RASI
SEBAGAI MAKANAN POKOK
DESA
CIRENDEU DI KOTA CIMAHI
LAPORAN
Diajukan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata
kuliah Antropologi Budaya
Dosen Pengampu :
Dr. H. Agus Ahmad Safe’i, M.Ag
Disusun
oleh:
Ridha
Syahida I Z
1144010155
JURUSAN BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan
hidayahNya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Rasi Sebagai Makanan
Pokok Desa Cirendeu di Kota Cimahi”. Makalah ini diajukan guna memenuhi nilai
mata kuliah Antropologi Budaya. Tidak lupa, saya ucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari dalam makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari
para pembaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi sumbangan ilmu
yang bermanfa’at bagi kita semua. Permintaan maaf yang
sebesar-besarnya kami ucapkan, apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan,
karena kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajalla. Dan hanya kepada-Nya lah
penulis memohon petunjuk dan kepada-Nya lah kembali segala urusan.
Amien
ya Rabbal ‘Alamien
Bandung,
23 Desember 2016
Penulis,
BAB
I
PENDAHULUAN
Masyarakat
desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat
istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan
mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan
manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat
secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Kampung
Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup
yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai lingkungan,
budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,sebagaian
masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang
terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama “Rasi” atau beras singkong,
bahkan divervikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong tersedia di
kampung ini.
Kampung
Cireundeu adalah salah satu model kampung yang sebagian besar penduduknya sudah
meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari hari,
singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari
krisis pangan yang terjadi sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan
kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat di
buat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh
yang dapat di implementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata program
ketahanan pangan.
Kampung
adat Cireundeu merupakan kampung adat yang berada di dalam Kota Cimahi.
Walaupun berada dalam kota, kampung ini memiliki tradisi dan adat yang masih
dipegang teguh dari leluhur mereka. Perilaku masyarakatnya juga masih
mencirikan adat dan tradisi masyarakat kampung yang lainnya, seperti gotong
royong, saling membantu, dan dalam mata pencahariannya pun bersama-sama, saling
membantu satu sama lain. Masyarakat cireundeu memegang teguh prinsip “Teu boga
sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu,
teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat”.
Prinsip
itulah yang mencirikan masyarakat adat kampung Cireundeu. Disisi kepercayaan,
masyarakat di cireundeu memegang kepercayaan ateisme, mereka masih memegang
kepercayaan dari leluhur mereka. Mereka menyebutnya ‘kuring’, karena merasa
setiap ajaran yang mereka anut ini sebenarnya sama saja dengan agama lainnya
seperti agama islam.
Hal
itu bisa dilihat dari pemahaman simbol warna dimulai kuning, putih, merah
hitam, yang dimana dalam setiap warna itu bisa berhubungan dengan ciri dari
sejarah manusia itu sendiri. Warna merah mewakili amarah, kuning mewakili
angin, hitam mewakili tanah, dan putih mewakili air. Masyarakat adat ini menganggap
bahwa manusia itu terwujud dari keempat unsur itu. Pada intinya mereka juga
menganggap bahwa Tuhan mereka itu juga adalah Allah akan tetapi berbeda dalam
hal peribadatannya.
Untuk
kepercayaan, ternyata di kampung adat Cireundeu ini ada beberapa masalah yang
bisa kami angkat atau tema-tema yang menarik yang berkaitan dengan kearifan
budaya lokal masyarakat Cireundeu. Sehingga nilai-nilai budaya yang mengalami
perkembangan ataupun penurunan nilai-nilai budayanya itu sendiri. Adapun
rincian dari perkembangan kampung ini bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa
unsur, yang dimana unsur-unsur tersebut dimulai dari keseniannya, mata
pencaharian, sistem teknologi, bahasa, dll. Kemudian kami dapat melihat juga
hasil budaya masyarakat setempat yang berkaitan dengan bentuk rumah masyarakat
yang mengalami pergeseran nilai oleh perkembangan zaman.
BAB
II
Rasi
Sebagai Makanan Pokok Desa Cirendeu di Kota Cimahi
Cireundeu
merupakan suatu perkampungan yang terletak di kelurahan Leuwigajah dan termasuk
wilayah kecamatan Cimahi Selatan, Kota
Cimahi, Jawa Barat. Sebelah utara kelurahan Leuwigajah berbatasan dengan
kelurahan Baros, sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Cibeber, sebelah
Selatan dengan Kecamatan Batujajar dan Desa Lagadar, serta sebelah barat dibatasi
Kelurahan Utama. Kelurahan Leuwigajah dibagi menjadi 16 Rukun Warga (RW).
Cireundeu termasuk dalam RW 10 dan dibagi kedalam 5 Rukun Tetangga (RT).
Cireundeu
dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 kilometer dan harus melewati
Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah
sepanjang lebih kurang 600 meter. Namun sejak tahun 2005 pasca bencana
longsor sampah yang banyak menelan korban jiwa, akhirnya TPA ini ditutup.
Kampung Cireundeu dapat ditempuh dari
jalan utama dengan salah satu kendaran umum yang tersedia yakni ojek (motor).
Kampung adat Cireundeu ini dikenal sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan
(DEWITAPA).
Ketahanan
Hidup Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Cimahi
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar.
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar.
Masyarakat
Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan
singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau
terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain
bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja
karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Beralihnya
makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi
singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah
Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di
kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras
ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan
suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada
masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok
singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering
diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten
Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat
dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada
umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Selain
tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu
diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan
kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan
warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam
dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Gunung Kaian, Gawir Awian,
Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak
Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun,
jeung Basisir Jagaeun “.
Petuah
leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan hutan dalam bahasa
sunda sebagai berikut : “Saha anu wani ngarempak jagat Pasundan leuweung
kahiyangan isuk jaganing pageto pati kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna
sika leuweung saliara karamat tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah
sirungan ka handap ulah akaran..Nu nisca kalakuan remen nigas pucuk linduh
dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun
meting kawani titis galur siliwangi. Ya isun tajimalela nu rek ngajaga wana
nepikeun ka pejah nyawa”. ( Kata-kata ini milik paguyuban silaturahmi warga kampung
Cireundeu, dilindungi undang-undang RI Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan
Pidana Pasal 44 ayat 1 dan 2).
Kampung
Cireundeu adalah salah satu kampung yang sebagian besar penduduknya sudah
meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari-hari.
Singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari
krisis pangan yang telah terjadi. Sampai saat ini belum pernah terjadi
kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung
Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan
sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata
Program Ketahanan Pangan.
Potensi
kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga Kampung Cireundeu dapat
memberikan banyak manfaat, salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga
kampung secara signifikan dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam
kondisi bahan mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat
dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah
Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud, agar
kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu menghantui masyarakat kecil
khususnya, dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan
berkurang.
Masyarakat
Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidayaan
tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar
singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong. Hal ini telah
dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian masyarakat
kampung Cireundeu hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung
Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok,
sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga beras. Taraf
ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal
mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi
disebabkan karena tradisi yang dianutnya.
Masyarakat
adat kampung ini mengkonsumsi singkong atau ubi kayu sebagai makanan pokok atau
yang dikenal dengan Rasi (beras singkong). Selain sebagai makanan pokok utama,
singkong ini juga diolah menjadi produk lain seperti tepung tapioka, rangining,
kecimpring, opak, kerupuk dan keripik singkong, diharapkan penganekaragaman
olahan singkong ini dapat menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat kampung
Cireundeu.
Masyarakat Kampung Cireundeu pada
umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidaya tanaman singkong yang dilakukan
di lereng gunung desa Cirendeu tersebut, dari mulai proses pengolahan tanah,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang
berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong. Hal
ini telah dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian
masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Rasi merupakan hasil sampingan
dalam proses pembuatan tapioka. Rasi adalah ampas (limbah padat) dari singkong
setelah melalui proses penggilingan dan penyaringan.
Penanaman
ubi kayu (singkong) oleh masyarakat Cireundeu dilakukan dilereng- lereng bukit,
yang merupakan lahan kering (kebun). Selain singkong sebagai tanaman utama, masyarakat umumnya
juga menanam pisang, pepaya, dan nangka yang lebih banyak dikonsumsi oleh
masyarakat setempat serta tanaman albasia.
Pada umumnya, terutama petani, memiliki ternak domba, ayam atau bebek,
dan kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman singkong atau tanaman
lainnya. Singkong dipanen setahun sekali (umur 11 – 12 bulan), sehingga para
petani mengatur pola tanamnya dengan pergiliran antar tempat. Dengan pola ini
mereka selalu memproduksi tapioka dan
“rasi” sebagai pangan pokok.
Masyarakat
Cireundeu mengkonsumsi rasi sebagai makanan pokok akibat masa sulit (paceklik)
yang pernah terjadi sekitar tahun 1918 dan memiliki sejarah tersendiri yang
tidak menguntungkan dengan tanaman padi, ketika pada zaman penjajahan Belanda
lahan sawah yang ditanami padi tiba-tiba mengering dan tidak menghasilkan dan
pada saat itu persediaan beras saat itu sangatlah sedikit dan sulit didapatkan
dari pemerintah Belanda pada masa itu. Selanjutnya konsumsi rasi menjadi budaya makan pada masyarakat
Cireundeu. Adapun alasan lain masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi adalah
karena aliran kepercayaan atau penghayatan yang dianut masyarakat setempat,
yang mewajibkan pengikutnya mengkonsumsi non-beras.
Masyarakat Kampung Cireundeu
merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan
adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari
luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan berdasarkan falsafah “silih
asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang
teguh pepatah Karuhun Cireundeu seperti yang dituturkan oleh abah Emen, yaitu:
“Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare, Teu nanaon teu boga pare ge
asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo, Teu nanaon teu
bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup”.
Masyarakat Cireundeu menghormati
leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong yang dioleh menjadi
rasi yang diawali oleh adanya wejangan dari leluhurnya. Abah Emen salah seorang
tokoh massyarakat di desa tersebut menuturkan, jika orang Cireundeu tidak mau
terkena bencana maka pantang akan makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang
lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, “wargi didieu tenterem
kumargi sampeu na ge ti kebon nyalira.”
Kampung Cireundeu adalah salah satu
kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya
akan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong adalah pilihannya yang
telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang telah terjadi.
Sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan
makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai
macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang bisa
diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata Program Ketahanan Pangan.
Beralihnya makanan pokok masyarakat
adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang
lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah (Ibu dari Bapak Emen
yang merupakan salah satu narasumber yang kami wawancarai), putra Bapak Haji
Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah
Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya
tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai
“Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada masa tugas Bupati Memed yang
mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok, singkong makanan pokok
penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran
makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan
diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses
pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung
pada beras sebagai makanan pokok. Selain hal diatas tersebut kearifan budaya
lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat
kampung Cireundeu.
Dalam kehidupan keseharian penduduk
kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok,
sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga beras. Taraf
ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal
mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi
disebabkan karena tradisi yang dianutnya itu. Masyarakat kampung Cireundeu-
Cimahi juga masih mempertahankan budaya lokal bercocok tanam secara
tradisional, baik dalam hal teknik bertanam hingga penggunaan pupuk alami.
Selain itu mereka pun termasuk masyarakat yang mandiri pangan, yaitu menanam
beragam tanaman mulai dari bahan makanan pokok, sayuran, hingga obat-obatan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Kampung Cireundeu dengan segala keunikannya
tidak saja dikenal oleh lingkungan masyarakat Kota Cimahi, namun sudah dikenal
luas karena mempunyai ciri khas dalam kehidupannya sehari-hari. Salah satu
keunikannya adalah makanan pokoknya singkong dan tanaman singkongnya pun
menanam sendiri disekitar lokasi kampung.
Kampung Cireundeu menjadi suatu kampung yang
hampir tidak pernah terpengaruh oleh gejolak sosial yang sering terjadi
terutama mahalnya harga makanan pokok terutama beras. Menurut hemat kami
kampung Cireundeu telah menjadi Pilot Project dalam rangka melaksanakan program
ketahanan pangan, terbukti bahwa masyarakat setempat makanan pokoknya tidak
bergantung pada beras, dengan kata lain bahwa kampung Cireundeu sudah menjadi
kampung yang Mandiri Pangan.
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil
yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian
penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah
menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung
Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara,
melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh
budaya dari luar.
Ketahanan pangan yang diperlihatkan warga Cireundeu
menarik perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kampung adat Cireundeu
kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan maupun diversifikasi pangan yang
berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Respon pemerintah terhadap tradisi
masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk apresiasi
pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu dalam menjaga ketahanan pangannya
dengan berlandaskan kearifan lokal.
Namun disisi lain, sikap pemerintah selaku
pemegang otoritas tertinggi di republik ini kontradiktif bila meninjau
kebijakan diskriminatif yang memasung kebebasan masyarakat Cireundeu untuk
beragama dan berkeyakinan masih terus dipertahankan hingga era reformasi kini.
Melihat kebijakan pangan pemerintahan saat ini yang masih menghamba pada produk
impor, tanpa keseriusan membenahi sektor pertanian negeri ini demi terwujudnya
kedaulatan pangan. Sudah selayaknya kita belajar dari mereka yang telah teruji
melewati dinamika sejarah tanpa mengabaikan hak-hak mereka guna menyonsong masa
depan yang lebih baik, masa depan yang berdaulat.
B.
Saran
Kampung adat Cireundeu dijadikan kampung
percontohan ketahanan pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia.
Respon pemerintah terhadap tradisi masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat
sebagai suatu bentuk apresiasi pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu
dalam menjaga ketahanan pangannya.
Saran saya ada baiknya kebiasaan kampung adat
Cireundeu mengonsumsi Rasi (beras singkong) juga bisa diterapkan pada
warga-warga Jawa Barat lainnya atau pada warga-warga Indonesia. Karna tradisi
ini telah terbukti menjadikan masyarakat Cireundeu mandiri dan tidak tergantung
dengan beras yang menjadi makanan pokok mayoritas warga Indonesia.
Dan besar, harapan saya agar tidak hanya
masyarakat kampung adat Cireundeu yang tidak ketergantungan terhadap beras
tetapi masyarakat Indonesia juga bisa tidak ketergantungan terhadap beras
menjadi makanan pokok mayoritas warga Indonesia.Dan tradisi warga Indonesia
yang menyukai bercocok tanam secara tradisional, baik dalam hal teknik bertanam
hingga penggunaan pupuk alami. Dan sangat cocok untuk budidaya singkong dan
tidak sulit dicari sehingga warga Indonesia bisa seperti kampung adat Cireundeu
yang bercocok tanam dan mengkonsumsi singkong setiap harinya, tidak menjadi
ketergantungan terhadap beras. Inilah salah satu ketahanan hidup masyarakat
kampung adat cireundeu yang harapan saya mungkin bisa menjadi ketahanan hidup
warga Indonesia juga.
dokumentasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar