Jumat, 24 Februari 2017

GERAKAN PEMIKIRAN PEMBAHARUAN MUHAMMAD ABDUH




GERAKAN PEMIKIRAN PEMBAHARUAN
MUHAMMAD ABDUH
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam
Dosen Pengampu :
Drs. H. Karsidi Diningrat, M.Ag


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Muhammad Abduh seorang Pemikir Pembaru Islam yang sangat berpengaruh di dalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya membawa dampak yang signifikan dalam berbagai tatanan kehidupan pemikiran masyarakat meliputi aspek penafsiran Al-Qur'an, pendidikan, social masyarakat, politik, peradaban dan sebagainya. Pemikiran Abduh begitu mendalam pengaruhnya bagi kehidupan umat Islam, baik di negeri kelahirannya Mesir, maupun dunia Arab lainnya, bahkan sampai ke dunia Islam luar Arab seperti Indonesia. Kelahiran gerakan pembaharuan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persaturan Islam tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran Muhammad Abduh. Bahkan pemikirannya tentang modernisme begitu dikenal dan banyak menjadi rujukan bagi para pemikir Barat.
Paradigma yang mendasari proses pembaruan di dunia Islam terutama didasarkan padaargumen bahwa prinsip dasar Islam mengandung benih-benih agama rasional, kesadaran sosial dan moralitas yang bisa menjadi dasar kehidupan modern. Rasionalitas juga dilihat mampu menciptakan sebuah elit keagamaan yang bisa mengartikulasikan dan menafsirkan makna nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dan karenanya memberikan fondasi bagi lahirnya masyarakat baru.[1]
Dalam melakukan reformasi pemikiran, Muhammad Abduh berusaha menyeimbangkan antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti Barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: sesungguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Biografi Muhammad Abduh?
2.    Bagaimana Konsep Pemikiran Muhammad Abduh?
3.    Bagaimana Dampak Pemikiran Muhammad Abduh?
                                                                                                 
C.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk Mengetahui Bagaimana Biografi Muhammad Abduh.
2.    Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Pemikiran Muhammad Abduh.
3.    Untuk Mengetahui Bagaimana Dampak Pemikiran Muhammad Abduh.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dalam Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.[2]
Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Muhammad Abduh di suruh belajar menulis dan membaca setelah lahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Al-Qur'an. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal Al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena di sana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajaran dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) iapun menikah.[3]
Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.[4]
Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani yang kemudian belajar logika, filsafat, teologi dan tasawuf. Di masa Abduh dan gurunya, al-Afghani hidup di dunia Islam mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Dunia Islam tercabik-cabik oleh penjajah. Wilayah Islam sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah dikapling-kapling oleh bangsa –bangsa Eropa.
Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar, ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Bedanya, al-Afghani lebih menekankan pembaharuan di bidang politik, sedangkan Abduh dibidang pendidikan. Tahun 1879, Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam mengadakan menentang gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir “المصریة الوقائع.” Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke Beirut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam revolusi (pemberontakan) Urabi Pasya. Baru setahun di Beirut, dia bertemu al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wusqa. Tujuan gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Urwah al-Wusqa. Ide pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan 18 kali terbit.[5] Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia, ada juga yang mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M. di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri. Pelajaran tauhid yang diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhidnya. Sekembalinya dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya. Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi penasehat Mahkamah Tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha memperbaiki pendidikan di al- Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar.
Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ yang berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir.
Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura. Begitu pula Abduh tidak bisa menjalankan ibadah haji hingga akhir hayatnya karena faktor politik. Akhirnya, pada 11 Juli 1905, Abduh dipanggil ke hadirat Allah setelah agak lama ia menderita kanker hati, di usia yang belum begitu tua yaitu sekitar 56 tahun. Abduh meninggalkan banyak karya tulis, sebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar dan majallah. Yang berupa buku antara lain Durus min Al-Qur'an (Berbagai pelajaran dari Al-Qur'an), Risalah al-Tauhid (Risalah Tauhid), Hasyiyah ‘Ala Syarh al-Dawani li al- ‘Aqaid al-‘Adudiyah (Komentar terhadap Penjelasan al-Dawani terhadap Akidah-akidah yang Meleset), al-Islam wa al-Nasraniyah (Islam dan Nasrani bersama Ilmu-ilmu Peradaban), Tafsir Al-Qur'an al-Karim juz ‘Amma (Tafsir Al-Qur'an juz Amma), dan Tafsir al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya Syekh Muhammad Rasyid Ridha.[6]

B.       Pemikiran Muhammad Abduh
Di antara kaum pembaru muslim, sayyid Ahmad Khan dan Abduh menekankan masalah akal dalam kaitannya dengan agama dan usahanya memperbarui masyarakat.
Meskipun pertama yang muncul dalam Islam, persoalan akal yang muncul pada abad ke- 20 ini memperoleh dimensi baru karena berkembangnya pandangan dunia ilmiyah yang baru. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Abduh berpendapat bahwa ajaran Islam didasarkan pada rasionalisme dan kekuatan akal. Melalui kekuatan akal-lah kaum muslimin diharapkan dapat membedakan yang benar dari yang salah, dan karenanya ini berarti mengikuti ajaran agama.
Bagi Muhammad Abduh, Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional ini menurut Abduh adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna, bila tidak didasarkan atas akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan pada rasul. Rasionalisme yang mendasar dalam pikiran Abduh menyebabkan ia menolak taqlid dan menerima penafsiran (ta’wil) berdasarkan asal ketimbang menerima terjemahan literal mengenai sumber-sumber agama. Pernyataan tersebut, pada dasarnya Muhammad Abduh mengajak kita untuk berpikir kreatif dan melarang kita berdiam diri dengan keadaan yang ada. Ia mengajak untuk melakukan ta’wil terhadap nash-nash Al- Qur'an yang tidak bisa kita pahami. Ia juga menegaskan lewat buku-bukunya agar memisahkan pemahaman tentang eksistensi dan karakter ajaran agama yang seutuhnya dengan hasil pemikiran orang-orang yang hanya mengaku dirinya sebagai agamawan. Kelihatannya Abduh lebih berhati-hati terhadap penafsiran yang mengada-ada (tidak rasional) terhadap agama.
Bagi Muhammad Abduh, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat. Tetapi, daya akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia.
Oleh karena itu, ia membagi manusia ke dalam dua golongan: khawas dan awam. Keharusan manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran Al-Qur'an kitab suci ini, memerintahkan kita untuk berfikir dan melarang kita bertaklid. Abduh sangat menentang taklid karena menurutnya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam abad 19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap taklid dalam berbagai aspek kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal di atas, dapat pula diketahui bagaimana fungsi wahyu baginya. Akal dan wahyu menurut Abduh, mempunyai fungsi sebagai berikut:
1)      Wahyu memberi keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Wahyu menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana.
2)      Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat.
3)      Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih pada Allah.
4)      Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa membuat orang manfaat.
Secara garis besar, sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, sementara wahyu itu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat terjalin harmonis.
Abduh juga berpendapat bahwa, premis yang melandasi keimanan ini adalah sedemikian rupa sehingga bukti-bukti pun tidak lagi diperlukan kendati digunakan kata “digambarkan” wujud Tuhan tidak dapat dipahami. Ada hal-hal yang tidak boleh dipertanyakan ketika rasa ingin tahu hanya menyebabkan “kekacauan iman”. Sekalipun demikian, apa yang disampaikan dalam wahyu harus dipahami secara rasional sebuah kewajiban bagi setiap generasi. Karena itu, akal dan wahyu saling menguatkan karena, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal.
a.    Kebebasan Manusia
Kepercayaan pada kekuatan akal, membawa Muhammad Abduh selanjutnya kepada faham yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal tersebut. Pertama, pendapat mengatakan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak aza, sebelum ia lahir, dan faham ini dalam teologi Islam disebut jabariah. Dalam teologi Barat pendapat ini disebut fatalisme atau predestination. Kedua, bahwa manusia mempunyai kebebasan sungguh pun terbatas sesuai dengan keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Faham ini dalam Islam disebut qadariyah, dan dalam teologi Barat disebut free will and free act Dalam “al-Urwah al-Wusqa” Muhammad Abduh bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani menjelaskan bahwa sebenarnya faham qada’ dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedang paham itu sebenarnya mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islam di zaman Klasik dapat membawa Islam sampai di Spanyol dan dapat menimbulkan peradaban yang tinggi. Paham fatalisme yang terdapat di kalangan umat Islam perlu dirubah dengan faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Inilah yang menimbulkan dinamika umat Islam kembali.
Kemudian, Muhammad Abduh menjelaskankan dalam Risalah al-Tauhid bahwa, manusia tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apa pun, demikian pulalah ia mengetahui adanya perbuatan atas pilihan sendiri (ikhtiyar) dalam dirinya. Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri yang ada dalam diri manusia.
Muhammad Abduh percaya pada pendapat bahwa alam ini diatur hukum alam tidak berubah-ubah yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ciptaan Tuhan ini ia sebut sunnah Allah. Sunnah Allah dalam pendapatnya mencakup semua makhluk. Segala yang ada di alam ini diciptakan sesuai dengan hukum alam atau sifat dasarnya, manusia sendiri diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya yaitu berfikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya.
Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia ini bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatannya. Namun, kebebasann tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia, yakni pertama, manusia melakukan perbuatan dengan daya dan kemampuannya, kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi.
Dengan demikian, manusia selain mempunyai daya berfikir, ia juga mempunyai kebebasan memilih sebagai sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia. Dan bila sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, niscaya dia bukan manusia lagi melainkan makhluk lain entah malaikat atau hewan. Manusia dengan akalnya dapat mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya. Jadi faham yang dipaksakan atas manusia atau Jabariah tidak sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh. Menurutnya, manusia adalah semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan memilih, meskipun kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak, bahkan mencap takabur dan angkuh terhadap orang yang mengatakan seperti itu. Dalam Tafsir al-Manar, ia menjelaskan bahwa manusia, sungguhpun berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, namun tidaklah sempurna daya, kemauan dan pengetahuannya. Terkadang ada sesuatu hal yang dapat menimpa umat manusia diluar dugaan dan manusia tidak mampu mengendalikannya, maka itulah bukti bahwa manusia mempunyai keterbatasan, hanya Allah-lah yang Maha sempurna.
b.    Bidang Hukum
Dalam bidang hukum, ada tiga prinsip utama pemikiran Abduh, yaitu Al-Qur'an sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an (ta’wil). Menurutnya syariat itu ada dua macam yaitu qat’i (pasti) dan zhanni (tidak pasti).
Hukum syariat pertama wajib bagi setiap muslim mengetahui dan mengamalkan tanpa interpretasi, karena dia jelas tersebut dalam Al-Qur'an dan Al- Hadits. Sedangkan hukum syariat jenis kedua datang dengan penetapan yang tidak pasti. Jenis hukum yang tidak pasti inilah yang menurut Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid.
Dengan demikian, berbeda pendapat adalah sebuah kewajaran dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Bencana akan timbul ketika pendapat-pendapat yang berbeda tersebut dijadikan tempat berhukum dengan “taklid buta” tanpa berani mengkritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap terbaik yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber aslinya, Al-Qur'an dan al-Sunnah. Setiap orang yang memiliki ilmu yang mumpuni maka dia wajib berijtihad, sedang bagi orang yang awam, bertanya kepada orang yang ahli dalam agama adalah sebuah kewajiban.
Ada dua hal yang mendorong Muhammad Abduh untuk menyerukan ijtihad, yaitu tabiat hidup dan tuntunan (kebutuhan) manusia. Kehidupan manusia ini berjalan terus dan selalu berkembang, dan didalamnya terdapat kejadian dan peristiwa tidak dikenal oleh manusia sebelumnya. Ijtihad adalah jalan yang ideal dan praktis bisa dijalankan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa hidup yang selalu timbul itu dengan ajaran-ajaran Islam Kalau ajaran Islam tersebut harus berhenti pada penyelidikan ulama terdahulu, maka kehidupan manusia dalam masyarakat Islam akan menjadi jauh dari tuntunan Islam, sesuatu hal yang akan menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya ialah nilai Islam akan menjadi berkurang dalam jiwa mereka, karena kehidupan mereka dengan segala persoalannya lebih berat tekanannya (timbangannya), atau mereka tidak akan sanggup mengikuti arus hidup dan selanjutnya mereka akan terasing dari kehidupan itu sendiri, serta berlawanan dengan hidup dan hukum hidup juga.
Abduh pernah menyarankan agar para ahli fiqih membentuk tim kerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Keputusan tim inilah yang kemudian dijadikan pegangan umat Islam. Tim ahli fiqih tersebut, selain bertugas memfilter hasil ijtihad ulama maupun mazhab masa lalu juga mengadakan reinterpretasi terhadapnya. Jadi menurut Abduh, bermazhab berarti mencontoh metode beristinbath hukum. Dalam hal ini, akal sebagai alat penimbang sekaligus penguat dari hasil informasi dan temuan yang diperoleh. Ijtihad menurut Abduh bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi yang dimaksudkan bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad, melainkan hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad. Bagi yang tidak memenuhi syaratnya, harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya. Ijtihad ini dijalankan langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam. Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Hal yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan. Setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli.
Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial, biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada Al-Qur'an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman, tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jadi mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu. Bagi kelompok kedua awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikuti pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara membabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu. Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.
Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, hal yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun muncul dan taklid tidak bisa dihindarkan. Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab Al-Qur'an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut.
Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan al-Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah dalam surat at-Taubah, ayat 32.

C.      Dampak dan Pengaruhnya terhadap Gerakan Pembaruan
Mohammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaruan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang meninggalkan dampak besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamaluddin al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Muhammad Abduh sebagaimana diungkapkan Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliau Jamaluddin al-Afghani.
Salah satu sebab yang membawa kemunduran, menurut Abduh adalah faham jumud yang terdapat di kalangan umat Islam, sikap ini, sebagai diterangkan muhammad Abduh dan Al-Islam Din Al-Ilm wa Al-madaniah, di bawa ke dalam tubuh islam oleh orang-orang bukan arab yang kemudian dapat merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Dengan masuknya mereka ke dalam islam adat-istiadat dan faham-faham animistis mereka turut pula mempengaruhi umat islam yang mereka perintah disamping itu mereka bukan pula bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti yang dianjurkan dalam islam. Mereka dari bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan agar mudah di perintah.
Sementara kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam berpegang teguh pada tradisi. Karena itu, Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya :
1.    Reformasi pendidikan.
Mohammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat Mesir. Menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh. Dalam hal ini, Abduh mengusulkan dua usul untuk perbaikan pendidikan agama di madrasah-madrasah Usmaniyah, karena keluarnya perintah dari Sultan Abdul Hamid untuk mendirikan Dewan yang diketuai oleh Syaikhul Islam untuk memperbaiki kurikulum madrasah-madrasah Islamiyah. Muhammad Abduh menyampaikan salah satu dari dua usul perbaikannya itu kepada Syaikhul Islam di Istanbul. Dalam naskahnya itu ia melihat kelemahan umat Islam disebabkan karena buruknya akidah dan bodohnya terhadap akar-akar agama. Itulah yang merusak akhlak mereka. Obat satu-satunya adalah memperbaiki pendidikan agama.
2.    Mendirikan lembaga dan yayasan sosial.
Muhammad Abduh disamping sungguh-sungguh dalam usaha memperbaiki al- Azhar, juga menggerakkan dan mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah Khairiyah Islamiyah (Himpunan Sosial Islam) untuk menyiarkan pengajaran dan pendidikan dan membantu orang yang memerlukan bantuan. Ia sebenarnya merupakan pendamai antara Majelis Syura dan Pemerintah, dan orang yang mengajak perbaikan dalam segala hal yang sulit.  jami’ah ihya al-Ulum al-Arabiyah (Kelompok orang yang berpikir cerah pemikirannya) sekalipun hanya sedikit yang percaya pada prinsip-prinsip yang diletakkan oleh Abduh dan pandangannya, sekalipun mereka tidak mempunyai keberanian dan kegairahan.
3.    Mendirikan sekolah/madrasah pemikiran.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini. Yakni Muhammad Abduh (1266-1323 H/1848-1905 M) dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H/1856-1935 M) dan seterusnya. Madrasah ini dalam satu sisi, memiliki kesamaan dengan madrasah ibnu Taimiyah (komparatif dan priorotas). Tapi di sisi lain mempunyai perbedaan: Ia sangat rasional, mendahulukan dalil akal (aqli) sebagai dasar dari naql (nash), mendahulukan Al-Qur'an daripada Sunnah, indikasi ayat lebih utama daripada hadis al-Ahad, mengingkari adanya naskh (penghapusan) terhadap nash Al-Qur'an, menolak taklid dalam bermazhab tapi sangat menunjang tinggi para imam pendahulu, berupaya mengetengahkan Islam ke alam realitas dengan akidah dan nilai-nilai asasinya, tidak fanatis terhadap golongan dan mazhab masa lalu atau masa kini.
Adapun pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh itu cukup luas, tidak saja terbatas di tanah airnya Mesir, telah menimbulkan ulama-ulama modern seperti Mustafa al maraghi, Mustafah Abd Raziq, Tantawi Jauhari, Ali Abd al-Raziq dan Rasyid Ridha, pengarang-pengarang dalam bidang agama seperti Farid Wajdi, Ahmad Amin, Qasim Amin, dan muhammad Husain Haikal, pemimpin politik seperti Sa’ad Saghlal, Bapak kemerdekaan Mesir, dan Lutfi al-Sayyid dan sastrawan-sastrawan Arab seperti Taha Husain, al-Manfaluti, dan Ahmad Taimur.
Di Indonesia sendiri dikatakan bahwa gerakan pembaruan yang dicetuskan al-Irsyad, Muhammadiyah dan Persatuan Islam ini dipengaruhi dan kesesuaian dengan pemikiran Muhammad Abduh. Sebagaimana berikut :
Al-Irsyad, memiliki tiga program dalam rangka memperbaiki umat islam di indonesia yang sudah tidak wajar lagi diantaranya :
1.      Memperbaiki sistem pemahaman agama dengan meningkatkan bahasa Arab
2.      Mengubah pendidikan dengan yang baru yaitu sistem penghayatan dan pengertian serta memperbaiki kondisi sosial masyarakat dengan menghilangkan perbedaan derajat dalam rangka meningkatkan satus sosial masyarakat.
Muhammadiyah, menyadari bahwa kemunduran umat islam sehingga bidang garapannya yakni[7] :
1.      tertinggalnya pengkajian pada ilmu pengetahuan, maka dalam hal ini muhammadiyyah memusatkan perjuangannya untuk menyempurnakan bidang pendidikan.
2.      mensucikan dan memurnikan agama Islam sesuai dan dikembalikan pada Al-Quran dan Hadits dan berusaha agar orang Islam mengerti ajaran islam serta melaksanakan yang sebaik-baiknya.
3.      Pembaharuan rumusan ajaran islam menurut alam pikiran modern
4.      Membela islam terhadap pengaruh barat (sekularisme) dan ajaran kristen
Persatuan Islam, melihat berbagai krisis nya umat islam sehingga melakukan suatu pembaharuan diantaranya:
1.      Menggunakan media majalah dalam rangka menyebarkan ide-idenya.
2.      Sitem pembaharuannya yakni dalam rangka memurnikan ajaran islam yang sesuai dengan sumbernya yakni Al-Quran dan Hadits.

Ungkapan itu ada benarnya, kalau yang dimaksud dengan pengaruh adalah butir-butir tertentu dari pemikirannya seperti pendapatnya kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis, tidak wajib berpegang pada mazhab tertentu, memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum, pendidikan agama, tidak haram memakai pakaian Eropa dan sebagainya.
Dari uraian diatas, telah jelas bahwa pemikiran pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh sangat memberi pengaruh yang besar bagi pembentukan pemikiran pembaharuan Islam diIndonesia. Dengan melalui majalah Al-Manaar dan Al-Urwatul Wustqo yang telah berhsil diselundupkan ke Indonesia, walaupun pada saat itu tidak banyak beredar ditanah air namun cukup berpengaruh untuk membangun semangat pembaharuan Islam di Indonesia dan ternyata juga berperan mempercepat proses kemerdekaan bangsa Indonesia.[8] Jelasnya bahwa, seluruh aktivitas Muhammad Abduh bisa dikatakan telah mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan keterbelakangan. Ia adalah seorang mujtahid sekaligus mujaddid pada masanya.


[1] Jainuri, Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, Cetakan I, Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat /LPAM, 2002, h. 41

[2]Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. 5, Jakarta : Bulan Bintang,1987, h. 58
[3] T. AlTanhani, Muzakkirat Al-Imam Muhammad ‘Abduh. Cairo: Dar Al-Hilal hal.29
[4] Opcit, hal. 59-60
[5] Nasution, Muhammad Abduh dan teologi Rasional Mu’tazilah, cet.1, Jakarta : UI Press, 1987, hlm. 17 dan 18
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, juz 3, cet. 4, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 258
[7] Tatang M Natsir, Disekitar Reformasi dan Modernisasi Masyarakat Islam. Bandung: PT Al-Ma’arif,1972. Hal.16
[8] Afif Azhari dan Miemien Maimunah, Muhammad Abduh dan pengaruhnya di Indonesia. Surabaya: Al-Ikhlas, 1996. Hal.113