang berhasil lulus di
Universitas, yaitu sarjana tekhnik 2 orang, sarjana matematika 4 orang, sarjana
Bahasa Inggris 1 orang, Sarjana PLS 1 orang, sarjana PGSD 1 orang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terbentuknya kebiasaan konsumsi Rasi (Beras Singkong) pada
masyarakat Cireundeu dilatarbelakangi oleh kepercayaan atau keyakinan
masyarakat dan hasil penyesuaian masyarakat terhadap lingkungan untuk mengatasi
masalah kerawanan pangan. Nilai sosial pangan masyarakat Cireundeu dicerminkan
dari pengakuan seluruh masyarakat terhadap kebiasaan konsumsi Rasi dan Konsumsi
Rasi (Beras Singkong) hanya merupakan simbol identitas dan tidak menunjukkan
status sosial dalam masyarakat. Dalam
hal mengenyam pendidikan tak ada batasan bagi masyarakat Cireundeu untuk
menuntuk ilmu samapi ke jenjang perguruan tinggi sekalipun.
Daftar Pustaka
Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Bumi
Aksara: Jakarta
Hanafie, R. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. CV. Andi
Offset: Yogyakarta.
Sumaryanto. (2009). Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar
Ketahanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Departemen Pertanian. Bogor.
Undang-Undang Pangan Republik Indonesia No 7 Tahun 1996.
Harvarindo:Jakarta.
Yoeti, Oka A. (1990). Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa:
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar