Makalah Hadits Dhoif
Diajukan
untuk memenuhi tugas terstruktur Ulumul Hadits Fakultas Dakwah dan Komunikasi
jurusan Bimbingan Konseling Islam kelas D
Disusun
oleh Kelompok I :
Rani Anggraeni 1144010149 (Notulen)
Resya Ayu Pertiwi 1144010154 (Narasumber)
Ridha Syahida
Imanisalma Z 1144010155 (Narasumber)
Rizki Nugroho
1144010164 (Moderator)
Yusuf
Amirullah 1144010195 (Notulen)
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati BANDUNG
Jl. AH Nasution No. 105 Bandung Telp.
022-7800525/Fax.022-7803936, email: contact.uin@uinsgd.ac.id
KATA
PENGANTAR
Puji
serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana memberikan
banyak kenikmatan bagi kita semua sebagai makhluknya yang penuh dengan
kesalahan sehingga hari ini atas
kehendak-Nya jugalah makalah ini dapat terselesaikan.
Tidak
lupa pula shalawat dan salam kami hantarkan pada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya keislaman, ketauhidan dan
intelektualitas pada kami semua.
Ucapan
terimah kasih kami ucapkan kepada segenap sahabat maupun teman-teman sekalian
yang ikut berperan serta atas terselesainya makalah ini sebagai syarat tugas
yang diberikan oleh dosen untuk kelompok kami.
Permintaan
maaf yang sebesar-besarnya kami ucapkan, apabila terdapat kesalahan dan
kekhilafan, karena kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajalla. Dan hanya
kepada Nya lah penulis memohon petunjuk dan kepada-Nya lah kembali segala
urusan.
Amien
ya Rabbal ‘Alamien
Bandung, 13
September 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ....... ii
BAB I PENGERTIAN HADITS DHO’IF DAN SEBAB DITOLAKNYA 1
1.1
Pengertian Hadits
Dho’if ......................................................... ....... 1
1.2
Sebab Ditolaknya
Hadits ......................................................... ....... 2
BAB II PEMBAGIAN HADITS DHO’IF ................................................. ....... 3
2.1 Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi
........................................... ....... 3
2.2 Hadits Dha’if karena Cacat Rawi atau Matannya
........................ ....... 5
BAB III ................ KEHUJJAHAN
HADITS DHO’IF
......................... ....... 9
3.1 K ehujjahan
hadits dho’if 9
BAB IV KESIMPULAN
........................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB
I
PENGERTIAN
HADITS DHO’IF DAN SEBAB DITOLAKNYA
1.1 Pengertian
Hadits Dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat, berarti ‘Aziz:
yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.
Hadits Dha’if menurut istilah adalah
hadits yang di dalamnya tidak di dapati syarat hadits shahih dan tidak pula
didapati hadits hasan.
Yang dimaksud dengan hadits dha’if
ialah hadits yang tidak memiliki salah satu syarat atau lebih dari syarat Hadits
Shahih dan Hadits Hasan.
Dengan kaidah ini, sesungguhnya
sesuatu hadits itu di anggap dhai’if, selama belum dapat dibuktikan keshahian
atau kehasanannya. Sebab, yang diharuskan disini untuk memenuhi syarat-syarat
tertentu adalah hadits shahih dan hadits hasan, serta bukan hadits dha’if.
Tetapi, ulama hadits dalam membicarakan kualitas suatu hadits. Telah berusaha
pula untuk membuktikan/menjelaskan letak kedha’ifannya, bila hadits yang
bersangkutan dinyatakan dha’if, sebab dengan demikian akan menjadi jelas berat
ringannya kekurangan atau cacat yang dimiliki oleh hadist itu. Atas dasar
penelitian yang demikian ini pula, maka dimungkinkan suatu hadist yang
kualitasnya dha’if, lalu dapat meningkat kepada kualitas hasan li-ghairih.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan
demikianlah, sehingga kedha’ifan suatu hadits menuntut untuk di bahas dan
dibuktikan, sebagaimana tuntutan untuk di bahas dan dibuktikan bagi hadits yang
dinyatakan shahih atau hasan.
Sedangkan menurut istilah, Ibnu
Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul
sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Sedangkan Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi
tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya: “yang tidak terkumpul
sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Para ulama memberikan batasan bagi
hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع
صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya: “hadits
dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if
adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah,
apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga
bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
1.2 Sebab
Ditolaknya Hadits
a. Terputus
Sanadnya ( ﺍﻻﺴﺎﻨﻴﺪ ﻤﻦ ﺴﻘﻄ (
Sebab-sebab
terputus sanadnya :
1. Tidak
bertemu rawi dengan gurunya
2. Tidak
sezaman
3. Sezaman
tidak bertemu
b. Cacat Rowinya (ﻔﻰ ﺍﻠﺮﻮﺍﻱ ﻄﻌﻦ )
·
Karna
keadilannya :
1. Bohong ( ﺍﻠﻜﺬﺐ
)
2. Tertuduh berdusta ( ﺘﻬﻤﺔ ﺒﺍﻠﻜﺬﺐ )
3. Fasik ( ﺍﻠﻔﺴﻖ
)
4. Bid’ah ( ﺍﻠﺒﺩﻋﺔ
)
5. Tidak dikenal
·
Karna
kedhabitannya :
1. Banyak salah ( ﻔﺨﺶﺍﻠﻐﻠﻄ )
2. Jelek hafalan ( ﺴﺆﺍﻠﺤﻔﻇ )
3. Banyak perkiraan ( ﻜﺜﻴﺮﺓ ﺍﻻﻮﻫﺎﻢ )
4. Lalai ( ﺍﻠﻐﻔﻠﺔ
)
5. Bertentangan dengan yang lebih kuat
( ﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺍﻠﺜﻗﺔ )
BAB
II
PEMBAGIAN
HADITS DHA’IF
Hadits dhaif sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak
sesederhana pembagian hadits shahih maupun hasan. Oleh karena itu ada ulama
ahli hadits yang membagi hadits dhoif menjadi 42 macam, 63 macam, 81 macam bahkan
ada yang sampai 129 macam.
Sebab kedhaifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad,
yaitu terputusnya sanad. Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat
Sahabat, Tabi’in, maupun tingkat sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya
satu tingkat ataupun lebih. Dan disebabkan oleh cacat pada perawinya.
2.1 Hadits Dha’if karna Gugurnya
Rawi (Terputus Sanad)
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi
adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa perawi, yang seharusnya ada dalam
satu sanad, baik pada permulaan, pertengahan atau akhir sanadnya.
A.
Hadits
Mu’allaq
Hadits
yang terputus diawal sanadnya, seorang atau lebih, secara berturut-turut. Didalam Shahih Al Bukhary banyak
terdapat hadits mu’allaq tetapi diberi hukum muttashil, walaupun derajatnya
dipandang tidak setingkat dengan yang muttashil sendiri, kecuali jika ada
disana akan pada tempat yang lain.
Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu
Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda :
لاتقاضلوابين الأنبياء (رواه البخارى)
Artinya: “Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan
sebagian yang lain”.
(HR. Bukhari)
B.
Hadits Mu’dhal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti
hadits yang sulit dipahami. Para ulama memberi batasan hadits mudal adalah
hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam
sanadnya, baik sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun
dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
Contohnya: telah sampai kepadaku,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
للملوك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك)
Artinya:
“Budak itu harus
diberi makanan dan pakaian secara baik”. (HR. Malik)
C.
Hadits Munqathi
Menurut bahasa, hadits munqati’ berarti hadits yang
terputus. Para ulama’ memberikan batasan hadits munqati’ ialah hadist yang
gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi
diakhir sanadnya adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanadnya adalah
tabi’in. artinya hadits munqati’ itu bukanlah rawi di tingkat sahabat yang
gugur tapi minimal gugur seorang tabi’in. (Hadits yang terputus rawinya pada
sanad sebelum sahabat, disuatu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat
dalam keadaan tidak berturut-turut.)
Contoh
hadits munqati’ :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم : إ
ذا دخل المسحد قال : بسم الله والسلام على رسول الله اللهم غفرلى ذنوبى وافتح لى
ابواب رحمتك. (رواه ابن ماجه)
Artinya :
“Rasulullah SAW, bila masuk ke dalam masjid membaca: dengan nama Allah dan
sejahteralah atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukanlah
bagiku segala pintu rahmat-MU”. (HR. Ibnu Majah)
D.
Hadits Mursal
Kata “Mursal” secara etimologi diambil dari kata “irsal”
yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology
ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi SAW. Artinya, seorang
tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..”
(Hadits yang terputus sanadnya, seorang setelah Tabi’in).
Para ulama’ memberikan batasan hadits mursal adalah hadits
yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah
rawi pada tingkatan sahabat. Jadi mursal adalah hadits yang dalam sanadnya
tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah. Sebagai contoh, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman dari Harmalah dan dari Said bin
Mutsayyab. Bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله وسلم : بيننا وبين المنافقين شهود
لعشاء والصبح لا يستطيعون
(رواه
ماللك)
Artinya : “Rasulullah bersabda: antara kita dengan kaum
munafik (ada batas) yaitu menghadiri jamaah Isya’ dan subuh, mereka tidak masuk
menghadirinya”. (HR. Imam Malik).
Hadits ini mursal karena, siapa yang sahabat nabi yang yang
meriwayatkan hadits ini kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam
sanad di atas.
2.2 Hadits Dha’if karena Cacat Rawi
atau Matannya
A. Hadits
Maudlu
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang berdusta atas
nama Rasulullah SAW baik sabdanya, perbuatannya, taqrirnya, atau yang lainnya.
Baik hal tersebut disengaja atau pun tidak (hadits yang bukan hadits Rasulullah
Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta). Contoh:
لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya: “Anak zina tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah QS.
Al-An’am ayat 164 : “Katakanlah : "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain
Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang
membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan."
B. Hadits
Matruk
Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan
oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan. Hadits yang diriwayatkan oleh
seorang rawi, yang menurut penilaan seluruh ahli hadits terdapat catatang
pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin
Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk
orang yang haditsnya ditinggalkan. Atau dengan kata lain hadist yang
diriwayatkan oleh perawi yang suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau
ragu dalam periwayatan.
C. Hadits
Munkar
Hadits munkar ialah
1.
Hadits
yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang banyak
kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang bukan karena
dusta.
2.
Hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak tsiqah (dha’if) berlawanan dengan
riwayat yang tsiqah(terpercaya).
(hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang berbeda dengan riwayat rawi yang
tsiqah). Contoh:
من اقام الصلاة واتي الزكاة وحج وصام
وقري الضيق ودخل الجنة (رواه بن ابى حاتم)
Artinya:
“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa,
dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.
D. Hadits
Ma’ruf
Suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah serta
menentang riwayat yang lebih lemah.
E. Hadits
Syad
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang maqbul (kuat)
menyalahi riwayat yang rajih (lebih kuat). Hadits yang diriwayatkan oleh
seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan
riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan
antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang
diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah
bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب (رواه موسى بن على)
Artinya: “hari-hari tasyrik
adalah hari-hari makan dan minum”
F. Hadits
Mahfud
Hadits yang diriwayatkan oleh rawi tsiqah (shahih/hasan),
tetapimenyalahi riwayat kepercayaan lain yang kurang kuat.
G. Hadits
Mu’alal
Hadits yang nampaknya selamat, setelah diadakan penelitian
dan penyelidikan tampak adanya illat qadihah (cacat) dalam sanad atau matannya.
Untuk menemukan illat (cacat) hadist ini membutuhkan
pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab ‘ilat
itu sendiri tidak tampak, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadist. Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم
يتفرقا
Artinya: “Rasulullah
bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum
berpisah”
H. Hadits
Maqlub
Hadits yang bertukar padanya terhadap seseorang perawi
sebagian matannya atau nama seseorang perawi pada sanad nya atau sesuatu sanad
buat matannya yang lain.
Maksudnya perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan
dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan serta meletakkan sesuatu di
tempat yang lain. Contoh maqlub pada matan adalah hadist yang diriwayatkan oleh
Thabrani :
قال رسول الله ص.م. اذا امرتكم بشئ
فأتوهواذا نهيتكم عن شئ فاجتنيبوه ما استطعتم. (رواه الطبرانى)
Artinya
: “Rasululah bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu maka
kerjakanlah dia, apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia
sesuai dengan kesangupanmu”. (HR. Thabrani)
Sedangkan dalam hadits Buhkari dan Muslim, matan hadist di
atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda, yaitu :
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ص.م. يقول: ما
بهيتكم عنه فاجتنبوه وما امرتكم به فافعلوه ما استطعتم. (رواه البجارى ومسلم)
Artinya
: “dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda :
apa-apa yang kami cegah dari kamu semua maka jauhilah dan apa-apa yang kami
perintahkan kepadamu sekalian perbuatlah menurut kemampuanmu”. (HR. Bukhori-Muslim)
I. Hadits
Mudhtorib
Hadits yang diriwayatkan atas beberapa cara yang berlainan.
Yang satu menolak yang lain, sedangkan dia sederajat dalam perbedaannya, dalam
arti tidak kuat salah satunya atas yang lainnya. Tidak mungkin dikumpulkan
antara perowi yang satu dengan yang lainnya (seorang perawi/ lebih dengan
beberapa jalan yang berbeda-beda yang tidak mungkin dapat dikumpulkan/
ditarjihkan).
J. Hadits
Mushahaf
Hadits yang bertentangannya di karenakan perubahan titik
kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah/tetap. Hadits ini adalah hadits yang
mukhalafahnya (menyalahi hadits lain). Contoh hadits Mushahhaf (fil matan),
ialah hadits Abu Ayyub Al-Anshary :
أَنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:(مَنْ صَامَ رَ مَضَانَ
وَاَتْبَعَهُ
سِتًّا
مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَا ماِالرَّهْر).
Artinya
: “Nabi saw. bersabda: ‘siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan
puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa.”
Perkataan sittan yang artinya enam, oleh Abu Bakar
As-Shauly diubah dengan syai-an, yang berarti sedikit. Dengan demikian
rusaklah makna karenanya.
K. Hadits
Muharraf
Hadits Muharraf adalah hadits yang mukhalafahnya terjadi
disebabkan karena perubahan syakal kata, tetapi bentuk tulisannya tetap.
Misalnya kalimat Basyir dibaca dengan Busyair dan kalimat Nashir
dibaca dengan Nushair.
BAB III
KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF
KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF
3.1 Kehujjahan Hadits Dho’if
Adapun tentang hadits dha’if, ada
dua pendapat tentang boleh atau tiudaknya diamalkan, atau dijadikan hujjah.
Yakni :
1. Imam bukhari, Muslim, Ibnu Hasm dan Abu Bakar Ibnul Araby menyatakan,hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan atau jadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hokum maupun untuk keutamaan amal.
1. Imam bukhari, Muslim, Ibnu Hasm dan Abu Bakar Ibnul Araby menyatakan,hadits dha’if sama sekali tidak boleh diamalkan atau jadikan hujjah, baik untuk masalah yang berhubungan dengan hokum maupun untuk keutamaan amal.
2. Abu Dawud dan Imam Ahmad mereka berpendapat, hadits dhaif
dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadlailul amal atau dalam masalah
hukum, karena bahwasannya hadits dhaif itu lebih kuat kedudukannya dari pada
para pendapat ulama.
3. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’ilul’amal), dengan syarat:
a. Para rawi yang meriwayatkan hadits itu, tidak terlalu lemah.
b. Maslah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-qur’an dan hadits shahih.
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Prof T. M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan “fadlalluamal” atau keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti untuk menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari sesuatu amal. Adapun yang berhubungan dengan penetapan hukum, demikian prof. Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat tidak membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.
3. Imam Ahmad bin Hambal, Abdur Rahman bin Mahdi dan Ibnu Hajar Al-Asqalany menyatakan, bahwa hadits dha’if dapat dijadikan hujjah (diamalkan) hanya untuk dasar keutamaan amal (fadla’ilul’amal), dengan syarat:
a. Para rawi yang meriwayatkan hadits itu, tidak terlalu lemah.
b. Maslah yang dikemukakan oleh hadits itu, mempunyai dasar pokok yang ditetapkan oleh Al-qur’an dan hadits shahih.
c. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Prof T. M Hasbi mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan “fadlalluamal” atau keutamaan amal dalam hal ini, bukanlah dalam arti untuk menjelaskan tentang faedah atau kegunaan dari sesuatu amal. Adapun yang berhubungan dengan penetapan hukum, demikian prof. Hasbi menjelaskan, para ulama hadits sepakat tidak membolehkan menggunakan hadits dha’if sebagai hujjah atau dalilnya.
Dokter Muhammad Ajjaj Al-Khattib
menyatakan, bahwa golongan yang menolak hadits dha’if sebagai hujjah adalah
golongan yang lebih selamat. Diantara alasannya, bahwa baik soal
fadla’ilul’amal, maupun soal maqrimul ahlaq, merupakan bagian dari tiang agama,
sebagaimana halnya masalah hokum karena itu, hadits yang dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkannya, haruslah hadits yang berkualitas shahih atau hasan dan
yang bukan berkualitas Dha’if.
Dengan pendapat para ulama tersebut
dapat disimpulkan, bahwa memang sangat perlu untuk mengetahui kualitas suatu
hadits agar terhindar dari pengalaman agama atau pengungkapan dalil agama
berdasarkan hadits dha’if.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Hadits dha’if pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, jika di bandingkan dengan hadits shahih dan hasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Masaroh Amien, Imas
2011
Ilmu Hadits
LAMPIRAN
· Foto
· Tanya Jawab
1.
Restu
T : Bagaimana cara mudah untuk
membedakan hadits shahih dan dha’if?
J : Cara mudah untuk membedakan
hadits shahih dan hadits dho’if, jika hadits shohih makan lihat yang
meriwayatkannya, apabila yang meriwayatkannya Bukhari-Muslim itu sudah pasti
hadits mereka itu shahih. Untuk membedakan hadits dha’if nya, jika selain
bukhari-muslim mau tidak mau harus diteliti dulu sanad serta matan nya.
2.
Suci
T : Apa dampak yang terjadi dari
hadits dho’if jika diamalkan, dan apakah hadits dhoif itu bisa diamalkan atau
tidak?
J : terdapat 3 pendapat, yaitu 1).
Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal atau
dalam hukum dan sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid An-Nas dari Yahya
bin Ma’in (pendapat : Abu Bakar Ibnu Al-Arobi, Bukhori, Muslim dan Ibnu Hazam).
2). Hadits Dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadlailul amal atau
dalam masalah hukum. Karena hadits dha’if lebih kuat dari pada pendapat para
ulama (pendapat : Abu Dawud dan Imam Ahmad). 3). Hadits dhoif dapat diamalkan
dalam fadlailul amal, targhib/janji-janji yang menggemarkan, tarhib/ ancaman
yang menakutkan (pendapat Ibnu Hajar Al-Ashqani). Dampaknya itu jika kita mengamalkan
suatu hadits dhoif dikhawatirkan hadits tersebut bertentangan dengan al-qur’an
walaupun yang dikhobarkannya itu sesuatu yang positif.
3.
Yuli
T : Mengapa rawi yang tertuduh
berdusta termasuk faktor hadits dha’if?
J : Karena seorang rawi yang tertuduh
melakukan perbuatan tidak baik mencerminkan dalam kebaikan dalam sifat dan
tingkah lakunya sehari-hari tidak dapat dipercayadan diyakinin apapun yang
disampaikannya.
4.
Suhartinah
T : Siapakah yang menentukan suatu
hadits itu disebutkan dhoif atau shahih?
J : Semua orang juga bisa asalkan
memiliki syarat mempunyai ilmu dan mampu mentakhrij hadits tersebut.
5.
Reni
T : Bagaimana cara membedakan hadits
itu palsu atau tidak?
J : Banyak cara untuk bisa mengetahui hadits palsu atau tidak
adalah dengan melihat makna hadits tersebut rusak ataukah batil yaitu dengan
memastikan bahwa makna hadits tersebut masuk akal ataukah tidak, bertentangan
dengan akal sehat, bertentangan dengan kebenaran yang sudah dapat dipastikan
secara ilmiah/historis, bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat atau
bertentangan dengan ayat al-Qur’an.
6.
Regi
T : Apakah hadits dho’if wajib
diketahui oleh ummat islam? Lalu, bagaimana cara membedakan perbandingan hadits
shahih dan dha’if ?
J : Ummat islam itu wajib mengetahui
hadits dho’if karena hadits tersebut termasuk hadits mardud (ditolak). Dan jika
umat islam khususnya orang awwam lihatlah dari segi matannya apakah menyeleweng
dengan al-qur’an dan apakah bertolak belakang dengan hadits yg sudah termasyhur
shahih. Dan untuk membedakannya , jika hadits shohih makan lihat yang
meriwayatkannya, apabila yang meriwayatkannya Bukhari-Muslim itu sudah pasti
hadits mereka itu shahih. Untuk membedakan hadits dha’if nya, jika selain
bukhari-muslim mau tidak mau harus diteliti dulu sanad serta matan nya.
7.
Risma
T : Apakah hadits itu dijadikan
hujjah sebagai habluminnAllah wa hablumminannas ?
J : Hadits dhoif tidak dapat
dijadikan hujjah karena termasuk kedalam golongan hadits mardud (ditolak).
8.
Ramdan
T : Apakah ada tanggapan rasul
tentang hadits ma’udu dan apakah ada dalilnya?
J : ada hadits maudhu yang
bertentangan dengan ijma, “Bahwa
Rasulullah SAW memegang tangan Ali bin abi Thalib ra. di hadapan para sahabat
seluruhnya, yang baru kembali dari haji wada’ kemudian Rasulullah saw
membangkitka Ali bin Abi Thalib, sehingga para sahabat mengetahui semuanya.
Lalu, beliau bersabda : “ ini adalah wasiatku dan saudaraku, serta khalifah
setelah saya mati. Oleh karena itu dengarkanlah dan taatilah ia”.
9.
Yanti
T : Hadits yang terdapat rawinya
cacat, mengapa dapat menjadi cacat ?
J : Karena raowi tersebut memiliki
ciri-ciri dari 5 faktor kecacatan rowi dalam kedhabitannya ataupun dari 5
faktor kecacatan rawi dalam keadilannya, seperti yg tadi dijelaskan dalam
diskusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar