Jumat, 24 Februari 2017

Makalah Hadits Dhoif
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Ulumul Hadits Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Bimbingan Konseling Islam kelas D


Disusun oleh Kelompok I :

Rani Anggraeni                       1144010149               (Notulen)
Resya Ayu Pertiwi                  1144010154               (Narasumber)
Ridha Syahida Imanisalma Z  1144010155               (Narasumber)
Rizki Nugroho                         1144010164               (Moderator)
Yusuf Amirullah                       1144010195               (Notulen)


Universitas Islam Negeri  Sunan Gunung Djati BANDUNG

Jl. AH Nasution No. 105 Bandung Telp. 022-7800525/Fax.022-7803936, email: contact.uin@uinsgd.ac.id

KATA PENGANTAR
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj04UqYhLLO9-pQK1r0xxWPAejSpg_lXft2x9yjVu4OWB76SaWcuBATkAhR32oQMTcGur6UeRHnEWjUhUHE8NBilPm500MUe4D-AJv5Jk7t5bFMLjCsucu0ONlCwsqRvUsfVR1WJ9Gyud8/s912/bismillahirrahmanirrahim.png

Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana memberikan banyak kenikmatan bagi kita semua sebagai makhluknya yang penuh dengan kesalahan  sehingga hari ini atas kehendak-Nya jugalah makalah ini dapat terselesaikan.
Tidak lupa pula shalawat dan salam kami hantarkan pada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya keislaman, ketauhidan dan intelektualitas pada kami semua.
Ucapan terimah kasih kami ucapkan kepada segenap sahabat maupun teman-teman sekalian yang ikut berperan serta atas terselesainya makalah ini sebagai syarat tugas yang diberikan oleh dosen untuk kelompok kami.
Permintaan maaf yang sebesar-besarnya kami ucapkan, apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan, karena kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajalla. Dan hanya kepada Nya lah penulis memohon petunjuk dan kepada-Nya lah kembali segala urusan.

Amien ya Rabbal ‘Alamien

Bandung, 13 September 2014



               Penulis,            




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................         i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ....... ii
BAB I   PENGERTIAN HADITS DHO’IF DAN SEBAB DITOLAKNYA   1
1.1         Pengertian Hadits Dho’if ......................................................... ....... 1
1.2         Sebab Ditolaknya Hadits ......................................................... ....... 2
BAB II  PEMBAGIAN HADITS DHO’IF ................................................. ....... 3
2.1  Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi ........................................... ....... 3
2.2  Hadits Dha’if karena Cacat Rawi atau Matannya ........................ ....... 5
BAB III     ................ KEHUJJAHAN HADITS DHO’IF ......................... ....... 9
3.1  K                                                                                                     ehujjahan hadits dho’if                    9
BAB IV        KESIMPULAN  ...........................................................................                  11
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN






BAB I
PENGERTIAN HADITS DHO’IF DAN SEBAB DITOLAKNYA
1.1  Pengertian Hadits Dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat, berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.
Hadits Dha’if menurut istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak di dapati syarat hadits shahih dan tidak pula didapati hadits hasan.
Yang dimaksud dengan hadits dha’if ialah hadits yang tidak memiliki salah satu syarat atau lebih dari syarat Hadits Shahih dan Hadits Hasan.
Dengan kaidah ini, sesungguhnya sesuatu hadits itu di anggap dhai’if, selama belum dapat dibuktikan keshahian atau kehasanannya. Sebab, yang diharuskan disini untuk memenuhi syarat-syarat tertentu adalah hadits shahih dan hadits hasan, serta bukan hadits dha’if. Tetapi, ulama hadits dalam membicarakan kualitas suatu hadits. Telah berusaha pula untuk membuktikan/menjelaskan letak kedha’ifannya, bila hadits yang bersangkutan dinyatakan dha’if, sebab dengan demikian akan menjadi jelas berat ringannya kekurangan atau cacat yang dimiliki oleh hadist itu. Atas dasar penelitian yang demikian ini pula, maka dimungkinkan suatu hadist yang kualitasnya dha’if, lalu dapat meningkat kepada kualitas hasan li-ghairih.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan demikianlah, sehingga kedha’ifan suatu hadits menuntut untuk di bahas dan dibuktikan, sebagaimana tuntutan untuk di bahas dan dibuktikan bagi hadits yang dinyatakan shahih atau hasan.
Sedangkan menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Sedangkan Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya: “yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya: “hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.

1.2  Sebab Ditolaknya Hadits

a.       Terputus Sanadnya ( ﺍﻻﺴﺎﻨﻴﺪ  ﻤﻦ ﺴﻘﻄ (
Sebab-sebab terputus sanadnya :  
1.      Tidak bertemu rawi dengan gurunya
2.      Tidak sezaman
3.      Sezaman tidak bertemu

b.      Cacat Rowinya (ﻔﻰ ﺍﻠﺮﻮﺍﻱ  ﻄﻌﻦ )
·         Karna keadilannya :
1.      Bohong ( ﺍﻠﻜﺬﺐ )
2.      Tertuduh berdusta ( ﺘﻬﻤﺔ ﺒﺍﻠﻜﺬﺐ )
3.      Fasik ( ﺍﻠﻔﺴﻖ )
4.      Bid’ah ( ﺍﻠﺒﺩﻋﺔ )
5.      Tidak dikenal
·         Karna kedhabitannya :
1.      Banyak salah ( ﻔﺨﺶﺍﻠﻐﻠﻄ )
2.      Jelek hafalan  (  ﺴﺆﺍﻠﺤﻔﻇ )
3.      Banyak perkiraan ( ﻜﺜﻴﺮﺓ ﺍﻻﻮﻫﺎﻢ )
4.      Lalai ( ﺍﻠﻐﻔﻠﺔ )
5.      Bertentangan dengan yang lebih kuat ( ﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺍﻠﺜﻗﺔ )





BAB II
PEMBAGIAN HADITS DHA’IF
Hadits dhaif sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak sesederhana pembagian hadits shahih maupun hasan. Oleh karena itu ada ulama ahli hadits yang membagi hadits dhoif menjadi 42 macam, 63 macam, 81 macam bahkan ada yang sampai 129 macam.
Sebab kedhaifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad, yaitu terputusnya sanad. Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat Sahabat, Tabi’in, maupun tingkat sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya satu tingkat ataupun lebih.  Dan disebabkan oleh cacat pada perawinya.
2.1 Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi (Terputus Sanad)
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa perawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad, baik pada permulaan, pertengahan atau akhir sanadnya.
A.    Hadits Mu’allaq
Hadits yang terputus diawal sanadnya, seorang atau lebih, secara berturut-turut. Didalam Shahih Al Bukhary banyak terdapat hadits mu’allaq tetapi diberi hukum muttashil, walaupun derajatnya dipandang tidak setingkat dengan yang muttashil sendiri, kecuali jika ada disana akan pada tempat yang lain.
Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda :
لاتقاضلوابين الأنبياء (رواه البخارى)
Artinya: “Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)

B.     Hadits Mu’dhal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama memberi batasan hadits mudal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya, baik sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
Contohnya: telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
 للملوك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك)
Artinya: “Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik”. (HR. Malik)

C.    Hadits Munqathi
Menurut bahasa, hadits munqati’ berarti hadits yang terputus. Para ulama’ memberikan batasan hadits munqati’ ialah hadist yang gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanadnya adalah tabi’in. artinya hadits munqati’ itu bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur tapi minimal gugur seorang tabi’in. (Hadits yang terputus rawinya pada sanad sebelum sahabat, disuatu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.)
Contoh hadits munqati’ :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم : إ ذا دخل المسحد قال : بسم الله والسلام على رسول الله اللهم غفرلى ذنوبى وافتح لى ابواب رحمتك. (رواه ابن ماجه)
Artinya : “Rasulullah SAW, bila masuk ke dalam masjid membaca: dengan nama Allah dan sejahteralah atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukanlah bagiku segala pintu rahmat-MU”. (HR. Ibnu Majah)

D.    Hadits Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi SAW. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..” (Hadits yang terputus sanadnya, seorang setelah Tabi’in).
Para ulama’ memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.  Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman dari Harmalah dan dari Said bin Mutsayyab. Bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله وسلم : بيننا وبين المنافقين شهود لعشاء والصبح لا يستطيعون (رواه ماللك)
Artinya : “Rasulullah bersabda: antara kita dengan kaum munafik (ada batas) yaitu menghadiri jamaah Isya’ dan subuh, mereka tidak masuk menghadirinya”. (HR. Imam Malik).
Hadits ini mursal karena, siapa yang sahabat nabi yang yang meriwayatkan hadits ini kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad di atas.

2.2 Hadits Dha’if karena Cacat Rawi atau Matannya

A.    Hadits Maudlu
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW baik sabdanya, perbuatannya, taqrirnya, atau yang lainnya. Baik hal tersebut disengaja atau pun tidak (hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta). Contoh:
لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya: “Anak zina  tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah QS. Al-An’am ayat 164 : “Katakanlah : "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."

B.     Hadits Matruk
Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan. Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, yang menurut penilaan seluruh ahli hadits terdapat catatang pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan. Atau dengan kata lain hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu dalam periwayatan.

C.    Hadits Munkar
Hadits munkar ialah
1.      Hadits yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
2.      Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak tsiqah (dha’if) berlawanan dengan riwayat yang tsiqah(terpercaya).
(hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsiqah).  Contoh:
من اقام الصلاة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة (رواه بن ابى حاتم)
Artinya: “barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.

D.    Hadits Ma’ruf
Suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah serta menentang riwayat yang lebih lemah.

E.     Hadits Syad
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (kuat) menyalahi riwayat yang rajih (lebih kuat). Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب (رواه موسى بن على)
Artinya: “hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”

F.     Hadits Mahfud
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi tsiqah (shahih/hasan), tetapimenyalahi riwayat kepercayaan lain yang kurang kuat.


G.    Hadits Mu’alal
Hadits yang nampaknya selamat, setelah diadakan penelitian dan penyelidikan tampak adanya illat qadihah (cacat) dalam sanad atau matannya.
Untuk menemukan illat (cacat) hadist ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab ‘ilat itu sendiri tidak tampak, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadist. Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرقا
Artinya: “Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”

H.    Hadits Maqlub
Hadits yang bertukar padanya terhadap seseorang perawi sebagian matannya atau nama seseorang perawi pada sanad nya atau sesuatu sanad buat matannya yang lain.
Maksudnya perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan serta meletakkan sesuatu di tempat yang lain. Contoh maqlub pada matan adalah hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani :
 قال رسول الله ص.م. اذا امرتكم بشئ فأتوهواذا نهيتكم عن شئ فاجتنيبوه ما استطعتم. (رواه الطبرانى)
Artinya : “Rasululah bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah dia, apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia sesuai dengan kesangupanmu”. (HR. Thabrani)
Sedangkan dalam hadits Buhkari dan Muslim, matan hadist di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda, yaitu :
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ص.م. يقول: ما بهيتكم عنه فاجتنبوه وما امرتكم به فافعلوه ما استطعتم. (رواه البجارى ومسلم)
Artinya : “dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : apa-apa yang kami cegah dari kamu semua maka jauhilah dan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu sekalian perbuatlah menurut kemampuanmu”. (HR. Bukhori-Muslim)
   
I.       Hadits Mudhtorib
Hadits yang diriwayatkan atas beberapa cara yang berlainan. Yang satu menolak yang lain, sedangkan dia sederajat dalam perbedaannya, dalam arti tidak kuat salah satunya atas yang lainnya. Tidak mungkin dikumpulkan antara perowi yang satu dengan yang lainnya (seorang perawi/ lebih dengan beberapa jalan yang berbeda-beda yang tidak mungkin dapat dikumpulkan/ ditarjihkan).

J.      Hadits Mushahaf
Hadits yang bertentangannya di karenakan perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah/tetap. Hadits ini adalah hadits yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain). Contoh hadits Mushahhaf (fil matan), ialah hadits Abu Ayyub Al-Anshary :
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(مَنْ صَامَ رَ مَضَانَ وَاَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَا ماِالرَّهْر).
Artinya : “Nabi saw. bersabda: ‘siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa.”
Perkataan sittan yang artinya enam, oleh Abu Bakar As-Shauly diubah dengan syai-an, yang berarti sedikit. Dengan demikian rusaklah makna karenanya.

K.    Hadits Muharraf
Hadits Muharraf adalah hadits yang mukhalafahnya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata, tetapi bentuk tulisannya tetap. Misalnya kalimat Basyir dibaca dengan Busyair dan kalimat Nashir dibaca dengan Nushair.




BAB III
KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF

3.1 Kehujjahan Hadits Dho’if
Adapun tentang hadits dha’if, ada dua pendapat tentang boleh atau tiudaknya diamalkan, atau dijadikan hujjah. Yakni :
1. Imam bukhari, Muslim, Ibnu Hasm dan Abu Bakar Ibnul Araby menyatakan,hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan atau jadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hokum maupun untuk keutamaan amal.
2. Abu Dawud dan Imam Ahmad mereka berpendapat, hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadlailul amal atau dalam masalah hukum, karena bahwasannya hadits dhaif itu lebih kuat kedudukannya dari pada para pendapat ulama.
3. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’ilul’amal), dengan syarat:
a. Para rawi yang meriwayatkan hadits itu, tidak terlalu lemah.
b. Maslah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-qur’an dan hadits shahih.
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
            Prof T. M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan “fadlalluamal” atau keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti untuk menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari sesuatu amal. Adapun yang berhubungan dengan penetapan hukum, demikian prof. Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat tidak membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.
Dokter Muhammad Ajjaj Al-Khattib menyatakan, bahwa golongan yang menolak hadits dha’if sebagai hujjah adalah golongan yang lebih selamat. Diantara alasannya, bahwa baik soal fadla’ilul’amal, maupun soal maqrimul ahlaq, merupakan bagian dari tiang agama, sebagaimana halnya masalah hokum karena itu, hadits yang dapat dijadikan hujjah untuk menetapkannya, haruslah hadits yang berkualitas shahih atau hasan dan yang bukan berkualitas Dha’if.
Dengan pendapat para ulama tersebut dapat disimpulkan, bahwa memang sangat perlu untuk mengetahui kualitas suatu hadits agar terhindar dari pengalaman agama atau pengungkapan dalil agama berdasarkan hadits dha’if.



BAB IV

PENUTUP


Kesimpulan

            Hadits dha’if pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, jika di bandingkan dengan hadits shahih dan hasan.




DAFTAR PUSTAKA

Masaroh Amien, Imas
            2011    Ilmu Hadits




LAMPIRAN
·       Foto
Description: E:\TUGAS\matkul ulumul hadits\makalah ulumul hadits (hadits dho'if)\IMG-20140911-01206.jpg                                     



·       Tanya Jawab

1.      Restu
T : Bagaimana cara mudah untuk membedakan hadits shahih dan dha’if?
J : Cara mudah untuk membedakan hadits shahih dan hadits dho’if, jika hadits shohih makan lihat yang meriwayatkannya, apabila yang meriwayatkannya Bukhari-Muslim itu sudah pasti hadits mereka itu shahih. Untuk membedakan hadits dha’if nya, jika selain bukhari-muslim mau tidak mau harus diteliti dulu sanad serta matan nya.

2.      Suci
T : Apa dampak yang terjadi dari hadits dho’if jika diamalkan, dan apakah hadits dhoif itu bisa diamalkan atau tidak?
J : terdapat 3 pendapat, yaitu 1). Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau dalam hukum dan sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in (pendapat : Abu Bakar Ibnu Al-Arobi, Bukhori, Muslim dan Ibnu Hazam). 2). Hadits Dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadlailul amal atau dalam masalah hukum. Karena hadits dha’if lebih kuat dari pada pendapat para ulama (pendapat : Abu Dawud dan Imam Ahmad). 3). Hadits dhoif dapat diamalkan dalam fadlailul amal, targhib/janji-janji yang menggemarkan, tarhib/ ancaman yang menakutkan (pendapat Ibnu Hajar Al-Ashqani). Dampaknya itu jika kita mengamalkan suatu hadits dhoif dikhawatirkan hadits tersebut bertentangan dengan al-qur’an walaupun yang dikhobarkannya itu sesuatu yang positif.

3.      Yuli
T : Mengapa rawi yang tertuduh berdusta termasuk faktor hadits dha’if?
J : Karena seorang rawi yang tertuduh melakukan perbuatan tidak baik mencerminkan dalam kebaikan dalam sifat dan tingkah lakunya sehari-hari tidak dapat dipercayadan diyakinin apapun yang disampaikannya.

4.      Suhartinah
T : Siapakah yang menentukan suatu hadits itu disebutkan dhoif atau shahih?
J : Semua orang juga bisa asalkan memiliki syarat mempunyai ilmu dan mampu mentakhrij hadits tersebut.

5.      Reni
T : Bagaimana cara membedakan hadits itu palsu atau tidak?
J : Banyak cara untuk bisa mengetahui hadits palsu atau tidak adalah dengan melihat makna hadits tersebut rusak ataukah batil yaitu dengan memastikan bahwa makna hadits tersebut masuk akal ataukah tidak, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan kebenaran yang sudah dapat dipastikan secara ilmiah/historis, bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat atau bertentangan dengan ayat al-Qur’an.


6.      Regi
T : Apakah hadits dho’if wajib diketahui oleh ummat islam? Lalu, bagaimana cara membedakan perbandingan hadits shahih dan dha’if ?
J : Ummat islam itu wajib mengetahui hadits dho’if karena hadits tersebut termasuk hadits mardud (ditolak). Dan jika umat islam khususnya orang awwam lihatlah dari segi matannya apakah menyeleweng dengan al-qur’an dan apakah bertolak belakang dengan hadits yg sudah termasyhur shahih. Dan untuk membedakannya , jika hadits shohih makan lihat yang meriwayatkannya, apabila yang meriwayatkannya Bukhari-Muslim itu sudah pasti hadits mereka itu shahih. Untuk membedakan hadits dha’if nya, jika selain bukhari-muslim mau tidak mau harus diteliti dulu sanad serta matan nya.

7.      Risma
T : Apakah hadits itu dijadikan hujjah sebagai habluminnAllah wa hablumminannas ?
J : Hadits dhoif tidak dapat dijadikan hujjah karena termasuk kedalam golongan hadits mardud (ditolak).

8.      Ramdan
T : Apakah ada tanggapan rasul tentang hadits ma’udu dan apakah ada dalilnya?
J : ada hadits maudhu yang bertentangan dengan ijma, “Bahwa Rasulullah SAW memegang tangan Ali bin abi Thalib ra. di hadapan para sahabat seluruhnya, yang baru kembali dari haji wada’ kemudian Rasulullah saw membangkitka Ali bin Abi Thalib, sehingga para sahabat mengetahui semuanya. Lalu, beliau bersabda : “ ini adalah wasiatku dan saudaraku, serta khalifah setelah saya mati. Oleh karena itu dengarkanlah dan taatilah ia”.

9.      Yanti
T : Hadits yang terdapat rawinya cacat, mengapa dapat menjadi cacat ?
J : Karena raowi tersebut memiliki ciri-ciri dari 5 faktor kecacatan rowi dalam kedhabitannya ataupun dari 5 faktor kecacatan rawi dalam keadilannya, seperti yg tadi dijelaskan dalam diskusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar