GERAKAN
PEMIKIRAN PEMBAHARUAN
MUHAMMAD
ABDUH
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pemikiran
Modern Dalam Islam
Dosen Pengampu :
Drs. H. Karsidi Diningrat, M.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Muhammad Abduh seorang Pemikir Pembaru Islam yang sangat
berpengaruh di dalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya membawa dampak yang
signifikan dalam berbagai tatanan kehidupan pemikiran masyarakat meliputi aspek
penafsiran Al-Qur'an, pendidikan, social masyarakat, politik, peradaban dan
sebagainya. Pemikiran Abduh begitu mendalam pengaruhnya bagi kehidupan umat
Islam, baik di negeri kelahirannya Mesir, maupun dunia Arab lainnya, bahkan
sampai ke dunia Islam luar Arab seperti Indonesia. Kelahiran gerakan
pembaharuan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persaturan Islam tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh pemikiran Muhammad Abduh. Bahkan pemikirannya tentang
modernisme begitu dikenal dan banyak menjadi rujukan bagi para pemikir Barat.
Paradigma yang mendasari proses pembaruan di dunia Islam terutama
didasarkan padaargumen bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih agama
rasional, kesadaran sosial dan moralitas yang bisa menjadi dasar kehidupan
modern. Rasionalitas juga dilihat mampu menciptakan sebuah elit keagamaan yang
bisa mengartikulasikan dan menafsirkan makna nilai-nilai Islam yang
sesungguhnya dan karenanya memberikan fondasi bagi lahirnya masyarakat baru.[1]
Dalam melakukan reformasi pemikiran, Muhammad Abduh berusaha
menyeimbangkan antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan
mereka yang berlebihan dalam mengikuti Barat baik itu pada budaya dan disiplin
ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam
metode pembaharuannya: sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari
ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat
terdahulu. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada
sumber-sumber yang asli yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagaimana yang
dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana Konsep Pemikiran Muhammad Abduh?
3.
Bagaimana Dampak Pemikiran Muhammad Abduh?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi Muhammad Abduh.
2.
Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Pemikiran Muhammad Abduh.
3.
Untuk Mengetahui Bagaimana Dampak Pemikiran Muhammad Abduh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh
adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di Mesir yang hidup
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan di mana Muhammad Abduh
lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa
yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M /
1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.[2]
Ia lahir di
suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh
bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke
suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Muhammad Abduh di suruh belajar menulis dan
membaca setelah lahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal
Al-Qur'an. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal Al-Qur'an secara
keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh
Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti
apa-apa karena di sana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari
meninggalkan pelajaran dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai
petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) iapun menikah.[3]
Baru empat
puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi,
tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh
Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia
selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu,
Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan
pelajarannya.[4]
Selepas dari
Tanta, ia melanjutkan studi di al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat
predikat “alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani yang
kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani yang kemudian
belajar logika, filsafat, teologi dan tasawuf. Di masa Abduh dan gurunya,
al-Afghani hidup di dunia Islam mengalami kemunduran yang sangat
memprihatinkan. Dunia Islam tercabik-cabik oleh penjajah. Wilayah Islam sebelumnya
berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah dikapling-kapling oleh bangsa –bangsa
Eropa.
Pengaruh
pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar, ide-ide pembaharuan yang
dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Bedanya, al-Afghani lebih
menekankan pembaharuan di bidang politik, sedangkan Abduh dibidang pendidikan. Tahun
1879, Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam
mengadakan menentang gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun
1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi
pemerintah Mesir “المصریة الوقائع.” Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi
dibuang. Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke
Beirut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam revolusi
(pemberontakan) Urabi Pasya. Baru setahun di Beirut, dia bertemu al-Afghani
supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wusqa. Tujuan
gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang
ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Urwah al-Wusqa. Ide
pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan
pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan delapan
bulan dengan 18 kali terbit.[5]
Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia, ada juga yang
mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M.
di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di
Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri. Pelajaran tauhid yang diberikannya
di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhidnya.
Sekembalinya dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya.
Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi penasehat
Mahkamah Tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha
memperbaiki pendidikan di al- Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang
sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar.
Usahanya tidak
berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ yang
berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, suatu
jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh
Mesir.
Di tahun yang
sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura. Begitu pula Abduh tidak
bisa menjalankan ibadah haji hingga akhir hayatnya karena faktor politik.
Akhirnya, pada 11 Juli 1905, Abduh dipanggil ke hadirat Allah setelah agak lama
ia menderita kanker hati, di usia yang belum begitu tua yaitu sekitar 56 tahun.
Abduh meninggalkan banyak karya tulis, sebagian besar berupa artikel-artikel di
surat kabar dan majallah. Yang berupa buku antara lain Durus min Al-Qur'an (Berbagai
pelajaran dari Al-Qur'an), Risalah al-Tauhid (Risalah Tauhid), Hasyiyah
‘Ala Syarh al-Dawani li al- ‘Aqaid al-‘Adudiyah (Komentar terhadap
Penjelasan al-Dawani terhadap Akidah-akidah yang Meleset), al-Islam wa
al-Nasraniyah (Islam dan Nasrani bersama Ilmu-ilmu Peradaban), Tafsir
Al-Qur'an al-Karim juz ‘Amma (Tafsir Al-Qur'an juz Amma), dan Tafsir
al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya Syekh Muhammad Rasyid Ridha.[6]
B.
Pemikiran Muhammad Abduh
Di antara kaum
pembaru muslim, sayyid Ahmad Khan dan Abduh menekankan masalah akal dalam
kaitannya dengan agama dan usahanya memperbarui masyarakat.
Meskipun
pertama yang muncul dalam Islam, persoalan akal yang muncul pada abad ke- 20
ini memperoleh dimensi baru karena berkembangnya pandangan dunia ilmiyah yang
baru. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Abduh berpendapat bahwa ajaran Islam
didasarkan pada rasionalisme dan kekuatan akal. Melalui kekuatan akal-lah kaum
muslimin diharapkan dapat membedakan yang benar dari yang salah, dan karenanya
ini berarti mengikuti ajaran agama.
Bagi Muhammad
Abduh, Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan
agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional ini menurut Abduh adalah
jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna, bila tidak
didasarkan atas akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat,
dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta
kemahakuasaan-Nya dan pada rasul. Rasionalisme yang mendasar dalam pikiran
Abduh menyebabkan ia menolak taqlid dan menerima penafsiran (ta’wil)
berdasarkan asal ketimbang menerima terjemahan literal mengenai sumber-sumber
agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya Muhammad Abduh mengajak kita untuk
berpikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan keadaan yang ada. Ia
mengajak untuk melakukan ta’wil terhadap nash-nash Al- Qur'an yang tidak
bisa kita pahami. Ia juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan
pemahaman tentang eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan
hasil pemikiran orang-orang yang hanya mengaku dirinya sebagai agamawan.
Kelihatannya Abduh lebih berhati-hati terhadap penafsiran yang mengada-ada
(tidak rasional) terhadap agama.
Bagi Muhammad
Abduh, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan
adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar
kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat. Tetapi, daya
akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu, tidak hanya disebabkan oleh
perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang
terletak di luar kehendak manusia.
Oleh karena
itu, ia membagi manusia ke dalam dua golongan: khawas dan awam. Keharusan
manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat
dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran Al-Qur'an kitab suci ini, memerintahkan
kita untuk berfikir dan melarang kita bertaklid. Abduh sangat menentang taklid
karena menurutnya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam abad
19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap taklid dalam berbagai aspek kehidupan.
Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga
pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat.
Dengan
memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal di atas, dapat pula
diketahui bagaimana fungsi wahyu baginya. Akal dan wahyu menurut Abduh,
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1)
Wahyu memberi keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada
setelah tubuh mati. Wahyu menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan
hidup manusia di sana.
2)
Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam
masyarakat.
3)
Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan
berterimakasih pada Allah.
4)
Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal
melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa
membuat orang manfaat.
Secara garis
besar, sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu
memberi konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan
untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Akal dan wahyu
mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, sementara
wahyu itu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu
itu berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal
untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak
berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat
terjalin harmonis.
Abduh juga
berpendapat bahwa, premis yang melandasi keimanan ini adalah sedemikian rupa
sehingga bukti-bukti pun tidak lagi diperlukan kendati digunakan kata
“digambarkan” wujud Tuhan tidak dapat dipahami. Ada hal-hal yang tidak boleh
dipertanyakan ketika rasa ingin tahu hanya menyebabkan “kekacauan iman”.
Sekalipun demikian, apa yang disampaikan dalam wahyu harus dipahami secara
rasional sebuah kewajiban bagi setiap generasi. Karena itu, akal dan wahyu
saling menguatkan karena, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi untuk menguatkan
dan menyempurnakan pengetahuan akal.
a.
Kebebasan Manusia
Kepercayaan
pada kekuatan akal, membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham yang
mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam
teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat
mengatakan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak aza, sebelum
ia lahir, dan faham ini dalam teologi Islam disebut jabariah. Dalam
teologi Barat pendapat ini disebut fatalisme atau predestination. Kedua,
bahwa manusia mempunyai kebebasan sungguh pun terbatas sesuai dengan
keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut
qadariyah, dan dalam teologi Barat disebut free will and free act
Dalam “al-Urwah al-Wusqa” Muhammad Abduh bersama-sama dengan Jamaluddin
al-Afghani menjelaskan bahwa sebenarnya faham qada’ dan qadar telah
diselewengkan menjadi fatalisme, sedang paham itu sebenarnya mengandung
unsur dinamis yang membuat umat Islam di zaman Klasik dapat membawa Islam
sampai di Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi. Paham fatalisme
yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang menimbulkan dinamika umat
Islam kembali.
Kemudian,
Muhammad Abduh menjelaskankan dalam Risalah al-Tauhid bahwa, manusia
tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apa pun, demikian pulalah ia
mengetahui adanya perbuatan atas pilihan sendiri (ikhtiyar) dalam
dirinya. Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri
yang ada dalam diri manusia.
Muhammad Abduh
percaya pada pendapat bahwa alam ini diatur hukum alam tidak berubah-ubah yang
diciptakan Tuhan. Hukum alam ciptaan Tuhan ini ia sebut sunnah Allah.
Sunnah Allah dalam pendapatnya mencakup semua makhluk. Segala yang ada di alam
ini diciptakan sesuai dengan hukum alam atau sifat dasarnya, manusia sendiri
diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya yaitu berfikir
dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.
Pandangan Abduh
tentang perbuatan manusia ini bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah
mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun, kebebasann tersebut
bukanlah kebebasan tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh
mendasari perbuatan manusia, yakni pertama, manusia melakukan perbuatan
dengan daya dan kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah adalah tempat
kembali semua yang terjadi.
Dengan
demikian, manusia selain mempunyai daya berfikir, ia juga mempunyai kebebasan
memilih sebagai sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia. Dan bila
sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, niscaya dia bukan manusia lagi
melainkan makhluk lain entah malaikat atau hewan. Manusia dengan akalnya dapat
mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu
dengan daya yang ada dalam dirinya. Jadi faham yang dipaksakan atas manusia
atau Jabariah tidak sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurutnya,
manusia adalah semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan
memilih, meskipun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak, bahkan mencap
takabur dan angkuh terhadap orang yang mengatakan seperti itu. Dalam Tafsir
al-Manar, ia menjelaskan bahwa manusia, sungguhpun berbuat atas kemauan dan
pilihannya sendiri, namun tidaklah sempurna daya, kemauan dan pengetahuannya.
Terkadang ada sesuatu hal yang dapat menimpa umat manusia diluar dugaan dan
manusia tidak mampu mengendalikannya, maka itulah bukti bahwa manusia mempunyai
keterbatasan, hanya Allah-lah yang Maha sempurna.
b.
Bidang Hukum
Dalam bidang
hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu Al-Qur'an sebagai sumber
syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur'an (ta’wil). Menurutnya syariat itu ada dua macam yaitu qat’i
(pasti) dan zhanni (tidak pasti).
Hukum syariat
pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi,
karena dia jelas tersebut dalam Al-Qur'an dan Al- Hadits. Sedangkan hukum
syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti. Jenis hukum yang
tidak pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid.
Dengan
demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabiat
manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin
diwujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut
dijadikan tempat berhukum dengan “taklid buta” tanpa berani mengkritik dan
mengajukan pendapat lain. Sikap terbaik yang harus diambil umat Islam dalam
menghadapi perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber aslinya, Al-Qur'an
dan al-Sunnah. Setiap orang yang memiliki ilmu yang mumpuni maka dia wajib
berijtihad, sedang bagi orang yang awam, bertanya kepada orang yang ahli dalam
agama adalah sebuah kewajiban.
Ada dua hal
yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu tabiat
hidup dan tuntunan (kebutuhan) manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus
dan selalu berkembang, dan didalamnya terdapat kejadian dan peristiwa tidak
dikenal oleh manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis
bisa dijalankan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu
timbul itu dengan ajaran-ajaran Islam Kalau ajaran Islam tersebut harus
berhenti pada penyelidikan ulama terdahulu, maka kehidupan manusia dalam
masyarakat Islam akan menjadi jauh dari tuntunan Islam, sesuatu hal yang akan
menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan
bermasyarakat. Akibatnya ialah nilai Islam akan menjadi berkurang dalam jiwa
mereka, karena kehidupan mereka dengan segala persoalannya lebih berat
tekanannya (timbangannya), atau mereka tidak akan sanggup mengikuti arus hidup
dan selanjutnya mereka akan terasing dari kehidupan itu sendiri, serta
berlawanan dengan hidup dan hukum hidup juga.
Abduh pernah
menyarankan agar para ahli fiqih membentuk tim kerja untuk mengadakan
penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada.
Keputusan tim inilah yang kemudian dijadikan pegangan umat Islam. Tim ahli
fiqih tersebut, selain bertugas memfilter hasil ijtihad ulama maupun mazhab
masa lalu juga mengadakan reinterpretasi terhadapnya. Jadi menurut Abduh,
bermazhab berarti mencontoh metode beristinbath hukum. Dalam hal ini, akal
sebagai alat penimbang sekaligus penguat dari hasil informasi dan temuan yang
diperoleh. Ijtihad menurut Abduh bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu
diadakan. Tetapi yang dimaksudkan bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad,
melainkan hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi
yang tidak memenuhi syaratnya, harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia
setujui fahamnya. Ijtihad ini dijalankan langsung pada Al-Qur'an dan Hadis,
sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam. Abduh sangat menghargai para
mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah
mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat
yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah
hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Hal
yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat berbeda-beda tersebut
dijadikan sebagai tempat berhukum, dan tunduk kepada pendapat tertentu saja,
tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman
berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan. Setiap muslim harus memandang
bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang
tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan
pendapat adalah kembali kepada sumber asli.
Untuk itu,
Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan
adanya dua kelompok sosial, biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu
mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa
kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada Al-Qur'an dan as
Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat
menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam
perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi
yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa
pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai
dengan situasi dan kondisinya. Jadi mereka ijtihadkan bukan hanya
masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi
terhadap hasil ijtihad terdahulu. Bagi kelompok kedua awam, sikap yang harus diambilnya
adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan
kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikuti pendapatnya. Jadi setiap
dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui
dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara membabi buta. Dengan
sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa
kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau
suatu madzhab tertentu. Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad
Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang
ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan
tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti
cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan
demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi
bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam
istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.
Maka fanatisme
madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid
bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, hal yang terjadi di masyarakat adalah
sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan,
bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya
perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri.
Fanatisme madzhab pun muncul dan taklid tidak bisa dihindarkan. Abduh menuding
para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya
fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama
terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan
semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran
dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab
dijadikan bahan rujukan dan kitab Al-Qur'an ditinggalkan, sehingga seakan-akan
sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut.
Oleh karena
itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan
al-Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan
intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan
sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada
pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat
at-Taubah, ayat 32.
C.
Dampak dan Pengaruhnya terhadap Gerakan Pembaruan
Mohammad Abduh
adalah seorang pelopor reformasi dan pembaruan dalam pemikiran Islam.
Ide-idenya yang cemerlang meninggalkan dampak besar dalam tubuh pemikiran umat
Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada
zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamaluddin
al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran
dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad Abduh sebagaimana diungkapkan Mohammad
Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan
reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliau Jamaluddin
al-Afghani.
Salah satu
sebab yang membawa kemunduran, menurut Abduh adalah faham jumud yang
terdapat di kalangan umat Islam, sikap ini, sebagai diterangkan muhammad Abduh
dan Al-Islam Din Al-Ilm wa Al-madaniah, di bawa ke dalam tubuh islam oleh
orang-orang bukan arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di
dunia Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam islam adat-istiadat dan
faham-faham animistis mereka turut pula mempengaruhi umat islam yang mereka
perintah disamping itu mereka bukan pula bangsa yang mementingkan pemakaian
akal seperti yang dianjurkan dalam islam. Mereka dari bangsa yang jahil dan
tidak kenal pada ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu
pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan
agar mudah di perintah.
Sementara kata jumud
terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena
dipengaruhi faham jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak
mau menerima perubahan. Umat Islam berpegang teguh pada tradisi. Karena itu,
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran
Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya :
1.
Reformasi pendidikan.
Mohammad Abduh
memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor
utama guna menyelamatkan masyarakat Mesir. Menjadikan perbaikan sistem
pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh. Dalam hal ini, Abduh
mengusulkan dua usul untuk perbaikan pendidikan agama di madrasah-madrasah
Usmaniyah, karena keluarnya perintah dari Sultan Abdul Hamid untuk mendirikan
Dewan yang diketuai oleh Syaikhul Islam untuk memperbaiki kurikulum
madrasah-madrasah Islamiyah. Muhammad Abduh menyampaikan salah satu dari dua
usul perbaikannya itu kepada Syaikhul Islam di Istanbul. Dalam naskahnya itu ia
melihat kelemahan umat Islam disebabkan karena buruknya akidah dan bodohnya
terhadap akar-akar agama. Itulah yang merusak akhlak mereka. Obat satu-satunya
adalah memperbaiki pendidikan agama.
2.
Mendirikan lembaga dan yayasan sosial.
Muhammad Abduh
disamping sungguh-sungguh dalam usaha memperbaiki al- Azhar, juga menggerakkan
dan mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah
Khairiyah Islamiyah (Himpunan Sosial Islam) untuk menyiarkan pengajaran dan
pendidikan dan membantu orang yang memerlukan bantuan. Ia sebenarnya merupakan
pendamai antara Majelis Syura dan Pemerintah, dan orang yang mengajak perbaikan
dalam segala hal yang sulit. jami’ah
ihya al-Ulum al-Arabiyah (Kelompok orang yang berpikir cerah pemikirannya)
sekalipun hanya sedikit yang percaya pada prinsip-prinsip yang diletakkan oleh
Abduh dan pandangannya, sekalipun mereka tidak mempunyai keberanian dan
kegairahan.
3.
Mendirikan sekolah/madrasah pemikiran.
Muhammad Abduh
adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang
memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal
umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar
menyerang umat muslim saat ini. Yakni Muhammad Abduh (1266-1323 H/1848-1905 M)
dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H/1856-1935 M) dan seterusnya.
Madrasah ini dalam satu sisi, memiliki kesamaan dengan madrasah ibnu Taimiyah
(komparatif dan priorotas). Tapi di sisi lain mempunyai perbedaan: Ia sangat
rasional, mendahulukan dalil akal (aqli) sebagai dasar dari naql (nash),
mendahulukan Al-Qur'an daripada Sunnah, indikasi ayat lebih utama daripada
hadis al-Ahad, mengingkari adanya naskh (penghapusan) terhadap nash
Al-Qur'an, menolak taklid dalam bermazhab tapi sangat menunjang tinggi para
imam pendahulu, berupaya mengetengahkan Islam ke alam realitas dengan akidah
dan nilai-nilai asasinya, tidak fanatis terhadap golongan dan mazhab masa lalu
atau masa kini.
Adapun pengaruh
dari pemikiran Muhammad Abduh itu cukup luas, tidak saja terbatas di tanah
airnya Mesir, telah menimbulkan ulama-ulama modern seperti Mustafa al maraghi,
Mustafah Abd Raziq, Tantawi Jauhari, Ali Abd al-Raziq dan Rasyid Ridha,
pengarang-pengarang dalam bidang agama seperti Farid Wajdi, Ahmad Amin, Qasim
Amin, dan muhammad Husain Haikal, pemimpin politik seperti Sa’ad Saghlal, Bapak
kemerdekaan Mesir, dan Lutfi al-Sayyid dan sastrawan-sastrawan Arab seperti
Taha Husain, al-Manfaluti, dan Ahmad Taimur.
Di Indonesia
sendiri dikatakan bahwa gerakan pembaruan yang dicetuskan al-Irsyad, Muhammadiyah
dan Persatuan Islam ini dipengaruhi dan kesesuaian dengan pemikiran Muhammad
Abduh. Sebagaimana berikut :
Al-Irsyad,
memiliki tiga program dalam rangka memperbaiki umat islam di indonesia yang
sudah tidak wajar lagi diantaranya :
1.
Memperbaiki sistem pemahaman agama dengan meningkatkan bahasa Arab
2.
Mengubah pendidikan dengan yang baru yaitu sistem penghayatan dan
pengertian serta memperbaiki kondisi sosial masyarakat dengan menghilangkan
perbedaan derajat dalam rangka meningkatkan satus sosial masyarakat.
Muhammadiyah,
menyadari bahwa kemunduran umat islam sehingga bidang garapannya yakni[7] :
1.
tertinggalnya pengkajian pada ilmu pengetahuan, maka dalam hal ini
muhammadiyyah memusatkan perjuangannya untuk menyempurnakan bidang pendidikan.
2.
mensucikan dan memurnikan agama Islam sesuai dan dikembalikan pada
Al-Quran dan Hadits dan berusaha agar orang Islam mengerti ajaran islam serta melaksanakan
yang sebaik-baiknya.
3.
Pembaharuan rumusan ajaran islam menurut alam pikiran modern
4.
Membela islam terhadap pengaruh barat (sekularisme) dan ajaran
kristen
Persatuan
Islam, melihat berbagai krisis nya umat islam sehingga melakukan suatu
pembaharuan diantaranya:
1. Menggunakan
media majalah dalam rangka menyebarkan ide-idenya.
2. Sitem
pembaharuannya yakni dalam rangka memurnikan ajaran islam yang sesuai dengan
sumbernya yakni Al-Quran dan Hadits.
Ungkapan itu ada benarnya, kalau yang dimaksud dengan pengaruh
adalah butir-butir tertentu dari pemikirannya seperti pendapatnya kembali
kepada Al-Qur'an dan Hadis, tidak wajib berpegang pada mazhab tertentu,
memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum, pendidikan agama, tidak
haram memakai pakaian Eropa dan sebagainya.
Dari uraian diatas, telah jelas bahwa pemikiran pembaharuan Islam
yang dilakukan Muhammad Abduh sangat memberi pengaruh yang besar bagi
pembentukan pemikiran pembaharuan Islam diIndonesia. Dengan melalui majalah
Al-Manaar dan Al-Urwatul Wustqo yang telah berhsil diselundupkan ke Indonesia,
walaupun pada saat itu tidak banyak beredar ditanah air namun cukup berpengaruh
untuk membangun semangat pembaharuan Islam di Indonesia dan ternyata juga
berperan mempercepat proses kemerdekaan bangsa Indonesia.[8] Jelasnya
bahwa, seluruh aktivitas Muhammad Abduh bisa dikatakan telah mengangkat citra
Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan keterbelakangan. Ia adalah
seorang mujtahid sekaligus mujaddid pada masanya.
[1] Jainuri,
Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal,
Cetakan I, Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat /LPAM, 2002, h.
41
[2]Nasution,
Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. 5, Jakarta :
Bulan Bintang,1987, h. 58
[5] Nasution,
Muhammad Abduh dan teologi Rasional Mu’tazilah, cet.1, Jakarta : UI
Press, 1987, hlm. 17 dan 18
[6] Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, juz 3, cet. 4, Jakarta :
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 258
[7] Tatang M Natsir, Disekitar Reformasi dan Modernisasi Masyarakat
Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif,1972. Hal.16
[8] Afif Azhari dan Miemien Maimunah, Muhammad Abduh dan pengaruhnya di
Indonesia. Surabaya: Al-Ikhlas, 1996. Hal.113