Jumat, 24 Februari 2017

Rasi Makanan Pokok Desa Cireundeu Kota Cimahi (Antropologi Budaya)



RASI SEBAGAI MAKANAN POKOK
DESA CIRENDEU DI KOTA CIMAHI
LAPORAN
Diajukan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah Antropologi Budaya
Dosen Pengampu :
Dr. H. Agus Ahmad Safe’i, M.Ag


                                                                 

Disusun oleh:
Ridha Syahida I Z
1144010155


JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Rasi Sebagai Makanan Pokok Desa Cirendeu di Kota Cimahi”. Makalah ini diajukan guna memenuhi nilai mata kuliah Antropologi Budaya. Tidak lupa, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi sumbangan ilmu yang bermanfa’at bagi kita semua. Permintaan maaf yang sebesar-besarnya kami ucapkan, apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan, karena kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wajalla. Dan hanya kepada-Nya lah penulis memohon petunjuk dan kepada-Nya lah kembali segala urusan.

Amien ya Rabbal ‘Alamien

Bandung, 23 Desember 2016

 Penulis,            






BAB I
PENDAHULUAN

Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,sebagaian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama “Rasi” atau beras singkong, bahkan divervikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong tersedia di kampung ini.
Kampung Cireundeu adalah salah satu model kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari hari, singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang terjadi sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat di buat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang dapat di implementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata program ketahanan pangan.
Kampung adat Cireundeu merupakan kampung adat yang berada di dalam Kota Cimahi. Walaupun berada dalam kota, kampung ini memiliki tradisi dan adat yang masih dipegang teguh dari leluhur mereka. Perilaku masyarakatnya juga masih mencirikan adat dan tradisi masyarakat kampung yang lainnya, seperti gotong royong, saling membantu, dan dalam mata pencahariannya pun bersama-sama, saling membantu satu sama lain. Masyarakat cireundeu memegang teguh prinsip “Teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat”.
Prinsip itulah yang mencirikan masyarakat adat kampung Cireundeu. Disisi kepercayaan, masyarakat di cireundeu memegang kepercayaan ateisme, mereka masih memegang kepercayaan dari leluhur mereka. Mereka menyebutnya ‘kuring’, karena merasa setiap ajaran yang mereka anut ini sebenarnya sama saja dengan agama lainnya seperti agama islam.
Hal itu bisa dilihat dari pemahaman simbol warna dimulai kuning, putih, merah hitam, yang dimana dalam setiap warna itu bisa berhubungan dengan ciri dari sejarah manusia itu sendiri. Warna merah mewakili amarah, kuning mewakili angin, hitam mewakili tanah, dan putih mewakili air. Masyarakat adat ini menganggap bahwa manusia itu terwujud dari keempat unsur itu. Pada intinya mereka juga menganggap bahwa Tuhan mereka itu juga adalah Allah akan tetapi berbeda dalam hal peribadatannya.
Untuk kepercayaan, ternyata di kampung adat Cireundeu ini ada beberapa masalah yang bisa kami angkat atau tema-tema yang menarik yang berkaitan dengan kearifan budaya lokal masyarakat Cireundeu. Sehingga nilai-nilai budaya yang mengalami perkembangan ataupun penurunan nilai-nilai budayanya itu sendiri. Adapun rincian dari perkembangan kampung ini bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa unsur, yang dimana unsur-unsur tersebut dimulai dari keseniannya, mata pencaharian, sistem teknologi, bahasa, dll. Kemudian kami dapat melihat juga hasil budaya masyarakat setempat yang berkaitan dengan bentuk rumah masyarakat yang mengalami pergeseran nilai oleh perkembangan zaman.









BAB II
Rasi Sebagai Makanan Pokok Desa Cirendeu di Kota Cimahi

Cireundeu merupakan suatu perkampungan yang terletak di kelurahan Leuwigajah dan termasuk wilayah kecamatan Cimahi Selatan, Kota  Cimahi, Jawa Barat. Sebelah utara kelurahan Leuwigajah berbatasan dengan kelurahan Baros, sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Cibeber, sebelah Selatan dengan Kecamatan Batujajar dan Desa Lagadar, serta sebelah barat dibatasi Kelurahan Utama. Kelurahan Leuwigajah dibagi menjadi 16 Rukun Warga (RW). Cireundeu termasuk dalam RW 10 dan dibagi kedalam 5 Rukun Tetangga (RT).
Cireundeu dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 kilometer dan harus melewati Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah  sepanjang lebih kurang 600 meter. Namun sejak tahun 2005 pasca bencana longsor sampah yang banyak menelan korban jiwa, akhirnya TPA ini ditutup. Kampung  Cireundeu dapat ditempuh dari jalan utama dengan salah satu kendaran umum yang tersedia yakni ojek (motor). Kampung adat Cireundeu ini dikenal sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan (DEWITAPA).
Ketahanan Hidup Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Cimahi
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar.
Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Selain tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun, jeung Basisir Jagaeun “.
Petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan hutan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “Saha anu wani ngarempak jagat Pasundan leuweung kahiyangan isuk jaganing pageto pati kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna sika leuweung saliara karamat tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah sirungan ka handap ulah akaran..Nu nisca kalakuan remen nigas pucuk linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun meting kawani titis galur siliwangi. Ya isun tajimalela nu rek ngajaga wana nepikeun ka pejah nyawa”. ( Kata-kata ini milik paguyuban silaturahmi warga kampung Cireundeu, dilindungi undang-undang RI Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan Pidana Pasal 44 ayat 1 dan 2).
Kampung Cireundeu adalah salah satu kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang telah terjadi. Sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata Program Ketahanan Pangan.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga Kampung Cireundeu dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga kampung secara signifikan dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah. Pola makanan pokok kampung Cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan ke khalayak umum di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud, agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang selalu menghantui masyarakat kecil khususnya, dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.
Masyarakat Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidayaan tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong. Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok, sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya.
Masyarakat adat kampung ini mengkonsumsi singkong atau ubi kayu sebagai makanan pokok atau yang dikenal dengan Rasi (beras singkong). Selain sebagai makanan pokok utama, singkong ini juga diolah menjadi produk lain seperti tepung tapioka, rangining, kecimpring, opak, kerupuk dan keripik singkong, diharapkan penganekaragaman olahan singkong ini dapat menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat kampung Cireundeu.
Masyarakat Kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidaya tanaman singkong yang dilakukan di lereng gunung desa Cirendeu tersebut, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “Rasi” atau beras singkong. Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari 80 tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Rasi merupakan hasil sampingan dalam proses pembuatan tapioka. Rasi adalah ampas (limbah padat) dari singkong setelah melalui proses penggilingan dan penyaringan.
Penanaman ubi kayu (singkong) oleh masyarakat Cireundeu dilakukan dilereng- lereng bukit, yang merupakan lahan kering (kebun). Selain singkong  sebagai tanaman utama, masyarakat umumnya juga menanam pisang, pepaya, dan nangka yang lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat serta tanaman albasia.  Pada umumnya, terutama petani, memiliki ternak domba, ayam atau bebek, dan kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk organik tanaman singkong atau tanaman lainnya. Singkong dipanen setahun sekali (umur 11 – 12 bulan), sehingga para petani mengatur pola tanamnya dengan pergiliran antar tempat. Dengan pola ini mereka selalu memproduksi tapioka dan  “rasi” sebagai pangan pokok.
Masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi sebagai makanan pokok akibat masa sulit (paceklik) yang pernah terjadi sekitar tahun 1918 dan memiliki sejarah tersendiri yang tidak menguntungkan dengan tanaman padi, ketika pada zaman penjajahan Belanda lahan sawah yang ditanami padi tiba-tiba mengering dan tidak menghasilkan dan pada saat itu persediaan beras saat itu sangatlah sedikit dan sulit didapatkan dari pemerintah Belanda pada masa itu. Selanjutnya  konsumsi rasi menjadi budaya makan pada masyarakat Cireundeu. Adapun alasan lain masyarakat Cireundeu mengkonsumsi rasi adalah karena aliran kepercayaan atau penghayatan yang dianut masyarakat setempat, yang mewajibkan pengikutnya mengkonsumsi non-beras.
Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan berdasarkan falsafah “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu seperti yang dituturkan oleh abah Emen, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare, Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo, Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup”.
Masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong yang dioleh menjadi rasi yang diawali oleh adanya wejangan dari leluhurnya. Abah Emen salah seorang tokoh massyarakat di desa tersebut menuturkan, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang akan makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, “wargi didieu tenterem kumargi sampeu na ge ti kebon nyalira.
Kampung Cireundeu adalah salah satu kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari krisis pangan yang telah terjadi. Sampai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. Singkong di kampung Cireundeu dapat dibuat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang bisa diimplementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata Program Ketahanan Pangan.
Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah (Ibu dari Bapak Emen yang merupakan salah satu narasumber yang kami wawancarai), putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok, singkong makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok. Selain hal diatas tersebut kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu.
Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok, sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama pada harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengkonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonominya tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya itu. Masyarakat kampung Cireundeu- Cimahi juga masih mempertahankan budaya lokal bercocok tanam secara tradisional, baik dalam hal teknik bertanam hingga penggunaan pupuk alami. Selain itu mereka pun termasuk masyarakat yang mandiri pangan, yaitu menanam beragam tanaman mulai dari bahan makanan pokok, sayuran, hingga obat-obatan.









BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
Kampung Cireundeu dengan segala keunikannya tidak saja dikenal oleh lingkungan masyarakat Kota Cimahi, namun sudah dikenal luas karena mempunyai ciri khas dalam kehidupannya sehari-hari. Salah satu keunikannya adalah makanan pokoknya singkong dan tanaman singkongnya pun menanam sendiri disekitar lokasi kampung.
Kampung Cireundeu menjadi suatu kampung yang hampir tidak pernah terpengaruh oleh gejolak sosial yang sering terjadi terutama mahalnya harga makanan pokok terutama beras. Menurut hemat kami kampung Cireundeu telah menjadi Pilot Project dalam rangka melaksanakan program ketahanan pangan, terbukti bahwa masyarakat setempat makanan pokoknya tidak bergantung pada beras, dengan kata lain bahwa kampung Cireundeu sudah menjadi kampung yang Mandiri Pangan.
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar.
Ketahanan pangan yang diperlihatkan warga Cireundeu menarik perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kampung adat Cireundeu kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan maupun diversifikasi pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Respon pemerintah terhadap tradisi masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk apresiasi pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu dalam menjaga ketahanan pangannya dengan berlandaskan kearifan lokal.
Namun disisi lain, sikap pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi di republik ini kontradiktif bila meninjau kebijakan diskriminatif yang memasung kebebasan masyarakat Cireundeu untuk beragama dan berkeyakinan masih terus dipertahankan hingga era reformasi kini. Melihat kebijakan pangan pemerintahan saat ini yang masih menghamba pada produk impor, tanpa keseriusan membenahi sektor pertanian negeri ini demi terwujudnya kedaulatan pangan. Sudah selayaknya kita belajar dari mereka yang telah teruji melewati dinamika sejarah tanpa mengabaikan hak-hak mereka guna menyonsong masa depan yang lebih baik, masa depan yang berdaulat.

B.       Saran
Kampung adat Cireundeu dijadikan kampung percontohan ketahanan pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Respon pemerintah terhadap tradisi masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk apresiasi pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu dalam menjaga ketahanan pangannya.
Saran saya ada baiknya kebiasaan kampung adat Cireundeu mengonsumsi Rasi (beras singkong) juga bisa diterapkan pada warga-warga Jawa Barat lainnya atau pada warga-warga Indonesia. Karna tradisi ini telah terbukti menjadikan masyarakat Cireundeu mandiri dan tidak tergantung dengan beras yang menjadi makanan pokok mayoritas warga Indonesia.
Dan besar, harapan saya agar tidak hanya masyarakat kampung adat Cireundeu yang tidak ketergantungan terhadap beras tetapi masyarakat Indonesia juga bisa tidak ketergantungan terhadap beras menjadi makanan pokok mayoritas warga Indonesia.Dan tradisi warga Indonesia yang menyukai bercocok tanam secara tradisional, baik dalam hal teknik bertanam hingga penggunaan pupuk alami. Dan sangat cocok untuk budidaya singkong dan tidak sulit dicari sehingga warga Indonesia bisa seperti kampung adat Cireundeu yang bercocok tanam dan mengkonsumsi singkong setiap harinya, tidak menjadi ketergantungan terhadap beras. Inilah salah satu ketahanan hidup masyarakat kampung adat cireundeu yang harapan saya mungkin bisa menjadi ketahanan hidup warga Indonesia juga.


dokumentasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar